AMMAR Abdillah mengutip Sayyidina Ali untuk melukiskan Cinta. Ia berkata, ”Cinta bagaikan sekuntum bunga. Meski kau merampasnya dari tangkai, bahkan mengoyak kelopaknya hingga hancur, telapak tanganmu akan semerbak oleh wanginya.”
Penyair yang menulis buku puisi “Semalam Cinta Hadir” ini sangat terobsesi dengan Cinta. Ia bahkan tak tertarik untuk jatuh hati lagi sejak sosok yang ia cintai memilih bahtera lain. Gus dari Pati, Jawa Tengah, ini meyakini Cinta yang abadi, meski kekasih telah pergi. Dan pada Cinta itulah ia setia.
Ia tampan, pandai merangkai kata sarat makna, mumpuni menggambar realis— baik dengan potlot maupun kuas, yang tentu saja itu menunjukkan kelembutan hatinya. Namun, menurut Ammar, Cinta terlalu sakral untuk sekadar dibatasi oleh hal-hal indrawi, apalagi lantas dipecundangi oleh keinginan memiliki. Boleh dibilang, ia telah memperoleh arti hidup. Lebih dari itu, Ammar juga telah menemukan dirinya sendiri. Fasih ia bersastra dalam bahasa Urdu, Persia, dan Turki. Lincah lisannya membaca Jalaluddin Rumi dengan bahasa asli.
Di sudut lain Pulau Jawa, perjalananku mempertemukanku dengan seorang perempuan separuh baya. Dandannya eksentrik, bahkan ada kalung berliontin di pusat keningnya. Dari pergelangan tangan hingga telapak, rangkaian biji-biji tasbih melingkari. Tata bahasanya diatur selayaknya seorang spiritualis. Ia bahkan menerima konsultasi. Namun, malam itu perempuan ini datang untuk meminta saran padaku. Hidupnya risau. Gelisah. Ia merasa makin tak mengenal dirinya sendiri. Namun, ia mengeluhkan suara gaib yang terus membisikinya.
“Kamu terlalu banyak mengikuti kelas ini kelas itu. Semua-semua kamu ikuti. Itu justru menjauhkan dirimu pada dirimu sendiri,” kubilang. Ia bersungut-sungut mendengar perkataanku. Lalu, mulai bercerita berbagai pengalaman batinnya. Satu, dua, tiga, empat cerita, sampai akhirnya perempuan ini lupa tujuannya semula menemui aku. Tak apa. Aku memilih menjadi pendengar setia. Kesepian memang teman setiap pejalan sunyi, jika tidak menyebutnya risiko. Dan ketika makin banyak bicara, ia seperti ingin berkata: aku letih.
Untuk memasuki kediaman diri, kita memang perlu berdiam diri. Namun, itu bukan berarti kita harus mendiamkan diri sendiri. Justru kita harus mengajak diri kita sendiri berbicara. Selama ini kita mungkin lebih sering abai kepada kata hati. Begitu hati gelisah, sekujur jiwa raga kita pun mengerang sakit. Kita sering mendengar petuah agar suka menggunakan tiga kata sakti dalam berurusan dengan liyan, yaitu maaf, tolong, dan terima kasih. Tapi justru kita tak pernah meminta maaf dan tolong, serta berterima kasih kepada diri ini.
Sungguh, kita tak perlu orang lain untuk menyakiti diri sendiri. Kita sendiri sudah terlalu sering melakukannya. Mendustai diri sendiri, melawan kata hati, menjajah tubuh untuk melampaui batasnya, dan menuhankan akal adalah sedikit misal.
Juna, seorang penyanyi ska, dari Cililin, Bandung, berkata betapa ia merasa jauh dari agama. Kutimpali begini, ”Tak apa-apa, yang penting kamu merasa dekat dengan kematian. Kesadaran itu akan mendekatkan tak hanya kepada agama, namun bahkan kepada Tuhan.” Juna bergidik, tapi ia lalu tergelak.
