Tulisan ini berangkat dari pembacaan dari artikel Profesor Mun’im Sirry, “Memahami Ayat-Ayat Polemik dalam Bible” (Geotimes, 15 Juli 2016). Artikel itu berisi tentang ayat-ayat Alkitab yang bertendensi memicu polemik. Polemik dalam ayat-ayat Perjanjian Baru itu, kata Mun’im Sirry, punya andil membentuk klaim-klaim keselamatan eksklusif.
Salah satu persoalan paling sering dipolemikkan dalam usaha dialog antar-umat beragama adalah tentang keselamatan eksklusif. Fenomenanya, masing-masing agama saling menjatuhkan klaim bahwa hanya penganut agamanyalah yang layak sebagai penghuni surga. Surga digambarkan sebagai sesuatu yang homogen. Sederhananya, kelak surga hanya akan dihuni oleh orang Kristen saja, Islam saja, atau agama yang lain saja.
Tulisan ini mencoba mengkritik “kapling-isasi” surga itu. Jika surga hanya dihuni oleh sekelompok agama saja, konsekuensi logisnya adalah Sang Pemilik Surga adalah sosok yang diskriminatif. Dia hanya menerima sebagian dan menolak sebagian. Tentu ini akan menjadi persoalan teologis semua agama. Apakah Tuhan, yang kita yakini sebagai Maha Pengasih, tega melakukan tindakan diskriminatif seperti itu?
Sejak Konsili Vatikan II, Katolik sudah selesai dengan wacana keselamatan eksklusif ini. Katolik dengan cara yang cerdas, tanpa mengkhianati iman eksklusifnya, sudah membuka pemahaman bahwa agama yang lain pun bisa sampai ke surga.
Apakah sikap yang sama juga sudah muncul dari Protestan? Ini sesuatu yang sulit untuk dilacak mengingat hierarki Gereja Protestan sangat berbeda dengan Katolik. Gereja Protestan tidak memiliki acuan yang tunggal seperti Vatikan. Pendeknya, Gereja Protestan lebih heterogen.
Pertanyaan berikutnya, apakah Alkitab memang mengajarkan keselamatan eksklusif? Artinya hanya mereka yang beragama Kristenkah yang layak masuk surga? Bagaimana Alkitab sendiri mengajarkan tentang keselamatan ini? Apakah Alkitab merestui agama lain bisa juga masuk surga?
Keselamatan adalah Anugerah
Teologi Kristen selalu mengakui bahwa keselamatan itu adalah anugerah. Anugerah berarti si penerima tidak layak menerima pemberian, tapi dilayakkan. Paulus mengatakan bahwa seseorang dibenarkan karena anugerah iman dari Tuhan (Roma 3:28).
Karena sifatnya adalah anugerah, maka inisiatif datang dari Sang Pemberi saja. Dialah yang berhak menentukan kepada siapa surga ini diberikan. Kenyataan ini berkonsekuensi bahwa tidak ada agama apa pun yang berhak atas klaim sebagai pemilik surga.
Namun, usaha berteologi demikian bertendensi pada simplifikasi. Dia tidak memberi penjelasan yang memadai. Sementara tugas dari teologi adalah menyediakan fondasi rasional untuk menjelaskan kenyataan. Oleh karena itu, kita butuh penjelasan yang lebih lanjut tentang ini.
Antara yang Formal dan Substansial
Disadari atau tidak, Alkitab sepertinya menyediakan cara yang “beragam” untuk ke surga. Pertama, lewat pengakuan formal. Kedua, lewat aksi substansial.
Mayoritas umat Kristen meyakini bahwa seseorang bisa sampai ke surga, jika dia secara formal mengakui dengan mulutnya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juru Selamat. Keyakinan ini berangkat dari Roma 10:10, “Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan.”
Tentu saja pengakuan itu merujuk pada Yohanes 14:6, “Akulah (Yesus) jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Inilah yang dimaksud dengan pengakuan formal.
Tapi Alkitab juga mengajarkan ada cara “lain” untuk masuk surga. Caranya dengan memberi makan yang lapar, memberi minum yang haus, memberi tumpangan pada orang asing, memberi pakaian pada yang telanjang, melawat yang sakit, dan mengunjungi orang di penjara. Orang-orang yang melakukan ini diperkenankan Tuhan untuk masuk surga. Alasannya, ketika seseorang menolong orang yang paling hina ini, kata Yesus, itu setara dengan melakukannya untuk Tuhan.
Kisah selengkapnya bisa dibaca di Matius 25:31-46. Ini juga yang dimaksud dengan aksi substansial, yaitu merujuk pada manifestasi substantif dari ajaran Yesus itu sendiri—cinta kasih pada sesama (dirujuk dari pemikiran Gus Dur, Islamku Islam Anda Islam Kita, 2011).
Akhirnya ini akan menjadi persoalan teologis. Apakah seseorang bisa masuk surga hanya bermodal pengakuan formal? Atau dengan aksi substansial saja? Apakah seseorang layak masuk surga jika hanya mengakui dengan mulutnya bahwa Yesus itu Tuhan tanpa manifestasi cinta kasih pada sesama? Atau sebaliknya? Apakah keduanya harus dijalankan?
