Di jantung kota Moskow yang gemerlap, keluarga Oblonsky, yang terpandang dan kaya raya, berambisi untuk menjodohkan putri mereka yang cantik, Kitty, dengan Vronsky, seorang pangeran yang memesona. Namun, hati Kitty telah terpikat oleh Levin, seorang pria sederhana yang mengelola tanah pertaniannya dengan penuh dedikasi.
Takdir mempertemukan Vronsky dengan Anna, seorang wanita yang sudah menikah dengan pejabat tinggi pemerintah, di stasiun kereta yang ramai. Pertemuan itu memicu api gairah yang tak terkendali, menghancurkan pernikahan Anna dan mengguncang tatanan masyarakat kelas atas Rusia.
Sementara Anna terjerat dalam pusaran cinta terlarang, Levin menemukan makna hidupnya dalam kesederhanaan pedesaan, merawat tanah dan memperjuangkan kesejahteraan para petani. Perjalanan Levin membawanya pada penemuan jati diri dan akhirnya, pada kebahagiaan sejati bersama Kitty.
Tolstoy, sang maestro sastra, merangkai kisah Anna Karenina (1873) dengan detail yang memukau, layaknya sebuah studi mendalam tentang dinamika pernikahan. Ia mempersembahkan tiga potret pernikahan yang kontras: gejolak asmara Anna dan Vronsky, keharmonisan cinta Levin dan Kitty, serta pernikahan Dolly dan Stepan yang hambar dan penuh kepura-puraan.
Kejeniusan Tolstoy terletak pada kemampuannya menghidupkan setiap karakter dengan detail yang begitu nyata, seakan-akan kita bisa merasakan denyut nadi dan gejolak emosi mereka. Ia melukiskan pergolakan batin Anna, Vronsky, Levin, dan bahkan Karenin dengan begitu detail, sehingga kita seolah-olah menyelami langsung ke dalam jiwa mereka.
Bayangkan Anna yang terbaring lemah setelah melahirkan anak di luar nikah, menulis surat permohonan maaf kepada Karenin yang hatinya dipenuhi amarah. Tolstoy dengan mahir menggambarkan transformasi Karenin, dari kemarahan yang membara menjadi pengampunan yang begitu tulus, membuat kita turut merasakan perjalanan emosionalnya yang luar biasa.
Metode yang sama ia terapkan pada Levin, karakter yang awalnya menyebalkan, namun perlahan mencuri simpati kita seiring dengan perkembangan ceritanya. Tolstoy begitu piawai dalam merangkai detail pengalaman dan ide, sehingga kita terhanyut dalam dunia rekaannya yang terasa begitu nyata.
Namun, kehebatan Tolstoy juga menghadirkan dilema. Ia harus memilih momen-momen penting dalam rentang waktu yang panjang, sehingga terkadang terasa ada jarak antara pembaca dan karakter. Meskipun demikian, setiap momen dramatis yang ia pilih digambarkan dengan begitu hidup dan jujur, sehingga terasa begitu membekas dalam ingatan.
Tolstoy seakan menantang kita untuk mempertanyakan batasan antara fiksi dan realita. Ia menciptakan ilusi “sepotong kehidupan” yang begitu meyakinkan, sehingga kita tergoda untuk melupakan bahwa Anna Karenina adalah sebuah karya seni yang lahir dari kerja keras dan kejeniusan sang maestro.
Tantangan terbesar dalam membaca Anna Karenina adalah meyakinkan diri kita sendiri tentang cinta yang membara antara Anna dan Vronsky. Tolstoy, dengan segala kejeniusannya, justru melewatkan detail-detail intim yang membangun keintiman mereka. Kita disuguhi drama yang menggelegar, namun tanpa fondasi yang kokoh.
Bayangkan, Tolstoy langsung membawa kita pada konfrontasi pasca-bercinta antara Anna dan Vronsky, tanpa menunjukkan proses pendekatan yang membuat Anna, seorang wanita terhormat, menyerahkan segalanya. Ia seakan mengabaikan tahapan-tahapan penting yang membentuk pergolakan batin Anna, membuat kita bertanya-tanya, “Bagaimana mungkin?”.
