Sabtu, April 20, 2024

Muhammadiyah yang Bukan Muhammadiyah

Rinaldi Ikhsan
Rinaldi Ikhsan
Alumni S1 Ilmu Kriminologi Universitas Indonesia.

Presiden Joko Widodo secara resmi membuka Tanwir Muhammadiyah 2017 di Islamic Center Ambon, Provinsi Maluku, Jumat (24/2/2017). Kedaulatan dan Keadilan Sosial untuk Indonesia Berkemajuan menjadi tema yang diusung Muhammadiyah dalam tanwirnya kali ini. [Sumber: www.suarainvestor.com]
Presiden Joko Widodo secara resmi membuka Tanwir Muhammadiyah 2017 di Islamic Center Ambon, Provinsi Maluku, Jumat (24/2/2017). Kedaulatan dan Keadilan Sosial untuk Indonesia Berkemajuan menjadi tema yang diusung Muhammadiyah dalam tanwirnya kali ini. [Sumber: www.suarainvestor.com]
Alkisah, dahulu kala pada zaman sebelum kemerdekaan, ada seorang kiai yang kerapkali disebut kafir oleh berbagai kalangan, termasuk keluarganya sendiri yang juga adalah keturunan ulama tersohor masa itu di tanah Jawa. Ia kerap menggunakan metode belajar-mengajar dengan sistem yang biasa ditempuh orang Barat, kala itu identik dengan merepresentasikan kaum penjajah. Sebagai contohnya adalah penggunaan biola yang dianggap musik orang kafir.

 

Tak sampai di situ, ia juga dikenal sebagai seorang ulama yang gerah dengan kondisi sosial, terlebih mengenai agama Islam yang diyakininya sebagai rahmatan lil alamin namun justru tidak nampak membawa solusi bagi umatnya kala itu. Ulama tersebut bernama KH Ahmad Dahlan yang saat ini dikenal sebagai pendiri salah satu organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah.

Kisahnya itu telah diabadikan dalam film Sang Pencerah (2010) garapan sutradara muda Indonesia, Hanung Bramantyo.

Islam Berkemajuan

Nahdlatul Ulama (NU) memiliki Islam Nusantara sebagai ujung tombak gerakan dakwahnya yang berupaya mengintegrasikan Islam dengan budaya lokal. Sementara Muhammadiyah dikenal memilih Islam Berkemajuan yang dalam praktiknya cenderung meninggalkan aspek budaya lokal, terutama yang dianggap menjadi hambatan kemajuan.

Hal ini dibuktikan dengan keterbukaan Muhammadiyah terhadap unsur budaya asing yang dianggap modern dan berkemajuan untuk perkembangan dakwahnya di Indonesia sejak masa kepemimpinan KH Ahmad Dahlan dulu.

Sayangnya, di umurnya yang menginjak 104 tahun kini, ditandai dengan gelaran sidang Tanwir pada 24-26 Februari 2017 di kota Ambon, Maluku, Muhammadiyah menurut hemat saya mulai menunjukkan keredupannya dalam mengelola keharmonisan antar umat beragama di Indonesia. Sidang Tanwir sendiri merupakan pengambilan keputusan terbesar kedua di Muhammadiyah di bawah Muktamar Muhammadiyah.

Tema dalam sidang Tanwir tersebut adalah “Membangun Karakter Indonesia Berkemajuan. Bersama masyarakat Maluku, Muhammadiyah ingin mendorong bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki karakter kuat, sebagai bangsa yang religius, cerdas berilmu, mandiri, dan bersolidaritas yang tinggi.

Hal ini memuncak ketika munculnya kasus dugaan penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Gubernur Jakarta saat ini, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Muhammadiyah yang diharapkan dapat memberikan ketenangan dan menjadi sorotan publik sebagai “aktor utama” kala itu urung menunjukkan tajinya secara jelas.

Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada anggotanya untuk mengambil sikap, sementara organisasi tidak memiliki sikap dalam memandang kasus yang, menurut saya, tidak perlu melalui proses hukum yang berlaku dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan.

