Minggu, Oktober 6, 2024

Masyarakat Haus Rohani dan Air dalam Kemasan

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Umat Islam bersalawat pada Tabligh Akbar di Masjid Istiqlal, Jakarta. ANTARA FOTO/ Rivan Awal Lingga

TANGGAL merah yang sibuk, Kamis lalu. Berangkat dengan penerbangan pertama dari Bandara Halim Perdanakusuma, saya tiba di Bandara Adi Sumarmo di Soloraya pukul 07.30. Sebelum keluar dari bandara, saya bersalin penampilan: dari celana panjang kargo ke kain batik, dari kemeja wol putih lengan panjang ke baju koko tanpa krah, dari rambut gelung ke rambut dilepas terurai, plus songkok di kepala. Dijemput Gus Anas Farkhani dan Gus Muhammad Asyidiki, saya bergegas ke Pesantren Istiqomah di Tlogoimo, Mliwis, Cepogo, Boyolali. Di sana, pagi itu, Gus Hanafi sekeluarga menggelar Istighotsah dan Mujahadah 1 Muharram 1439 Hijriyah.

Tak sampai 30 menit, kami sudah tiba di lokasi kegiatan rutin tahunan itu. Ribuan Muslim lurus menghadap kiblat. Mereka berjamaah sunnah salat dhuha dan salat hajat. Meski pagi semakin lama semakin panas, mereka tenang mengikuti setiap tahapan kegiatan. Pun ketika tahlil yang dipimpin KH Abdul Hamid Dawar masih dipungkasi doa-doa dari para habaib, tak ada yang berkeluh-kesah.

Tua, muda, laki-laki, dan perempuan menengadahkan kedua tangannya di bawah terik mentari yang kian menyengat. Hingga acara yang juga dimaksudkan untuk Haul Ke-74 Syuhada dan KH Slamet Ridlwan itu berakhir, yang sungguh menonjol adalah kekhidmatan.

Selesai memberikan mauidhah hasanah di pesantren penghapal al-Qur’an itu, saya melanjutkan perjalanan ke Pesantren Al-Manshur Popongan di Desa Tegalgondo, Wonosari, Klaten. Di beranda Masjid Al-Manshur, para kiai muda sudah menanti. Mereka, antara lain, Gus Arwani Jablawi Gus Miftah bin Salman Dahlawi, Gus Ulin Nuha Munawir, Gus Ardani Munawir, dan Gus Imron. Dua di antara sejumlah hal yang kami obrolkan adalah rencana peletakan batu pertama pembangunan pondok putra dan Haul ke-63 Mbah Manshur Popongan yang akan dihelat pada Minggu malam, 19 November 2017, bertepatan dengan 1 Maulud 1439 H.

Sempat bertandang ke kediaman Gus Multazam Al-Makky, putra mendiang KH Salman Dahlawi, yang semasa hidupnya Mursyid Thariqat Naqshabandiyyah Kholidiyyah, dan ziarah ke makam para pendahulu pesantren, saya kemudian sowan KH Nasrun Minallah, kiai sepuh di Pesantren Al-Manshur Popongan. Yang paling membahagiakan dari silaturahmi, bagi saya, adalah doa-doa dari para kiai. Keberkahan dari beliau-beliau ini tentu menjadi bekal yang menyejukkan di era yang semakin panas dan kerontang ini. Ketika semakin banyak orang yang terus memikirkan diri sendiri, saya lega masih banyak pula yang memikirkan umat.

Apa kiranya yang menggerakkan para jamaah mujahadah untuk berkumpul di Pesantren Istiqomah, meski Kiai Slamet Ridlwan sudah wafat empat tahun silam? Saya percaya, daya yang menggerakkan itu adalah cinta pada ulama dan harapan pada masa depan. Berbaris rapi dengan shaf-shaf yang rapat di jalanan desa yang tak lebar, dengan lanskap pegunungan, di bawah panas mentari, orang-orang sabar menzikirkan pujian-pujian pada Allah dan shalawat pada Nabi. Tak terdengar suara anak merengek sekadar minta jajan atau minta pulang. Roman orang-orang itu ramah. Inilah wajah Islam: raut yang tidak mencurigai keyakinan orang lain, apalagi mengkafirkan yang berbeda. 

Apa kiranya yang menggerakkan para kiai muda di Pesantren Al-Manshur Popongan untuk terus mengembangkan pesantren? Saya yakin, daya yang menggerakkan itu juga adalah cinta pada ulama dan harapan pada masa depan. Para ulama-lah yang berada di garda paling depan hingga garis paling belakang dalam barisan yang rapi dan solid untuk mendirikan Indonesia.

Tak bisa dipungkiri, merekalah peletak dasar-dasar kebangsaan di negeri ini. Tatkala masih banyak tunas-tunas muda bersemi di pesantren, ketika masih banyak jamaah yang melekat ke pesantren, saya haqqul yaqin bangsa ini masih baik-baik saja, meski kita tetap harus membaca zaman.