Dengan mengabaikan detail-detail intim tersebut, Tolstoy seakan mereduksi Anna menjadi stereotip wanita pada zamannya, bukan sebagai individu yang unik. Kita melihat gejolaknya, namun tak sepenuhnya memahami alasan di baliknya. Keputusan Tolstoy ini memang disengaja. Ia ingin mempercepat alur cerita dan fokus pada momen-momen dramatis yang menjadi inti dari novelnya. Namun, hal ini justru menciptakan jarak antara pembaca dan karakter, membuat kita sulit untuk benar-benar terhubung dengan mereka.
Meskipun demikian, Tolstoy tetaplah seorang maestro. Ia mampu menebus “kelalaiannya” dengan menggambarkan kehancuran mental Anna secara memukau. Kita mungkin tidak sepenuhnya memahami Anna, namun kita bisa merasakan kepedihan dan penderitaannya. Penulis selalu dihadapkan pada dilema bagaimana menghadirkan perjalanan waktu dalam sebuah novel. Terlalu lambat dan membosankan, terlalu cepat dan kehilangan relevansinya dengan kehidupan nyata.
Bayangkan jika Tolstoy menceritakan setiap detail keseharian Anna dan Vronsky: sarapan pagi, berbelanja, bergosip dengan teman. Tentu akan membosankan! Sebaliknya, jika melulu dipenuhi drama, kita akan kesulitan menghubungkannya dengan kehidupan kita sendiri.
Menariknya, Tolstoy juga dituduh mengabaikan pembaca perempuan. Kitty, tokoh protagonis wanita, bahkan merasa tak nyaman membaca kisah Anna! Mungkin Tolstoy memang tak membayangkan gadis-gadis muda membaca kisah perselingkuhan dan kehancuran Anna di kamar tidur mereka.
Banyak penulis mengakali masalah waktu dengan gaya penulisan yang khas dan memikat. Namun, Tolstoy, sebagai seorang realis, memilih untuk tidak melakukannya. Ia ingin karyanya tetap membumi dan relevan, tanpa mengorbankan realitas demi estetika. Ia tak ingin bernasib sama seperti Dickens atau Brontë, yang karyanya sempat ditolak karena dianggap terlalu nyeleneh.
Meskipun terkesan objektif, novel realis seperti Anna Karenina justru memberi kita kebebasan untuk menafsirkan sendiri. Gaya penulisannya yang detail namun tidak menggurui, membuat kita seolah-olah menjadi saksi mata dalam setiap adegan, bebas dari pengaruh narator.
Namun, di balik kebebasan tersebut, terselip sebuah pertanyaan menarik: apakah Tolstoy sengaja menyisipkan tema eksploitasi perempuan untuk kesenangan laki-laki, ataukah itu hanya “kebetulan”?
Lihatlah nasib tragis para wanita dalam novel ini. Kuda betina Vronsky mati karena ambisinya. Anna hancur karena rayuan Vronsky. Stepan menggadaikan harta istrinya demi kesenangannya sendiri. Bahkan Levin, yang digambarkan sebagai pria baik, merasa terganggu saat melihat Kitty kesakitan ketika melahirkan.
Tolstoy dengan cerdas menyembunyikan kritik sosial di balik detail-detail kecil. Ia tak memberi solusi instan, melainkan mengajak kita untuk merenungkan ketidakadilan gender dan mencari jalan keluarnya sendiri.
Pertanyaan “Apakah Anna Karenina novel terhebat dari novelis terhebat?” ibarat membandingkan apel dengan jeruk, kacang polong dengan anjing, atau mimpi dengan kenyataan. Masing-masing unik dan tak bisa diukur dengan standar yang sama.
Anna Karenina tentu saja berbeda dengan karya-karya lain seperti Tristram Shandy atau Taras Bulba. Setiap novel menawarkan pengalaman yang berbeda. Taras Bulba mungkin memberikan “wahyu” dengan gaya penulisannya yang unik, sementara Anna Karenina menawarkan “kebijaksanaan” melalui wawasan yang mendalam.
Meskipun Tolstoy terinspirasi oleh Gogol, ia tetaplah Tolstoy dengan keunikannya sendiri. Justru perbedaan inilah yang memperkaya dunia sastra. Jadi, mencari “novel terhebat” hanyalah kesia-siaan. Nikmatilah setiap karya sesuai dengan keindahan dan keunikannya masing-masing!