Kini kita hidup di era pasar bebas. Tak hanya pasar dalam arti materiil dan ekonomi, tetapi juga dalam makna non-materiil yang abstrak. Era pasar bebas sering dianggap sebagai masa sulit, karena bisa membawa kepada kondisi homo homini lupus, manusia memakan sesamanya. Dalam pasar bebas pula berlaku hukum survival of fittest, yang kuat akan bertahan, yang lemah akan kalah. Demikianlah praktiknya.
Kelompok besar memangsa kelompok kecil, kelompok kuat menguasai kelompok tak berdaya. Dalam wilayah materiil, pasar bebas telah diketahui dampaknya dengan benderang. Dalam wilayah materiil pula, lalu ditawarkan sejumlah solusi.
Dampak pasar bebas bisa diminimalisiasi dengan, misalnya, kampanye penggunaan produk lokal untuk menghadang laju banjir barang-barang dan produk asing. Namun, kampanye semacam ini tak efektif. Penyebabnya adalah kerangka pikir masyarakat. Produk lokal tak menawarkan gengsi. Sebaliknya, produk asing dianggap sebagai jaminan kualitas dan gengsi. Memang, kebenaran akan klaim seperti ini masih perlu dibuktikan.
Namun, pada alam bawah sadar sebagian besar pengguna pasar, semakin banyak produk asing yang digunakan, semakin meningkat rasa kepercayaan diri dan keyakinan bahwa seseorang itu telah menjadi bagian dari dunia global. Maknanya, para pengguna pasar seperti ini merasa berada dalam arus yang searah dengan zaman dan kemajuan.
Sekali lagi, pasar bebas ini tidak hanya terjadi pada wilayah materiil. Ilustrasi di atas juga benar adanya pada wilayah non-materiil. Pasar bebas telah mewujudkan diri pada pasar raya ideologi, ide, gagasan, informasi, tafsir, dan bahkan kebenaran. Semua hal ini tak kasat mata. Tetapi pasar raya pada wilayah ini memberikan dampak yang tidak kalah dahsyat pada kehidupan masyarakat. Amatilah, betapa pasar raya ide dan kebenaran ini telah menggiring masyarakat pada polaritas-polaritas yang teramat tajam.
Salah satu indikator paling nyata dalah mengikuti ragam perdebatan tentang beragam isu di media sosial. Mari kita ambil satu contoh kasus. Perdebatan tentang pembubaran HTI, misalnya. Secara umum ada dua pandangan yang terbelah secara tajam. Para pendukung Perppu Ormas dengan beragam alasan (baik sosiologis maupun ideologis) membenarkan pembubaran ormas-ormas yang tak sejalan dengan prinsip-prinsip ideologis Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang berdaulat.
Pada titik yang bersebarangan, ada penentang Perppu Ormas yang berdiri kokoh dengan kebenaran lain yang mereka yakini. Tidak bisa dipungkiri, dalam hal ini, terlihat secara gamblang adanya dua model kebenaran yang saling bertarung dan sulit dipertemukan.
Ini hanyalah salah satu contoh. Hampir tidak ada peristiwa di negara kita ini, sekecil apa pun peristiwa itu, yang tak mengundang kontroversi. Dalam setiap peristiwa yang mampir ke indra pandang dan dengar kita, ragam tafsir atas kebenaran berseliweran, bahkan bertarung. Satu peristiwa yang sama melahirkan ragam kebenaran. Salah satu faktor yang bisa diajukan adalah karena basis perumusan kebenaran yang digunakan oleh masing-masing kelompok berbeda.
Karena itu, lalu terjadi polaritas. Ada kelompok-kelompok yang meyakini bahwa kebenaran adalah apa yang difikirkan dan bukan apa yang disaksikan. Sementara, di sisi lain, ada kelompok yang meyakini kebenaran adalah apa yang disaksikan dan yang terjadi.
Dalam bahasa sosiologi pengetahuan Karl Marx, ada dua model pengetahuan yang berkembang pada wilayah kesadaran manusia, yakni “kebenaran ideologis” dan “kebenaran sosiologis”. Konteks pertama merujuk kepada kebenaran sebagaimana yang dipikirkan atau diidealkan oleh seseorang atau sekelompok orang. Maka, tak soal apakah kebenaran yang dipikirkan atau diidealkan itu mampu mewujud dalam realitas atau tidak, tetap saja bayangan tentang kebenaran itu diyakini sebagai kebenaran. Sementara pengetahuan dalam konteks kedua adalah pengetahuan atas apa yang terjadi.
Pada wilayah kebenaran ilmiah, Archie J Bahm menulis sebuah artikel panjang yang cukup fenomenal, What is Science? Ada enam kriteria ilmu yang diungkapkan oleh Bahm, salah satunya adalah “sikap ilmiah.” Salah satu turunan sikap ilmiah adalah “kemauan untuk diubah oleh fakta.” Saya tidak berpretensi menafsirkan secara tepat apa yang dimaksud dengan ungkapan “kemauan untuk diubah oleh fakta” ini.
Namun, dalam pemahaman saya, pada ungkapan ini terdapat hubungan dialektis antara pengetahuan ideologis dan pengetahuan sosiologis. Kebenaran sosiologis yang secara luas diterjemahkan sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana apa yang terjadi, seharusnya mampu mengubah pengetahuan ideologis ketika pada wilayah yang dipikirkan itu tidak sejalan dengan apa yang disaksikan. Ini perdebatan lama sesungguhnya.
