Kamis, Mei 2, 2024

Sesalah-salahnya Google, Sebenar-benarnya Ulama

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
quran-google

Saya sedih melihat perbedaan pandangan di antara mereka yang, konon, belajar agama dengan baik dipertontonkan seperti terjadi di acara Indonesia Lawyers Club – TVOne dua hari lalu. Saya adalah orang yang sadar sepenuhnya pada perbedaan pandangan di kalangan ulama terhadap beragam masalah. Tetapi, perbedaan pandangan tidak seharusnya disikapi dengan menghamburkan energi negatif hingga seperti itu.

Suka atau tidak suka, kita tahu bahwa kali ini titik apinya ada pada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Sang Gubernur Jakarta. Dia adalah sosok kontroversial dalam beragam hal. Dan kita semua tahu, mulutnya kerap lancung. Kali ini lebih “dahsyat” dari biasanya, karena dia menyatakan bahwa sebuah ayat dari kitab suci al-Qur’an, al-Maidah ayat 51, telah dipergunakan untuk membohongi banyak Muslim.

Memang, ayat itu kini sedemikian populernya. Bukan karena Ahok sebetulnya. Jauh hari sebelum Ahok resmi mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI untuk periode kedua, tempat di mana banyak Muslim berkumpul sudah kerap mendengar ayat itu. Ini adalah bukti nyata bahwa popularitas ayat ini memang kontekstual. Tak bisa disangkal.

Tapi, sayangnya, pengakuan bahwa popularitas ayat itu kontekstual tidak dibarengi dengan kesadaran bahwa demikian juga dengan terjemahan dan tafsir atas ayat. Masjid, musala, langgar, atau tempat-tempat pengajian yang membincangkan kajian ayat itu kebanyakan gagal mengapresiasi bahwa kenyataannya terjemahan ‘awliya’ tidaklah tunggal.

Saya punya cukup banyak terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Inggris. Mengapa? Karena sejak mulai ingin menjadi Muslim yang lebih serius, saya berhadapan dengan kenyataan bahwa beragam isu—apalagi yang kerap dinyatakan sebagai kontroversial—saya dapati banyak pendapat ulama soal itu.

Saya kemudian mengetahui bahwa banyak terjemahan al-Qur’an yang dianggap otoritatif, dan langkah permulaan saya ketika perselisihan pendapat tentang makna ayat terjadi, saya perlu memeriksa terjemahan-terjemahan itu. Lantaran saya tak fasih berbahasa Arab, maka bahasa Inggris-lah yang saya periksa. Syukurlah, banyak ulama otoritatif menulis dalam bahasa antar-bangsa ini.

Sejujurnya, tak pernah saya temukan sekalipun penerjemah otoritatif menggunakan ‘leader’ atau bahkan yang lebih sempit lagi ‘political leader’ di dalam menerjemahkan ayat yang ekstra-populer itu. Zuhairi Misrawi sudah pernah memaparkan hasil kajiannya atas bagaimana ‘awliya’ diterjemahkan, dan demikian pula yang saya temukan.

Saya juga memeriksa beberapa terjemahan yang tidak disebut dalam kajian Zuhairi, dan hasilnya konsisten. Tak ada ‘leader’ atau ‘political leader’ di terjemahan mana pun.

Jadi, sampai di sini masalahnya menurut hemat saya sudah ada dua. Pertama, karena terjemahannya tidak tunggal, dan kedua tak ada penerjemah otoritatif yang menggunakan kata ‘pemimpin’ atau ‘leader’ di mana pun. Ini tidak diakui di mana pun. Termasuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang belakangan mengeluarkan pendapatnya soal kontroversi yang “dimulai” oleh Ahok.

Saya juga memeriksa beragam tafsir atas ayat tersebut. Hasilnya, lebih dahsyat lagi. Tapi saya tak perlu mengulangi menyatakan apa yang saya temukan. Sudah banyak orang yang lebih otoritatif yang menuliskannya. Dan keilmuan saya soal ini sama sekali tak bisa diandalkan.