Hari-hari ini kita melihat agama dalam aneka wajah. Romannya penuh riasan. Sepertinya makin susah menemukan kemurnian senyum agama sejak ragam kepentingan menggoreskan kernyit dahi, menajamkan sorot mata curiga, dan menebalkan garis seringai. Ada saja yang menjadikan agama sebagai kedok. Ada juga yang mengangkatnya laksana godam yang mengancam. Pun ada yang merasa steril dari alpa dan dosa sejak mengklaim diri pemegang stempel surga. Wajar jika Ammar pilih memasuki agama lewat pintu Cinta.
Menjadi mahfum pula Juna bahkan lebih suka merasa jau—jika bukan memang menjauh—dari agama. Dan, perempuan yang kuceritakan di atas, lebih menggemari kelas-kelas rohani, spiritual, kebatinan, metafisika, apa pun namanya, asalkan tidak lagi membawa nama agama. Kelas-kelas pencuci dosa, penenang hati, penenteram jiwa, yang memberi jalan-jalan alternatif untuk menghindari kemacetan di jalan utama agama ini makin hari makin kaya peminat. Bukan dalil-dalil fikih yang kita temukan di sini, tapi wisdom quotes.
Agama sesungguhnya membantu umat manusia menemukan jalan pulang, tapi selalu saja ada aral melintang dari diri kita sendiri, yakni perasaan lebih benar daripada yang lain. Oleh karena itulah, ada yang tak kalah penting dalam doa selain memohon perlindungan Allah dari godaan setan yang terkutuk. Apa itu? “Ya Allah, aku memohon perlindungan padaMu dari diriku sendiri, dari nafsu-nafsuku sendiri, dan dari keakuanku yang melampaui batas.” Sujud yang meletakkan kepala ke bumi harus kita sertai meredam ego ke titik terendah.
Agama mengajarkan penyerahan diri kepada Allah diikuti persembahan yang terbaik, yakni segala puji bagiNya. Dia sesungguhnya tak membutuhkan puja-puji itu, namun diharapkan kita tersadar dari sifat sombong dan sikap jumawa dengan memujiNya. Allah sebenarnya tidak pula memerlukan ibadah manusia, namun diharapkan penyembahan kita terhadapNya menyadarkan diri ini faqir dan dhaif. Tuhan tidak butuh aku minta ampun, tapi aku sendirilah yang amat sangat memerlukan ampunanNya atas segala dosa dan kesalahanku.
Aku menyebut ini sebagai Tiga Untuk Kita. Sebab, ketiganya memang benar-benar untuk kita. Kesatu, Rahmat Allah. Ya, Allah telah menetapkan Rahmat atas DiriNya, yang bahkan Rahmat itu melampaui Murka. Kedua, Syafa’at Rasulullah Muhammad SAW. Ketiga, manfaat manusia, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW, ”Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat.” Jika sepanjang hayat kita bermanfaat bagi hidup dan kehidupan, niscaya Rahmat Allah dan Syafa’at RasulNya akan menyelamatkan kita.
Nah, jika masih ada pertanyaan “untuk apa aku di dunia?”, setidaknya kini ada satu jawaban mulia: memberi manfaat pada hidup dan kehidupan. Tapi, jika pun tetap muncul tanya “siapalah aku ini sampai bisa memberi manfaat?”, aku punya jawaban: bagi keluargamu, kau tak tergantikan. Selalu pulanglah pada keluargamu, sebagaimana kita selalu berangkat dari sana. Orang-orang di rumah selalu mencintai, merindukan, dan mendoakan kita. Memastikan ibu tidak menangis karena ulah anaknya itu sudah memberi manfaat besar pada induk kehidupan.
Kolom terkait:
Pertanyaan Abadi Manusia: Siapakah Aku? (1)
Kaleidoskop Diri: Bertahan Hidup di Dunia Gerlap yang Gelap
Bahkan untuk MenyembahNya, Hamba Perlu Pertolongan Tuhan