Ya, zaman terus bergerak. Ada yang maju menyongsong generasi milenia, ada pula yang justru mundur: membuka luka lama dan mengorek-ngoreknya lagi. Namun, ada juga yang tutup mata tutup telinga, tidak mau tahu dengan keadaan sekeliling dan lebih suka mengejar kepuasannya sendiri tanpa peduli nasib bangsa ini akan dibawa ke mana. Masyarakat pesantren yang tak meninggalkan tradisionalisme, pun terus mengikuti modernisme, adalah kaum yang moderat. Mampu menyatukan akal budi dan hati nurani dalam spiritualitas yang luhur. Mencita-citakan kebahagiaan fi ‘d-diin wa ‘d-dunya wa ‘l-akhirah, tidak hanya kepuasan lima tahunan yang fana.

Manusia hari ini adalah manusia yang haus namun ia tak sadar perlu meneguk air. Bermunculan di mana-mana para penjaja air dalam kemasan. Ya, dalam kemasan yang menarik. Dalam industri yang bersaing ketat. Masing-masing menunjukkan kelebihannya, bukan lagi ketawadhuan.

Memang baik para kiai dan gus, nyai dan ning, ustadz dan ustadzah, tetap bertahan mengajar di pesantren. Namun, pembagian tugas untuk juga mengantarkan siraman rohani pada umat yang merindukan oase perlu menjadi gerakan yang kuat dan masif. Digitalisasi dakwah, pemanfaatan media sosial,  dan pengemasan yang segar, menjadi wajib.

Website, kelas online, pengajian dengan fasilitas live streaming, tayangan video berdurasi pendek, grup percakapan, meme yang bernas, penyebaran kutipan ulama, dan masih banyak lagi aneka kreasi dalam berdakwah adalah metode syiar yang mutakhir. Hal-hal yang pada mulanya hanya bisa dipelajari dengan mondok selayaknya perlu dikembangkan dengan tutorial-tutorial yang bisa diakses pula oleh kalangan yang lebih luas. Tentu, untuk mendapatkan pendalaman yang khas dan mumpuni, semisal untuk suluk atau mujahadah, kita perlu mencarikan pendekatan yang paling cocok dan tidak memberatkan masyarakat Muslim urban.

Di hari yang sibuk itu, sepanjang Kamis yang sebenarnya adalah hari libur Tahun Baru Islam 1439 H, saya masih mendapati orang-orang berdatangan ke Omah Kebon, sebuah peristirahatan sederhana di tepian sawah di Nitiprayan, Yogyakarta, yang dikelola Whani Darmawan, seorang aktor teater dan pesilat. Orang-orang itu dari beragam latar belakang namun hadir untuk satu maksud yang sama: belajar di kelas meditasi yang saya asuh. Mereka yang Muslim merindukan khusyu’ dalam salat. Lebih dari itu, mengharapkan hidup damai. Bahagia. Mereka yang beragama lain juga senada: ingin berdamai dengan diri sendiri dan hidup dengan bahagia.

Padahal, sesungguhnya agama dengan segala risalahnya telah mengajarkan itu semua. Namun, masyarakat hari ini ingin mendapatkan jalan pintas. Memotong jarak yang harus ditempuh. Mereka suka dengan alternatif. Tidak menghendaki kejumudan. Daripada mandek, mereka memilih melesat melampaui zaman atau justru kembali merunut masa yang telah lampau dan menjadikannya pedoman untuk hari ini. Denyut gerakan dakwah di urat nadi kehidupan menjadi vital. Tentu saja, kita mencita-citakan kemajuan, bukan kemunduran. Karena itu, memiliki wawasan yang jauh ke depan melampaui masa adalah suatu keniscayaan.

Tidak bijaksana jika para pemimpin umat justru ikut hanyut dalam arus besar politik kebencian dan permusuhan. Kebaikan dan keburukan, darma dan karma, pahala dan dosa, bahkan surga dan neraka, ialah kutub-kutub yang berporos pada satu hal yang paling utama: manusia. Siapa yang berpihak pada kemanusiaan, dialah yang menjalankan peran sesuai fitrah.

Dunia, dengan segala isinya, adalah alat. Serupa api. Bisa untuk menerangi, bisa untuk membakar. Dan api paling berbahaya sesungguhnya ada di dada manusia. Ia bisa menjelma amarah, bisa mewujud gairah. Bisa diolah menjadi berkah, bisa pula justru mendatangkan musibah.

Hari-hari ini, ketika sumbu menjadi kian pendek, minyak kian mudah dijilat api, dan siapa saja bisa menjadi pematiknya, kita membutuhkan air. Kita butuh para penjaga air. 

Kolom terkait:

Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?

Khutbah: Antara Kebebasan dan Ujaran Kebencian

Melawan Hoax ala Ibnu Khaldun

Ulama Sejati dan Ulama Penebar Kebencian

Kenikmatan yang Melebihi Surga

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.