Terorisme Beirut-Paris adalah bagian pementasan panjang Islamic State (IS) yang diakhiri dua babak kontras: satu dilakukan pada pengungsi Palestina dan Syiah di Beirut (12/11), yang kedua dilakukan pada kaum yang dianggap hedonis kafir di Paris (13/11). Hasilnya jelas: mengubah/memberikan kesadaran pada penontonnya tentang hierarki global dan menunjukkan tempat IS dalam hierarki tersebut.
Sebagai kritik wacana, tulisan ini sama sekali tidak mengklaim IS sebagai konspirator jenius, melainkan hanya menganalisis runutan kejadian saja. Tulisan ini akan berusaha mendekati terorisme IS di Beirut dan Paris dengan teori pertunjukan untuk melihat pengaruhnya bagi masyarakat global secara umum dan Indonesia secara khusus.
Dalam teori pertunjukan Schechner (1978), sebuah pertunjukan (performance) punya empat elemen: (1) waktu, (2) objek, (3) non-produktivitas dan (4) aturan. Kesuksesan sebuah pertunjukan biasanya dinilai dari akibat yang dihasilkan dalam kesadaran penontonnya yang dapat dilihat dari pembentukan opini di media, baik dalam produk jurnalistik atau media sosial.
Yang dimaksud dengan elemen waktu bukan hanya berapa lama sebuah pertunjukan berlangsung, tapi juga kapan dan bagaimana urutan pertunjukan itu diatur. Urutan Beirut lalu Paris, seperti memainkan perhatian penonton: pembukaan yang sudah berkali-kali terjadi untuk perkenalan melalui dokumenter dan liputan jurnalistik dari invasi Irak, Suriah, dan genosida Yizidi, rising action melalui usaha-usaha teror perorangan, lalu klimaks di Beirut dan Paris.
Objeknya adalah semua yang dilihat oleh para penonton: para penembak/pengebom, para korban, polisi, tempat (panggung dan setnya), dan nilai dari objek-objek tersebut. Ini menjawab pertanyaan banyak orang kenapa nyawa orang-orang yang sedang duduk di kafe, menonton bola, dan menonton konser di Paris lebih diperhatikan daripada nyawa orang Syiah dan pengungsi Palestina di Beirut. IS tahu pasti preferensi nilai ini, dan ini menjadi salah satu alasan utamanya dalam menyusun sekuens yang begitu kontras. Kita semua peduli, tapi perspektif kita berbeda-beda. Di sinilah kemanusiaan dan empati kita dimainkan hingga kita saling mengasingkan menjadi hitam dan putih!
Non-produktivitas artinya sebuah pertunjukan tidak menghasilkan atau memberikan produk fisik apa pun dari kerjanya—yang ada hanya ide. Dalam terorisme, ide yang ingin disampaikan tergantung objek yang dihancurkan. Pada kasus Beirut, tujuan pemboman adalah untuk mengontrol subjek dengan ketakutan. Sementara Paris adalah pernyataan politis. Yang diserang adalah simbol-simbol hedonisme dan keamanan Barat yang mungkin untuk digapai IS.
Hampir semua berita mengatakan bahwa pemboman dan penembakan terorisme dilaksanakan secara acak, tanpa aturan. Tapi sasaran-sasaran dan rencana yang matang dari pertunjukan teror tersebut menunjukkan sebaliknya. Waktu, objek, dan tujuan dari teater teror memperlihatkan aturan main yang sangat diperhitungkan, termasuk naskah apa yang harus diucapkan sebelum mereka menembak atau mengebom: dari Allahuakbar, sampai ceramah pendek menyalahkan intervensi Hollande di Suriah dalam konser “Eagle of Death Metal” di Bataclan.
Pada akhirnya, sebuah pementasan akan mengubah cara kita berpikir. Ada tiga hasil yang saya lihat dari teror Beirut-Paris ini. Pertama, terjadi gap empati di media sosial di mana pembaca mengambil posisi dan menyebar berita/hoax sesuai kepentingan mereka sendiri. Reaksi Facebook dengan merilis filter bendera Prancis secara langsung memisahkan Muslim Timur Tengah (dan muslim konservatif yang lain) dengan netizen humanis moderat dalam dunia representasi internet. Pengasingan semacam inilah yang menjadi tembok pemicu utama radikalisme.
Kedua, posisi IS dalam hierarki kuasa global jadi menjelas: mereka adalah negara Islam trans-nasional yang berhasil mewujudkan kekhalifahan melewati batas geografis. Ideologi IS ada di dalam kesadaran para simpatisannya yang bukan hanya keturunan Arab dan tidak hanya ada di Suriah. Bentuk negara ini abstrak dan kebal peluru, menyebar di seluruh dunia.
Ketiga, reaksi pemerintah negara Barat terhadap IS mengobarkan perang fisik di Timur Tengah dan pengetatan aturan pengungsi di Uni Eropa. Secara fisik, serangan balasan masif ke Raqqa sudah diluncurkan tanggal 16 lalu. Secara kebijakan, politisi ekstrim kanan Uni Eropa dan lebih dari separuh Gubernur di AS melarang pemindahan atau penambahan pengungsi—logika yang menurut filsuf Slavoj Žižek sama radikalnya dengan IS.
Sementara itu, potensi IS di Indonesia tidak bisa diremehkan. Tahun 2014 tercatat 514 orang Indonesia pindah ke Suriah. Pada Maret 2015, tercatat 159 orang Indonesia lagi yang pindah—dan angka ini terus naik karena dipupuk oleh radikalisme melalui internet, rekrutmen oleh ormas dan kebijakan pemerintah daerah yang mentolerir bahkan mendukung radikalisasi.
Setara institute mencatat 10 kota paling tidak toleran terhadap non-muslim dan menempatkan Bogor di posisi pertama dengan kebijakan Wali Kota Bima Arya yang sangat diskriminatif terhadap penganut Kristen dan Syiah. Hal-hal semacam inilah yang membuat Indonesia selalu ikut trend radikalisme global; dari Al-Qaidah, Mujahidin, Jemaah Islamiyah sampai IS, selalu memiliki anggota Indonesia.
Kerusakan telah terjadi, penonton telanjur terbagi. Perang terbuka dimulai tapi ide kebal peluru dan misil. Maka kita pun harus maju berperang melawan ego diri sendiri dan belajar menerima satu sama lain. Sementara kelompok hacker anonimus menghancurkan akun-akun penyebar propaganda IS—sesuatu yang tak mungkin dilakukan negara dan birokrasinya, kita yang punya hati harus mengembalikan spektrum warna terhadap Islam yang kita kenal, yang tidak sesederhana hitam dan putih.
Bisa dimulai dari berkenalan dan belajar dengan mereka yang kita anggap radikal atau kafir.