Jumat, Maret 29, 2024

Politisasi Agama: Dari Rohingya, Palestina, sampai ISIS

Ibrahim Ali-Fauzi
Ibrahim Ali-Fauzi
Pelancong yang kadang cuma ngupi-ngerumpi di pojok @geotimes dan Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Kasir di Kepiting++ Management: ngejepit tanpa jeda.
Biksu Ashin Wirathu (U Wirathu) menjadi cover majalah TIME.

Krisis yang menimpa Muslim Rohingya berbasis pada sederet faktor. Masalah utama dan dasarnya adalah kewarganegaraan: Myanmar enggan mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya yang “kebetulan” adalah Muslim.

Nah, dari celah kecil “kebetulan” itu, faktor lain penunjang muncul dengan aktor utama seorang biksu yang memang dikenal kontroversial di Myanmar dan komunitas Buddha di sana, yakni Biksu Ashin Wirathu (U Wirathu). Pada 2003, ia divonis penjara 25 tahun karena menyebarkan kebencian anti-Muslim.

Agama memang selalu “seksi” untuk dimanfaatkan oleh oknum-oknumnya guna menyulut atau memperkeruh masalah atau konflik, berbanding terbalik dari semangat, doktrin, dan visi agama itu sendiri yang diturunkan untuk meredam konflik dan menyemai rasa aman serta perdamaian. Berkembanglah “politisasi Buddha” dalam sengkarut krisis Rohingya. Ironi!

Padahal, kenyatannya, toleransi pada minoritas Muslim di Myanmar cukup baik. Setiap Idul Adha dan Idul Fitri, misalnya, pemerintahnya menetapkannya sebagai hari libur sebagai penghormatan atas hari besar Islam. Di Yangon, juga tidak sulit mencari masjid dan warung makan halal.

Biksu U Wirathu tentu adalah oknum Buddha. Oleh karena itu, ia ditentang keras oleh Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI) karena bertentangan dengan ajaran Buddha yang toleran.

Politisasi agama memang seperti amunisi mematikan. Ia kerap hadir dalam sengkarut konflik: politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Dalam konteks konflik Israel-Palestina, misalnya, “politisasi Yahudi” menjadi salah satu tonggak propaganda Israel.

Zionis pada dasar dan awalnya adalah sekuler. Secara terang-terangan, kaum Zionis menunjukkan penolakan mereka terhadap agama lantaran Yahudi dinilai melemahkan bangsa Yahudi dengan mengajak mereka menunggu “Sang Messiah”. Ketertarikan banyak kaum Yahudi pada mereka lantaran mereka sukses secara mengagumkan dalam mengubah Tanah Israel, salah satu simbol paling suci dalam agama Yahudi menjadi realitas praktis, duniawi, dan rasional.

Tak seperti kalangan Yahudi religius yang merenungkannya secara batin (halakhah) dan sejak awam menilai tindakan Zionisme itu menginjak-injak realitas sakral secara sangat menghinakan Tuhan yang disengaja untuk menentang tradisi religius selama berabad-abad, maka Zionisme adalah “politisasi Yahudi”.

Karena itu, sejak pertama kali gagasan Zionisme digulirkan, hingga kini ia terus ditentang oleh para rabi Yahudi sendiri. Dalam bentuk organisasi, ada Neturei Karta (secara bahasa berarti “Penjaga Kota”), organisasi tertua yang menentang gerakan dan ideologi Zionisme. Dimulai pada abad ke-18, secara resmi tepatnya pada 1935, sebagai reaksi atas munculnya Zionisme dan rencana pembentukan negara Israel.

Pelopornya adalah kelompok Yahudi Ortodoks yang dipimpin oleh Rabbi Yisroel ben Eliezer. Neturei Karta kerap menyebut diri mereka sebagai “Perserikatan Yahudi Penentang Zionis”. Salah satu tokoh dan juru bicara Neturei Karta, Rabbi Yisroel Dovid Weiss, yang pernah berkunjung ke Indonesia atas undangan mahasiswa Universitas Indonesia pada seminar internasional tentang Palestina, menyebut “Zionisme adalah ajaran yang mengkhianati Yudaisme! Zionisme adalah kepercayaan setan”.

Begitu pula dalam Islam, ada Islamic State (IS) atau populer disebut ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang kian menjadi aktor utama “politisasi Islam” paling mengerikan abad ini di dunia. Mereka melakukan penyelewengan tafsir atas al-Qur’an dan hadis untuk kepentingan politiknya dengan menebar kebencian bukan hanya kepada non-Muslim yang mereka labeli kafir yang halal darahnya, tapi juga pada Muslim yang berbeda paham atau sekadar berbeda pandangan sekalipun dengan mereka.

Sekadar menyebut tiga politisasi agama tersebut untuk memudahkan kita mengimajinasikannya. Mengapa? Karena kekejamannya kini terhampar di depan mata kita melalui media. Di depan mata kita, etnis Rohingya, rakyat Palestina, dan rakyat Irak-Suriah kini didiskriminasi, disiksa, hingga dibunuh. Penting mengimajinasikannya bukan hanya untuk menumbuhkan solidaritas kita pada mereka, namun yang tak kalah pentingnya adalah imajinasi itu menjadi modal bagi kita untuk menentang keras segala bentuk politisasi agama.

Seperti kata Ibn Rusyd, bagi orang bodoh, dengan bungkus agama, kekejaman akan terlihat sebagai “perang suci” yang memukau. Semua agama bisa menjadi korbannya. Kita juga di sini. Benih-benihnya pun mulai ada.

Lihatlah bagaimana perlakuan oknum Muslim pada jemaah Ahmadiyah, Syiah di Sampang, Kristen di Bogor, dan lainnya. Maka, sembari bersolidaritas, mari sadar, mawas diri, dan mulai membersihkan “diri” ini dari politisasi agama.

Kolom terkait:

Palestina di Tengah Keabsurdan Dunia Islam [Hari Al-Quds Internasional]

Persekusi dan Nestapa Muslim Rohingya di Myanmar

5 Tahun Terusir: Syiah Sampang, Kesetiaan dan Absennya Negara

Ibrahim Ali-Fauzi
Ibrahim Ali-Fauzi
Pelancong yang kadang cuma ngupi-ngerumpi di pojok @geotimes dan Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Kasir di Kepiting++ Management: ngejepit tanpa jeda.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.