Minggu, November 24, 2024

Ada Apa dengan Aksi Bela Islam?

Neng Dara Affiah
Neng Dara Affiah
Sosiolog, Peneliti dan Pendidik. Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Komisioner Komnas Perempuan 2007-2009 dan 2010-2014.
- Advertisement -

Kabarnya, 4 November 2016, beberapa ormas Islam akan berdemonstrasi dari Masjid Istiqlal menuju Istana Negara. Tuntutan yang akan disuarakan adalah penentangan mereka pada pemimpin non-Muslim dan protes mereka pada kasus penistaan agama. Meski calon gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai pihak yang dituntut sudah meminta maaf kepada umat Islam karenanya.

Tetapi, di sisi lain, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), ormas Islam terbesar di Indonesia, sudah melarang seluruh kadernya untuk ikut dalam demonstrasi tersebut. PBNU juga melarang atribut dan lambang-lambang NU dipergunakan dalam aksi jalanan tersebut (29/10/2016).

Sikap yang sama disampaikan Pimpinan Pusat ‎Muhammadiyah melalui ketua umumnya Haidar Nasir. Ormas kedua terbesar di Indonesia ini mengingatkan agar demonstrasi tidak membawa-bawa dan tidak menggunakan atribut Muhammadiyah (30/10/2016). Artinya, secara organisatoris, Muhammadiyah tidak berada dalam barisan demonstrasi ini.

Dengan demikian, sikap dan pandangan umat Islam terhadap dua isu ini (kepemimpinan non- Muslim dan kasus penistaan agama) tidaklah tunggal. Ia beragam. Tergantung pada cara pandang dan penafsiran terhadap ayat-ayat dalam kitab suci, termasuk surat al-Maidah ayat 51.

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma'ruf Amin (kedua kiri), Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siraj (ketiga kiri), Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (kiri) dan sejumlah undangan lainnya melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (1/11). Dalam pertemuan yang membahas sejumlah masalah tersebut, Presiden Joko Widodo menegaskan tidak akan mengintervensi kepolisian dalam penanganan kasus dugaan penistaan agama dengan terlapor Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/pd/16.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma’ruf Amin (kedua kiri), Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siraj (ketiga kiri), Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (kiri) dan sejumlah undangan lainnya melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (1/11). [ANTARA FOTO/ Widodo S. Jusuf]
Keragaman Islam

Dalam sejarahnya, umat Islam sesungguhnya tidak pernah tunggal. Ia beragam. Pernah menjadi satu kesatuan utuh dan tidak terpecah ketika Nabi Muhammad masih hidup (w. 632 M). Pada saat itu, seluruh persoalan kehidupan bisa ditanyakan langsung kepada beliau, karena ia memberikan solusi nyata terhadap problem masyarakat setempat yang kelak sebagian terdokumentasi dalam al-Qur’an dan Hadis. Jawaban Nabi pun menjadi standar aturan hidup yang tidak tertulis, tapi dipanuti oleh semua umatnya.

Setelah Nabi Muhammad wafat, sebelum ia dimakamkan, pertikaian pun mulai terjadi. Sumber pertikaian pada masalah, siapakah pengganti Nabi yang akan memimpin umat Islam? Sebagian berpendapat bahwa yang harus menggantikan Nabi adalah Abu Bakar as-Siddiq (w. 634 M/13 H), karena ia sahabat tertua dan mertua Nabi.

Fungsi pengganti nabi bukanlah nabi, melainkan seorang pimpinan yang mengepalai kolektivitas dalam suatu komunitas agama baru, Islam. Ia berfungsi menyelesaikan segala perselisihan dan meneruskan apa-apa saja yang telah dilakukan Nabi sepanjang hidupnya.

Pendapat inilah yang kemudian melahirkan golongan Ahlussunnah wal-Jamaah (Muslim Sunni) yang menghormati empat khalifah pertama: Abu Bakar, Umar Ibn al-Khattab (644 M/23 H), Utsman Ibn Affan (656 M/35 H), dan Ali bin Abi Thalib (661 M/40 H).

Sebagiannya lagi berpendapat yang harus menggantikan Nabi Muhammad adalah Ali bin Abi Thalib (661 M/40 H), karena ia sepupu dan menantu Nabi. Sejak kecil Ali bersama Nabi dan ia tak pernah menganut agama lain, selain agama Islam.

- Advertisement -

Ia dianggap mewarisi kesalehan dan kharisma Nabi, tetapi bagi kelompok yang memilih Abu Bakar, saat itu Ali masih muda dan dianggap belum berpengalaman. Pendapat ini kemudian melahirkan kelompok Islam aliran Syi’ah.

Di masa ini pun, timbul kelompok lain yang menentang Ali bin Abi Thalib. Kelompok tersebut bernama Khawarij, yang berarti mereka yang keluar dari barisan Ali (37 H). Penganut Khawarij ini umumnya orang-orang Arab Baduwi, cenderung berpikir dangkal, kurang menyukai ilmu pengetahuan, tapi mereka beragama secara ekstrim dan sangat fanatik.

