Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat bekejaran dengan waktu menyelesaikan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU PIlkada). Ini mengingat pelaksanaan pilkada serentak gelombong kedua telah ditetapkan, yakni 15 Februari 2017. Oleh karena itu, UU Pilkada yang baru mesti ditetapkan awal tahun ini agar bisa digunakan sebagai dasar pelaksanaan tahapan.
Tantangannya, banyak persoalan yang harus dipecahkan dalam revisi ini dalam waktu yang sangat singkat. Bagaimana DPR dan pemerintahan Joko Widodo mampu mengidentifikasi persoalan krusial yang muncul di Pilkada 2015 agar tidak kembali terulang di 2017. Jika tidak, penataan pilkada serentak akan kembali terbentur pada persoalan yang terus berulang-ulang.
Revisi ini tidak sekadar prosedur untuk penyesuaian undang-undang dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Kalau hanya itu, tanpa direvisi sekalipun, putusan Mahkamah Konstitusi tetap berlaku dan mengikat keberadaannya.
Syarat pengunduran diri bagi anggota DPR dan DPRD, kepesertaan calon tunggal, syarat dukungan calon independen, hak konstitusional keluarga petahana, misalnya, tetap berlaku karena sifat pengujiannya materiil yang melekat di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, tanpa harus direvisi, putusan-putusan Mahkamah Konstitusi ini harus menjadi rujukan bagi penyelenggaraan Pilkada 2017.
Maka, revisi UU Pilkada semestinya tidak hanya dimanfaatkan untuk mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi. Revisi ini harus didasarkan pada persoalan yang muncul di pilkada lalu. Persoalan ini yang mesti dicarikan jalan keluarnya, rekayasa hukum menjadi jalan agar Pilkada 2017 berjalan dengan baik.
Identifikasi Masalah
Terkait dengan itu, ada beberapa persoalan yang muncul dalam pilkada lalu. Beberapa persoalan itu terkait dengan anggaran, kepesertaan partai politik berkonflik, syarat pencalonan, calon tunggal, mekanisme kampanye, pelanggaran, sengketa pencalonan hingga perselisihan hasil pilkada.
Pertama, terkait anggaran, ada tiga masalah pokok, yakni komitmen pemerintah untuk mengalokasikan anggaran. Pemerintah daerah terlambat dalam menyetujui (menandatangani) Nokta Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Kalaupun kemudian NPHD ini telah disetujui, pencairan anggarannya mengalami keterlambatan. Padahal tahapan pilkada telah disusun sangat ketat dan limitasi waktu yang pendek. Akibatnya, beberapa daerah mengalami persoalan, di mana muncul boikot dari penyelenggara tingkat lapangan karena anggaran belum cair.
Kedua, terkait status kepesertaan partai politik yang sedang mengalami konflik kepengurusan. UU Pilkada tidak mengantisipasi bagaimana jika terjadi konflik di internal partai. Apakah tetap bisa diikutkan sebagai peserta pemilu, atau harus parkir dulu hingga kepengurusannya beres.
Awalnya, Komisi Pemilihan Umum melalui peraturannya cukup yakin untuk memarkir partai politik berkonflik dalam Pilkada 2015, meski di akhir-akhir justru berbalik arah mengakomodasi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar sebagai peserta pilkada. Walau kepesertaan PPP dan Golkar bersyarat, yakni wajib mendapatkan rekomendasi dari dua kubu berkonflik.
Ketiga, masalah ini cukup mengejutkan dan di luar prediksi, yakni kemunculan calon tunggal di Kabupaten Blitar, Timur Tengah Utara, dan Tasikmalaya. Sebelumnya ada Kota Surabaya dan Samarinda yang juga hampir mengalami devisit calon kepala daerah. Pembuat undang-undang sepertinya sangat percaya, akan banyak peminat di pilkada. Karenanya, begitu muncul calon tunggal tidak ada jalan keluar mengakomodasi calon tunggal.
Syarat pencalonan, khususnya bagi mantan narapidana, juga menimbulkan perdebatan dalam pencalonan di Kota Manado, Humbang Hasundutan, dan Boven Digoel. Calon kepala daerah di tempat ini masih menjalani masa hukuman, meski tidak lagi berada di rumah tahanan/lapas. Akibatnya, muncul pandangan berbeda, pasangan calon menganggap bahwa mereka telah memenuhi kualifikasi sebagai pasangan calon dan hanya perlu mempublikasikan diri sebagai mantan narapidana. Akan tetapi penyelenggara berpandangan berbeda, status bersangkutan masih menunjukkan sebagai narapidana yang tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon.
