Senin, Oktober 14, 2024

Ahok, Sumber Waras, dan Ketidakwarasan

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
ANTARA FOTO/ Vitalis Yogi Trisna
ANTARA FOTO/ Vitalis Yogi Trisna

Tulisan ini bukan pledoi untuk Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Bukan juga dakwaan bagi pihak-pihak yang menuduh bahwa ada korupsi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. Namun, saya akan berdiri pada fondasi yang objektif nan proporsional dalam melihat problem–indikasi korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras DKI Jakarta. Benarkah ada korupsi dalam kasus Sumber Waras?

Jika ditarik ke belakang, indikasi korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras dimulai ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) DKI Jakarta menyatakan bahwa terdapat pelanggaran prosedur dan kerugian negara dalam pembelian lahan rumah sakit seluas 36.410 meter persegi itu. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 191,3 miliar. Ini angka yang fantastis bila dibandingkan dengan spririt Ahok untuk menuntaskan korupsi di DKI Jakarta. Apalagi Ahok lantang bersuara ketika birokrasi–bawahannya menyentuh perbuatan yang hina dan haram itu.

Hasil audit BPK DKI Jakarta kontan menjadi komoditas bagi segelintir orang yang “memaksa” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turun gunung menuntaskan korupsi di Sumber Waras. Komisi antirasuah itu kemudian meminta BPK RI melakukan audit investigatif. Hasilnya sudah dapat diramal, ada pelanggaran prosedur dan kerugian negara mencapai Rp 191,3 miliar.

Beberapa pekan kemudian pimpinan KPK berujar di media bahwa belum ditemukan indikasi korupsi pada pembelian lahan RS Sumber Waras Jakarta.

Independensi BPK DKI
Ketika BPK DKI mengumumkan hasil audit pembelian lahan RS Sumber Waras, Ahok menolak dengan tegas. Bagi Ahok, itu adalah bagian dari skenario besar untuk menjegalnya pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Benarkah BPK DKI terjebak dengan politik praktis itu? Ataukah Ahok yang tengah membela diri?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penting bagi kita untuk melihat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK DKI Jakarta. Ada tujuh temuan dalam kaitannya dengan kasus ini. Pertama, penunjukan lokasi tidak sesuai dengan ketentuan. Kedua, terjadi pelanggaran prosedur pembelian tanah. Ketiga, proses penganggaran tidak sesuai dengan ketentuan.

Keempat, penetapan lokasi tanah tidak melalui proses studi kelayakan dan kajian teknis yang wajar. Kelima, pembelian dilakukan pada masa berlaku kontrak antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras dan PT Ciputra Karya Utama.

Keenam, tanah yang diserahkan tidak sesuai dengan yang ditawarkan. Ketujuh, atau yang terakhir, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membayar sebelum pihak Yayasan memenuhi kewajiban membayar tunggakan pajak bumi dan bangunan rumah sakit senilai Rp 6,6 miliar.

Dari sejumlah temuan tersebut, ada dua hal yang berkenaan dengan independensi BPK DKI. Pertama, implementasi aturan oleh BPK. Lembaga ini mengacu pada Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Ketentuan lain adalah Pasal 2 jo Pasal 5 Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pengadaaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Secara substantif kedua aturan tersebut menekankan ketaatan pada mekanisme pengadaan tanah dan perkiraan nilai tanah. Ini yang kemudian menjadi dasar bagi BPK DKI sehingga menyatakan ada kesalahan prosedur yang berdampak pada kerugian negara. Menjadi masalah kemudian ternyata BPK DKI tidak secara utuh membaca dan mengimplementasikan Perpres pengadaan tanah tesebut, sebab salah satu pasal krusial diabaikan.