Sikap para ulamanya pun terpecah-pecah. Sebut saja Amien Rais dan Din syamsudin, yang kemudian ikut menjadi bagian dari ulama Muhammadiyah yang mendukung pemidanaan dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Apalagi M. Amien Rais yang turut andil dalam aksi bela Islam di dalamnya. Sementara mantan ketua Muhammadiyah lainnya, yang juga pendiri Maarif Institute, Buya Syafii Maarif, mengambil langkah berlawanan dengan kolega dakwahnya di dalam organisasi.

Buya Syafii kerap muncul di media massa menunjukkan keengganannya terlibat dalam kasus yang lebih banyak muatan politis ketimbang hukum di dalamnya. Terlebih lewat kasus ini, potensi konflik horisontal terbuka lebar menyongsong Pilkada serentak pada pertengahan Februari 2017 lalu.

Padahal, bila kita kembali lagi pada asal muasal didirikannya organisasi Muhmmadiyah, ia membawa sikap terbuka terhadap budaya baru yang diyakininya dapat dimanfaatkan untuk melakukan dakwah. Di sini dapat disimpulkan bahwa siapa pun yang menjadi pemimpin, selagi dia menjalankan nilai-nilai Islam berkemajuan, patut didukung tanpa terkecuali, berdasar agama sekalipun.

Muhammadiyah sejatinya harus menegakkan Islam yang berkemajuan. Dakwah dengan cara-cara kekerasan, baik verbal maupun non-verbal, harus ditinggalkan, termasuk dalam memelihara perdamaian bersama warga non-muslim yang juga warga negara Indonesia dan memiliki hak sipil untuk menjadi pemimpin administratif negara.

Muhammadiyah harus menunjukkan sikap dan peran yang jelas. Hal ini tidak lain tujuannya adalah agar para anggotanya memiliki pembelajaran dan pendidikan yang kuat akan nilai-nilai organisasi.

Jelas bahwa dasar hukum yang digunakan dalam kasus dapat diperdebatkan serta cenderung bermuatan politis. Belum lagi Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diterapkan dalam kasus tersebut adalah pasal karet dan tidak memberikan kepastian hukum akibat penggunaan logika ketersinggungan perasaan, bukan materiil perbuatan yang menjadi acuan.

Hal ini membuat sewaktu-waktu kasus tersebut bisa bergeser bukan lagi perkara hukum, namun politik semata. Keterlibatan peran yang diambil nanti oleh organisasi perlu dipahami bukan sebagai penanda organisasi terlibat dalam politik praktis yang pragmatis, melainkan untuk mengambil peran politik idealis dalam mejaga keutuhan dan perdamaian NKRI.

Sidang Tanwir sebagai Titik Balik

Sebagai salah satu pertemuan tingkat tinggi di organisasi, sidang Tanwir sudah sepatutnya membahas problematika bangsa saat ini. Tidak lagi hanya membahas permasalahan internal Muhammadiyah saja. Sikap keengganan organisasi terlibat dalam memberikan pengajaran politik dan dakwah dalam kasus Ahok harus diubah. Organisasi perlu mulai bersikap terutama terkait penggunaan kekerasan oleh banyak pihak dalam menyikapi kasus tersebut.

Ancaman Islam di Indonesia dapat dilihat dari dua arah. Pertama, ancaman dari luar, yakni isu terorisme seperti ISIS yang berasal dari Timur Tengah. Kedua, ancaman dari dalam itu sendiri, yakni potensi perpecahan bangsa dalam memandang sebuah kasus atau persoalan. Di sini peran organisasi Muhammadiyah perlu diperjelas. Sikap organisasi menjadi salah satu acuan bagi para anggotanya dalam memandang persoalan saat ini.

Muhammadiyah yang bukan Muhammadiyah hari ini semoga tiada lain adalah sebuah persepsi yang salah. Muhammadiyah di usia ke 104-nya sudah sepatutnya memberikan pembelajaran bagaimana Islam Berkemajuan semestinya bersikap, termasuk dalam menyikapi kasus yang berada dalam zona perdebatan, seperti dugaan penistaan agama saat ini.

Mari bersama kita nantikan apakah hasil-hasil sidang Tanwir kali ini dapat benar-benar menjadi titik balik Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi terbesar Islam di Indonesia dalam mengamalkan ajaran Islam dan dapat memberikan pembelajaran Islam Berkemajuan kepada terutama para anggotanya maupun masyarakat luas.

Rinaldi Ikhsan
Rinaldi Ikhsan
Alumni S1 Ilmu Kriminologi Universitas Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.