Kasus politik uang dan mahar politik juga masih ditemukan dalam pilkada lalu. Upaya untuk mendorong integritas pilkada belum bisa dijalankan mengingat kasus-kasus politik uang tidak bisa dijerat hukum. Meski telah ditegaskan politik uang haram, sanksinya tidak ada dalam undang-undang. Akibatnya, kasus-kasus ini melenggang begitu saja. Sama halnya dengan larangan terhadap mahar politik, tak ada sanksi pidananya, begitu juga sanksi administrasinya.
Mekanisme penyelesaian sengketa yang semestinya menjadi jalan keluar atas persoalan pilkada justru menimbulkan masalah baru. Awalnya, 15 November 2015 diprediksikan semua sengketa pencalonan selesai sehingga tidak mengganggu tahapan pilkada. Nyatanya, pilkada di Kalimantan Tengah, Humbang Hasundutan, dan Pematang Siantar harus diundur karena masih dalam proses penyelesaian sengketa.
Begitu juga dengan sengketa di Mahkamah Konstitusi, pemberlakuan ambang batas pengajuan sengketa justru menimbulkan gaduh. Ambang batas ini dinilai terlalu kecil, apalagi muncul tafsir berbeda antar semua pihak dalam menghitung persentase selisih suara yang bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Apalagi ambang batas ini diputuskan di awal sehingga para pihak tak bisa menyampaikan keluhan terhadap pelaksanaan pilkada. Ketidakpuasan ini yang kemudian mendorong banyak pihak mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi dan memilih jalan lain melalui Pengdilan Tata Usaha Negara.
Rekomendasi Perbaikan
Permasalahan-permasalahan itu mesti menjadi dasar perbaikan terhadap UU Pilkada. Perekayasaan sosial harus dilakukan dengan cara mencarikan jalan pemecahan atas persoalan yang muncul. Dengan demikian, pilkada serentak gelombang kedua bisa berjalan lebih baik. Lebih penting lagi, persoalan lama tidak kembali terulang. Karenanya, ada beberapa rekomendasi perbaikan.
Pertama, terkait anggaran pilkada, sebaiknya diserahkan pada Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, sifat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebatas pendukung sehingga politisasi terhadap pilkada bisa diminimalisasi.
Kedua, ihwal pencalonan. Perlu ditegaskan bahwa selain calon perseorangan, pencalonan hanya dibuka bagi partai politik yang tidak sedang dalam sengketa kepengurusan. Konsekuensinya, partai bersengketa tak bisa mengajukan dukungan terhadap pasangan calon.
Mengantisipasi munculnya calon tunggal, syarat pencalonan mesti diturunkan sehingga memunculkan kompetisi antar pasangan calon. Syarat pencalonan sebaiknya dikembalikan pada aturan lama sehingga membuka ruang munculnya banyak pasangan calon. Jika perlu pembatasan maksimal syarat dukungan agar tidak terjadi aksi borong dukungan oleh satu kandidat. Karena akan lebih mudah bagi calon tunggal untuk memenangkan persaingan.
Syarat bagi mantan narapidana juga mesti didefinisikan secara detail siapa yang dimaksud mantan narapidana. Memaknai lagi putusan Mahkamah Konstitusi tentang hal ini, semestinya mantan narapidana ini adalah mereka yang tak lagi menjalani hukuman baik di dalam maupun di luar lapas. Dengan demikian, mereka yang sudah bebas murni dan tidak menjalani masa percobaan.
Ketiga, ihwal ketentuan politik uang dan mahar politik. Pembuat undang-undang sebaiknya kembali memasukkan sanksi pidana bagi pelaku politik uang dan mahar politik. Memang aneh, bentuk pelanggarannya disebutkan namun sanksi pidananya justru hilang.
Keempat, soal sengketa, mekanismenya mesti dibuat secara adil: memberikan kesempatan juga bagi KPU untuk menggugat/banding terhadap keputusan Bawaslu dalam sengketa pencalonan. Sedangkan proses di Mahkamah Konstitusi, meningkatkan besaran ambang batas pengajuan sengketa diperlukan dengan catatan diputuskan di akhir, yakni setelah memeriksa pokok persoalan.
Perlu juga ditegaskan kembali bahwa putusan Mahkamah Konstitusi itu final dan mengikat sehingga tak ada upaya hukum lainnya. Keputusan KPU yang telah disengketakan di Mahkamah Konstitusi tidak lagi bisa digugat ke lembaga peradilan yang lain.
Jika persoalan-persoalan ini diperhatikan dalam revisi UU Pilkada, tentu akan jauh lebih berguna bagi perbaikan pilkada selanjutnya dibanding hanya untuk mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi yang lalu.