Saya cuma pencari informasi di Google dan mencoba membandingkan pemikiran banyak ulama yang dipandang sebagai otoritas tafsir al-Qur’an. Yang saya bisa bilang adalah, tak satu pun di antara mereka yang menafsirkannya sesempit orang-orang yang ceramahnya mendasarkan pada terjemahan “pemimpin” sebagaimana yang saya kerap dengar di negeri ini.

Beberapa tahun lalu saya membaca penjelasan yang sangat memiriskan hati. Bukan soal ayat ini. Tapi soal otoritas keagamaan. Menurut Khaled Abou el-Fadl, seorang ulama/ilmuwan yang saya sangat kagumi, sistem pengajaran hukum Islam menjadi berantakan lantaran penjajahan di negeri-negeri Muslim. Kalau tadinya hukum Islam dipelajari sebagai ilmu pengetahuan, dengan sifat-sifat ilmu pengetahuan yang melekat kuat, penjajahan telah membuat pendangkalan luar biasa atas sifat itu.

Karena sistem pendidikan hukum Islam menjadi berantakan, maka makin sulit kita mencari ulama yang punya otoritas ilmu pengetahuan soal hukum Islam ini. Tentu kita masih punya berbagai universitas besar di dunia yang menghasilkan para ulama yang hebat. Tapi, dibandingkan kebutuhan Muslim di seluruh dunia, jumlah mereka yang menempuh pendidikan formal hukum Islam—dan cabang pengetahuan Islam lainnya—sangatlah kecil.

Itu diungkapkan el-Fadl dalam The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist (2005), salah satu buku terbaik yang mendiskusikan tentang ekstremisme dalam agama.

Padahal umat Islam membutuhkan petunjuk untuk memahami pesan agamanya. Kita tak hanya membutuhkan petunjuk tentang tata cara ibadah salat, puasa, atau haji. Kita butuh juga petunjuk soal hal-hal yang “kekinian”, seperti memilih di mana uang kita simpan, menyikapi kerusakan alam, dan—tentu saja—memilih kepala daerah. Sangat repot menjadi Muslim kalau kemudian yang ternyata kita dengarkan adalah orang-orang yang ternyata tidak otoritatif.

Dalam Reasoning with God: Reclaiming Shari’ah in the Modern Age (2014), el-Fadl menyatakan hal yang, menurut saya, sangat relevan dengan Indonesia sekarang. Lantaran sebagian besar kita tak tahu soal siapa yang otoritatif dan yang tidak, maka mayoritas Muslim kemudian mendekatinya lewat penampilan. Kita cenderung menganggap mereka yang memakai pakaian dan aksesoris tertentu adalah yang otoritatif. Tentu ini sama sekali tak berdasar. Namun, bagaimana lagi mayoritas orang menerka?

Televisi dan radio kemudian memberi sinyal soal otoritas itu. Yang kerap tampil di kedua media massa itu dianggap semakin otoritatif. Karena kita bukan bangsa dan umat yang rajin membaca, tulisan tak cukup dihargai. Buku-buku tebal dihindari, tapi buku-buku pamflet tipis dijadikan rujukan. Tentu ini kemudian mereduksi kompleksitas permasalahan. Yang rumit memang sangat sulit masuk ke dalam kepala, apalagi kita juga rajin berdalih bahwa kehidupan sudah rumit, maka yang bisa menyediakan jawab instanlah yang menang.

Dan ketika media sosial hadir, otoritas ilmu pengetahuan yang sebenarnya benar-benar terjungkal. Masyarakat yang tak doyan tabayyun ini kemudian menyebarluaskan tulisan apa pun yang muncul di ponsel pintar mereka. Entah siapa yang menulis, entah benar nama yang tercantum itu adalah penulisnya, bila cocok dengan “hati”, maka tombol penyebaran lalu ditekan. Kehati-hatian sirna, berganti dengan kehendak tampil pertama kali menyebarkannya di grup media sosial yang diikuti.