Jika hanya mengandalkan pengakuan formal, semua orang di luar agama Kristen pasti binasa. Tapi, seperti disebut sebelumnya, Tuhan menjadi pribadi yang sangat diskriminatif. Jika merujuk pada aksi substansial, semua orang di luar Kristen punya peluang masuk surga. Jika harus menerapkan keduanya, semua orang di luar Krsiten absolut masuk neraka dan Tuhan menjadi diskriminatif. Namun, orang Kristen pun berpeluang 50-50 untuk bisa masuk surga atau tidak, seperti yang ditulis dalam Matius 25:31-46 itu.
Jadi, bagaimana mendamaikan semua kemungkinan ini tanpa mengkhianati iman eksklusif dari kekristenan itu sendiri?
Sebuah Alternatif
Pengakuan formal punya persoalan. Yakobus 2:19 menuliskan, “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” Ayat ini membawa pemahaman baru. Jika hanya mengandalkan pada sebuah pengakuan untuk mendapatkan surga, ini menjadi dasar yang retak. Setan pun, menurut kesaksian Alkitab, mempercayai itu—bahkan gemetar.
Apalagi jika merujuk pada ajaran Yesus yang mengatakan, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga,” (Matius 7:21a) semakin melegitimasi bahwa pengakuan formal bukanlah syarat mutlak masuk surga. Sambung Yesus, justru “dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga” lah yang layak (Mat. 7:21b).
Apakah kehendak Bapa di sorga? Alkitab banyak sekali mencatat bahwa satu-satunya kehendak-Nya adalah agar kita saling mengasihi (Yohanes 13:34-35; 15:12; dsb). Inilah hukum yang utama dan pertama dalam hukum Taurat (Mat. 22: 37-39).
Nah, persoalannya adalah dari manakah kemampuan untuk mencintai sesama manusia itu muncul?
Dalam kekristenan, jalan ke surga selalu dimulai dari proses kelahiran baru. Kelahiran baru adalah peristiwa hadirnya Tuhan dalam diri manusia. Tanpa ini manusia akan selalu dalam status berdosa dan tak bisa menggapai surga.
Kehadiran Tuhan inilah yang membuat manusia menanggalkan status manusia lamanya yang berdosa. Manusia lama, atau dalam istilah dari Paulus sebagai manusia daging, merupakan manusia dengan ciri mementingkan dirinya sendiri, suka pada perselisihan, perpecahan, dan lainnya (Galatia 5:19-21). Orang-orang demikian, menurut Paulus, tidak akan mendapat tempat di Kerajaan Allah.
Sebaliknya, manusia yang hatinya sudah dipenuhi Tuhan akan hidup dengan cara yang berbeda. Cara hidupnya dikenal sebagai hidup menurut Roh atau manusia rohani. Cirinya adalah kasih, suka cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Galatia 5:22-23a). Artinya, barang siapa punya cara hidup demikian (disadari atau tidak; diakui atau tidak) Yesus sudah berdiam dalam dirinya. Dalam terminologi Kristen, ini dikenal sebagai buah roh.
Doktrin tentang keselamatan (soteriologi) Kristen mengakui adanya ordo salutis. Ordo salutis itu berupa “tahapan” dalam karya keselamatan yang dikerjakan Yesus. Mengenai “tahapan”-nya, beberapa teolog punya klasifikasi yang berbeda. Namun, secara garis besar, “tahapan” itu terdiri dari: kelahiran baru (hadirnya Roh Kudus), pertobatan, pengudusan (perbaikan cara hidup), dan pemuliaan di surga.
Sebenarnya, semua “tahapan” ini bekerja secara misterius. Tidak ada yang tahu kapan Roh Tuhan itu hadir di dalam diri manusia karena Tuhan adalah Roh (Yohanes 4:24). Dia tidak terlihat. Apa yang bisa jadi bukti kalau Tuhan ada di dalam manusia? Alkitab mencatat, “Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita” (1 Yohanes 4:12).
Dengan sifatnya yang misterius, artinya karya keselamatan yang dikerjakan oleh Yesus tidak terpenjara oleh agama, apalagi sebatas pengakuan formal. Apa pun agamanya, bahkan jika berlabel ateis sekalipun, jika buah Roh terpancar dalam kehidupannya, itu berarti Yesus sudah berdiam dalam dirinya. Dengan kata lain, dia bisa menggapai surga.
Apakah ini yang dimaksud dengan “Kristen anonim” dalam terminologi teolog Katolik, Karl Rahner? Secara pribadi, saya tidak setuju pada istilah Kristen anonim. Istilah ini berasumsi dari superioritas Kristen terhadap agama yang lain. Sementara sifat agama yang tak bisa dibandingkan berkonsekuensi pada penolakan superioritas satu agama pada agama yang lain.
Jika Kristen anonim diterima, kita juga harus menerima Islam anonim, Budha anonim, Hindu anonim, dan sebagainya. Dengan begitu, kita mengulang lagi kesalahan yang sama dalam pengkotakan agama-agama.
Saya tidak bisa mengidentifikasi ini dalam istilah agama apa pun, karena sejatinya Yesus tak pernah membawa agama. Agama bukan tujuan akhir. Dia hanya sebuah ekspresi. Sebuah ekspresi lahir dari akumulasi pengalaman hidup personal maupun kolektif yang khas dan kompleks.
Jadi, semua agama, selama dia mengajarkan untuk mencintai Tuhan dan sesama manusia secara utuh, itu artinya jalan yang disediakannya bisa sampai ke surga.