Mana mungkin alat pengeras suara atau toa bisa membakar sesuatu, apalagi vihara? Itu jelas tidak mungkin. Toa tidak mengandung unsur-unsur kimiawi yang mudah terbakar. Namun, jika kita mengamini gaya berpikir dialektis ala Madilog Tan Malaka, ketidakmungkinan tersebut telah runtuh. Setidaknya dalam kasus Tanjung Balai pekan lalu.
Jumat malam hingga Sabtu dini hari publik dikejutkan oleh berita terbakarnya dua vihara dan delapan klenteng di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara. Pemicunya, sekelompok orang tidak terima ketika Meliani (ada yang menyebut Erliana) meminta pengurus masjid setempat agar mengecilkan volume toa masjid. Perempuan yang disebut media massa berketurunan Tionghoa ini nampaknya telah merasa terganggu sejak lama.
Permintaan tersebut, masih menurut media, bukanlah yang pertama. Bukannya menurunkan volume toa, apalagi meminta maaf, pengurus tersebut bersama beberapa orang justru mendatangi rumah Meliani dan melakukan aksi kekerasan hingga akhirnya Meliani “diamankan” ke kantor polisi.
Ia dan suaminya diperhadapkan dengan musyawarah pimpinan kecamatan (muspika) dan para tokoh Islam, termasuk Front Pembela Islam. Entah dari mana komando berasal, massa bergerak cepat membakar dan menjarah vihara dan klenteng yang ada di kota tersebut.
Ini kali kesekian represi yang dialami warga Buddha di Tanjung Balai. Sebelumnya, dengan bantuan Wali Kota Sutrisno Hadi, sekelompok warga yang merasa keimanannya terganggu berhasil menurunkan patung Buddha di Vihara Tri Ratna pada 2010 lalu.
Bagi saya, toa masjid atau lonceng gereja bersifat unik. Dalam kajian postkolonial, alat ini dipercaya sebagai piranti menganeksasi pikiran publik untuk tujuan kolonial. Pada saat Hitler berkuasa, ia mempunyai ahli propaganda yang cukup disegani, Joseph Goebbels. Menurutnya, sesuatu yang salah akan menjadi “benar” jika publik terus diyakinkan bahwa yang salah adalah “benar”.
Ini barangkali yang menjelaskan betapa banyak pengeras suara yang dibutuhkan Hitler untuk mengepung kamp-kamp konsentrasi yang dihuni warga Yahudi dalam rangka menjejalkan ideologinya. Speaker dinyalakan untuk memutar materi-materi yang wajib dilahap para tahanan. Tak peduli siang atau malam, tak peduli mereka paham sepenuhnya atau tidak. Juga tidak peduli apakah para tahanan merasa terganggu atau tidak.
Karena watak dasar kolonialisme adalah arogan, gemar mengumbar kekerasan, sewenang-sewenang, dan ketiadaan rasa malu, maka siapa pun para tahanan yang mencoba mempertanyakan keberadaan speaker akan dilibas menggunakan prinsip kolonial: mematikan dan menjadikan teror sebagai monumen. Tahanan yang keberatan dengan speaker akan diintimidasi sedemikian rupa dan dibuat menyesal seumur hidup atas “kelancangannya”.
Tidak cukup sampai di situ, rezim kolonial ini juga acapkali merasa perlu memparadekan teror supaya tahanan lain berpikir seribu kali jika akan melakukan hal yang sama. Teror seperti ini secara sengaja difungsikan sebagai bentuk pendisiplinan dan penghukuman kesadaran kolektif tahanan sebagaimana pernah disinggung filsuf Michel Foucault (1977). Pesan kuat yang ingin disampaikan kira-kira, “sekali lagi kamu mempertanyakan volume speaker, beginilah akibatnya.”
Dekolonisasi Speaker
Kejadian toa di Tanjung Balai jelas menunjukkan masih kuatnya nalar kolonial sebagian dari penduduk mayoritas. Ketidakmampuan mereka menghindari jebakan nalar tersebut sebenarnya telah bisa diprediksi mengingat minimnya proses penyadaran atas apa yang dianggap sebagai toleransi bermasyarakat.
Dalam kacamata kolonial, toleransi adalah kesediaan minoritas menerima -tanpa reserve- apa saja yang dikehendaki oleh mayoritas, termasuk meminta mereka menenggang tingginya desibel speaker. Atau dengan bangga meluberi ruang publik untuk kegiatan keagamaan tanpa mempedulikan perasaan yang lain.
Celakanya, nalar kolonial bisa dikatakan hampir tidak pernah memaknai toleransi sebagai self regulated body bagi dirinya agar tidak melindas hak orang lain.
Toa masjid serta atribut keagamaan yang berpotensi menggerus hak orang lain perlu diwacanakan untuk terbebas dari anasir kolonialisme sebagaimana disinggung di atas. Upaya dekolonisasi speaker dan piranti sejenis hendaknya memperhatikan dengan serius keberadaan QS 16:125.
Dari ayat tersebut, eksistensi toa sebagai media dakwah sesungguhnya dibatasi oleh kepekaan (wisdom) kita atas situasi sekitar. Bahkan seandainya terjadi perselisihan dalam berdakwah, ayat tersebut telah memandatkan kita agar beradu argumentasi dengan cara yang paling baik (ahsan). Bukan dengan cara intimidatif, apalagi merusak dan membakar rumah ibadah milik orang lain.