Kondisi ini tentu menjadi lahan subur pembodohan umat Islam dan pendangkalan keislaman. Tak ada ruang bagi menikmati pencarian ilmu pengetahuan, mengikuti, dan berkontribusi dalam diskusi yang produktif, menghargai perbedaan dan keragaman pendapat, dan merenungi makna beragam isu yang hadir dalam kehidupan manusia. Itu semua terlampau mewah bagi jiwa-jiwa yang gelisah memenuhi hajat hidup yang mendesak.

Kembali ke acara ILC itu, salah seorang yang dianggap sebagai ulama melancarkan kritiknya kepada Nusron Wahid yang menurutnya tidak sopan. Dia menyatakan, “Sesalah-salahnya ulama itu sebenar-benarnya kita.” Maksudnya, ulama itu berada dalam kelas yang berbeda dari orang kebanyakan.

Dia mungkin salah, namun tetap saja kesalahan itu tak membuatnya sama dengan Muslim lainnya, yang tidak “dicap” sebagai ulama. Tapi, tidakkah pernyataan itu mengandung kesombongan? Bila yang menyatakannya bukanlah orang yang dianggap sebagai ulama, mungkin kita akan melihatnya dengan cara berbeda. Tapi, ketika orang yang dianggap sebagai ulama yang mengatakannya, kita bisa membaca sebagai bentuk narsisme.

Lebih jauh, tidakkah keprihatinan el-Fadl soal surutnya mutu pendidikan keislaman itu pantas menjadi renungan kita bersama? Apakah para ulama tak melihat “penentuan” kadar keilmuan dari pakaian dan aksesoris itu sesuatu yang mengganggu? Tidakkah kenyataan bahwa banyak di antara mereka yang dianggap sebagai ulama adalah orang yang tak pernah belajar agama secara formal itu mengganggu?

Mungkin tidak, demikian jawaban untuk pertanyaan terakhir itu. Karena sekarang teknologi informasi juga menyediakan sesuatu yang tak bisa kita peroleh di masa lalu. Kalau saya mendapati teks-teks tafsir dengan mudah, orang lain juga begitu. Kalau saya bisa menggunakan Google untuk membandingkan pendirian berbagai ulama, mendapat ide soal derajat otoritas ulama dari beragam situs, maka orang lain juga bisa melakukannya. Hanya dibutuhkan kesediaan untuk belajar dengan sungguh-sunguh, dan menyingkirkan syahwat politik yang mungkin menodai setiap hati kita.

Google tidak bersorban, tidak berjenggot, tapi, demi Allah, alat ini telah memungkinkan saya mengetahui bahwa terjemahan dan tafsir yang didengung-dengungkan mereka yang dianggap sebagai ulama di sini ternyata bukanlah pendapat yang masyhur. Orang-orang yang dianggap sebagai ulama di negeri ini harus ingat bahwa kalau mereka tidak meningkatkan ilmunya, menjadikan diri benar-benar otoritatif, maka mereka bisa kehilangan relevansi.

Kalau Google telah bisa membantu saya menungkapkan betapa sempitnya terjemahan dan tafsir atas al-Maidah ayat 51 yang dipegang oleh mereka yang dianggap sebagai ulama di sini, mungkin hal yang sama akan terungkap lagi di polemik-polemik yang melibatkan mereka di masa depan.

Mungkin menyakitkan, tapi—dengan meminjam ungkapan “sang ulama” di ILC—sudah tiba saatnya orang tahu bahwa, bila dimanfaatkan dengan benar, “sesalah-salahnya Google, sebenar-benarnya ulama.” Tetapi, tentu saja, ulama yang benar-benar otoritatif akan selalu bisa mengungguli Google.

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.