Ciri utama dari kelompok Khawarij adalah mereka memahami ayat-ayat al-Qur’an secara harfiah dan tak mampu menyelami di balik ayat-ayat yang nampak, mudah mengkafirkan pihak lain, menghalalkan darah dan harta yang tak sejalan dengannya. Mereka juga tak gentar menghabisi nyawa orang yang dianggapnya lawan dan kuat nyali menghadapi maut dan perang. Kekerasan demi kekerasan mereka lakukan dengan bengis dan kejam. Pihak yang bertanggung jawab terhadap terbunuhnya Ali bin Abi Thalib adalah kelompok Khawarij ini.

Meskipun yang utama ditonjolkan oleh aliran Khawarij adalah Islam politik yang dalam perjalanan sejarahnya terus-menerus memerangi dan merebut kekuasaan yang dianggapnya “thagut”, mereka tak pernah memenangkan peperangan dan selalu terkucil dalam lingkaran kekuasaan. Sejarah mencatat, mereka kalah dalam peperangan melawan pasukan Ali bin Abi Thalib (60 H) dan dihancurkan oleh pasukan Bani Umayyah pada tahun 77 H. Karena kekalahan demi kekalahan yang mereka derita inilah membuat mereka frustasi yang dilampiaskan dengan pelbagai kemarahan dan kekejaman.

Menarik mencermati fenomena Islam Khawarij ini. Meskipun sebagai aliran yang bersifat formal tidak pernah diketahui keberadaannya di Indonesia, sebagai sebuah paham keagamaan dan politik, ia memiliki kemiripan dengan paham keagamaan yang dianut oleh para pemuka. Mereka juga yang aktif terlibat dalam organisasi-organisasi seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Islamiyah, Front Pembela Islam (FPI), dan organisasi sejenis.

Kemiripan tersebut utamanya pada memahami ayat-ayat suci al-Qur’an secara harfiah, mengutamakan cara-cara kekerasan dalam perjuangannya; mudah mengafirkan dan menerapkan hukuman bunuh bagi kelompok yang berbeda. Meskipun kelompok tersebut sama-sama beragama Islam, jika paham dan praktiknya berbeda dengan cara yang mereka anut, maka tak segan pula mereka mengkafirkan dan membunuhnya. Apalagi terhadap mereka yang beragama di luar Islam.

Organisasi-organisasi di atas adalah organisasi yang nanti akan demonstrasi pada 4 November 2016.  Bagi mereka, semua kehidupan yang dijalani di luar hukum agama versi yang mereka pahami merupakan kejahatan terhadap Tuhan. Karena itu, demonstrasi semacam ini laksana perang yang dimaknai jihad. Jika mereka mati, kematiannya dianggap syahid. Jika mereka hidup, mereka sudah melakukan perlawanan secara heroik terhadap kaum thagut dan kafir.

Sebagaimana kaum Khawarij, organisasi-organisasi ini selalu tersisih dari Islam arus utama. Ia selalu berada pada posisi pinggiran kekuasaan, dan bahkan tak sedikit yang menganggap mereka menyimpang dari Islam. Ini agaknya karena sikap ekstrim mereka yang membuat mereka tak bisa bekerja sama dengan pihak lain, dangkal dalam menganalisa situasi sebagai akibat dari miskinnya wawasan dan pengetahuan,  juga tumpul dalam strategi. Hanya kekerasan demi kekerasanlah yang mereka andalkan, baik kekerasan verbal berupa makian dan teriakan, maupun teror fisik seperti pembunuhan dan pengeboman.

Khaled Abou al Fadl, Profesor Hukum Islam dari University of California, Los Angeles (UCLA), menganalisa bahwa kekerasan dan teror yang mereka lakukan adalah akibat dari rasa keterasingan mereka di era kontemporer ini. Imajinasi mereka tentang kekuasaan adalah model kepemimpinan di masa Nabi dan kekhalifahan sahabat Nabi yang empat, suatu model utopis yang tak kunjung ketemu wujudnya sejak berakhirnya Khalifah Rasyidin hingga sekarang ini.

Terkait dengan rencana demonstrasi 4 November 2016, meski mungkin mereka tak akan mampu memobilisasi massa besar-besaran, karena memang jumlah mereka bukan arus utama, kebencian dan daya ledak mereka bisa membahayakan dan merugikan publik luas. Kasus terakhir dari daya ledak tersebut adalah bom di Paris, Prancis, dan di Madinah, Saudi Arabia.

Karena itu, pernyataan Presiden Joko Widodo melalui Kepala Sekretariat Presiden yang meminta aparat keamanan untuk bersiaga secara penuh bukan hanya sekadar pernyataan, tetapi  ia harus benar-benar dilaksanakan melalui langkah-langkah nyata. Kesiagaan keamanan adalah salah satu cara jitu dalam menangkal aksi onar dan kemungkinan aksi-aksi miskin adab lainnya.

Neng Dara Affiah
Neng Dara Affiah
Sosiolog, Peneliti dan Pendidik. Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Komisioner Komnas Perempuan 2007-2009 dan 2010-2014.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.