Pasal 121 Perpres No. 40 Tahun 2014 menyebutkan proses pengadaan tanah di bawah 5 hektare dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan dan pemilik tanah. Konsekuensi yuridis dari ketentuan ini adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat mengabaikan klausul lain dalam UU pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Dengan kata lain, melalui ketentuan ini, ada diskresi yang begitu besar kepada Pemerintah DKI dalam menentukan proses pengadaan tanah, termasuk pembentukan tim pembelian tanah.

Kedua, ihwal penentuan jumlah kerugian negara. BPK DKI menghitung kerugian negara berdasarkan nilai kontrak pembelian antara Yayasan dan PT Ciputra pada tahun 2013 dengan harga tanah Rp 15,5 juta per meter persegi. Karena itu, total pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemerintah DKI mencapai Rp 564,3 miliar. Dengan demikian, wajar jika kerugian negara ditaksir sebesar Rp 191,3 miliar.

Alih-alih menggunakan nilia jual objek pajak (NJOP) 2014 sebesar Rp 20,7 juta per meter persegi sebagai dasar perhitungan kerugian negara, BPK DKI malah merunut pada NJOP 2013. Padahal, BPK dapat menjadikan ini sebagai pintu masuk untuk mengidentifikasi lebih jauh mengenai potensi menaikkan harga tanah dalam perhitungan NJOP 2014. Sayangnya, BPK DKI tidak terlalu cermat dalam memeriksa hal ini.

Pendeknya, pemeriksaan BPK DKI atas pembelian lahan RS Sumber Waras belum sepenuhnya melaksanakan aturan yang ada dan kurang cermat sehingga mempengaruhi independensinya. Padahal, independensi adalah salah satu bagian penting untuk mengukur objektifitas dan akuntabilitas kinerja kelembagaan. Paling tidak variabel itu yang dikehendaki dalam Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Perbuatan Melawan Hukum

Selain seberapa banyak kerugian negara, salah satu unsur utama (bestandel) dalam tindak pidana korupsi adalah ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum yang dilakukan seseorang atau badan hukum. Pakar hukum pidana Schaffmeister dan N. Keijzer menyatakan, melawan hukum adalah satu kata empat makna: melawan hukum umum, khusus, formil, dan materil.

Dalam konteks tindak pidana korupsi, melawan hukum formil artinya perbuatan yang telah memenuhi rumusan perbuatan pidana yang dilarang dalam UU pidana tertulis. Pertanyaannya, adakah perbuatan melawan hukum dalam pembelian tanah RS Sumber Waras sehingga dapat menimbulkan kerugian negara?

Selain merujuk pada UU antikorupsi, mengukur perbuatan melawan hukum dalam pembelian lahan RS Sumber Waras juga dapat dilihat pada UU No. 2 Tahun 2012 dan Perpres No. 40 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Mengacu pada uraian di awal, sulit dikatakan ada perbuatan melawan hukum, sehingga ada penyalahgunaan wewenang yang berdampak pada kerugian negara. Pasalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendapatkan pembenaran yuridis melalui Pasal 121 Perpres pengadan tanah tersebut.

Singkatnya, tak ada perbuatan yang bertentangan dengan aturan hukum dalam pembelian tanah RS Sumber Waras. Dan karenanya belum ada kerugian negara. Pada titik ini pernyataan pimpinan KPK bahwa belum ada indikasi korupsi pada pembelian tanah RS Sumber Waras nampaknya lebih waras dari sekadar orang waras yang melihat lahan RS Sumber Waras.

Sebagai catatan penutup, penting untuk ditegaskan bahwa pembelian tanah RS Sumber Waras adalah menyangkut hajat hidup orang banyak. Dan ini adalah biaya hidup-matinya warga Jakarta. Karena itu, pengawasan menjadi penting tidak hanya sebatas pembelian tanahnya tetapi juga hingga rumah sakitnya kelar.

BPK DKI dan KPK teramat penting untuk terus berkoordinasi guna memetakan ada atau tidaknya korupsi di RS Sumber Waras. Demi mencegah semakin maraknya orang tak waras karena korupsi yang diwaraskan.

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.