Pada ranah yang lain, sering pula diistilahkan sebagai pertarungan antara yang rasional dan yang empiris. Apakah yang menjadi tumpuan pengetahuan dan kebenaran adalah pikiran manusia atau kenyataan yang disaksikan. Meskipun ini perdebatan lama, apa yang mewabah dalam iklim keberagamaan di Indonesia hari ini adalah reproduksi dari perdebatan ini.
Barangkali saya subjektif, tetapi peristiwa yang saya alami dengan seorang aktivis sebuah ormas Islam pada suatu hari berikut, bisa menjadi salah satu ilustrasi. Dalam sebuah pesan di telepon genggam, aktivis ini menuduh saya sebagai orang yang “tidak waras.” Bukan karena saya tersinggung dengan label itu ketika pada akhirnya saya menghubungi aktivis tersebut. Tetapi lebih pada keingintahuan atas dasar apa label tak waras itu disematkan kepada saya.
Dari dialog melalui telepon genggam terungkap fakta bahwa label “tidak waras” itu dianugerahkan kepada saya sebagai bentuk kejengkelannya atas beberapa komentar dan tulisan saya yang dianggap menyerang ormas-ormas Islam, utamanya kelompok Islam garis keras.
Atas fakta itu lalu saya katakan bahwa dalam melontarkan kritik, yang saya kritik adalah ormas Islam, bukan Islam itu sendiri. Rupanya dia menyamakan kritik saya kepada sebuah ormas Islam yang dia ikuti itu, sekaligus sebagai kritik terhadap Islam. Ia secara eksklusif mengklaim bahwa ormas yang dia ikuti itulah yang sesuai dengan Islam. Maka, saya tegaskan kembali, saya mengkritik perilaku eksklusif sejumlah ormas yang seolah-olah memonopoli kebenaran atas Islam.
Mereka melakukan segala sesuatu atas nama Islam, sementara sesungguhnya banyak juga orang Islam lain yang tak merasa terwakili oleh tindakan dan pikiran ormas tertentu itu. Jadi, sekali lagi, rumusan kebenaran yang dipikirkan oleh suatu ormas tertentu sesungguhnya adalah tafsir atas Islam, bukan Islam itu sendiri. Karena itu, saya meminta aktivis itu untuk tidak menyamakan kritik saya terhadap ormas Islam sebagai bentuk kritik dan ketidaksukaan terhadap Islam. Karena Islam sebagai rumusan doktrin dan norma terlalu agung untuk dikritik.
Namun ketika Islam mewujud dalam praktik dan ekspresi sosial, maka sangat mungkin ada jarak antara yang ideal dengan praktis itu. Atau, sekali lagi, ada jarak antara pengetahuan dan kebenaran ideologis dengan sosiologis tadi.
Kerumitan yang dialami atau tepatnya ketidaksadaran sebagian penganut kelompok-kelompok Islam yang hanya beragama secara ideologis tanpa membuka diri terhadap konteks sosiologis inilah yang sering menjadikan ukuran-ukuran kebenaran tidak terukur dan beragam. Jika hanya beragam, sama sekali tidak menjadi masalah. Tetapi perbenturan antartafsir yang dianggap sebagai kebenaran itulah yang justru menjadi sumber persoalan.
Profesor Amin Abdullah sering menggambarkan dialektika ini dengan apa yang ia sebut sebagai Islam dengan dimensi normatif dan historis. Jika seseorang hanya terpaku pada Islam yang normatif tanpa melihat bagaimana Islam dipraktikkan sebagai ekspresi sosial yang menyejarah, maka tafsir atas Islam yang sebenarnya historis akan dengan mudah dianggap sebagai berdimensi normatif yang tak berubah dan kebal kritik.
Begitu pula yang saya tangkap dalam sebuah training. Dalam kapasitas sebagai international fellow di King Abdullah bin Abdulaziz International Center for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID) Wina, Austria; saya harus menjalankan salah satu kewajiban melakukan training dalam bidang dialog antaragama dan budaya bagi generasi muda. Di antara gagasan yang saya promosikan adalah pentingnya saling menghargai perbedaan penafsiran atas Islam.
Contoh sikap saling menghargai itu telah pula ditunjukkan oleh para sarjana Muslim terdahulu, sementara mereka memiliki pengetahuan yang jauh melampaui kita hari ini. Maka, jika mereka saja toleran atas perbedaan penafsiran, bagaimana kita yang faqir atas ilmu keagamaan ini dengan ceroboh melakukan klaim atas validitas eksklusif pemahaman kita, sembari menudingkan jari kesalahan dan kesesatan atas tafsir lain?
Namun, dengan mudah ajakan saya ini menjadi sumber perdebatan panas. Seorang peserta dengan nada geram memprotes saya sebagai telah mempromosikan paham relativisme dan mengaburkan kebenaran agama. Ia menggugat, generasi muda harus diberikan peneguhan atas kebenaran Islam, bukan diajak kepada toleransi atas berbagai pandangan relatif itu. Ini menyesatkan, karena semua tafsir dianggap benar.
Lalu, ia seperti memaksa saya untuk menunjukkan mana tafsir yang paling benar di antara sekian banyak pemahaman atas Islam yang berkembang agar generasi muda tidak bingung memilih mana yang benar. Maka, saya jawab dengan sebuah ilustrasi sosiologis. Saya seorang aktivis Muhammadiyah, maka saya meyakini tafsir dan paham keagamaan yang dianut oleh Muhammadiyah sebagai kebenaran. Tetapi, pada saat yang sama, saya tidak melakukan klaim bahwa tafsir dan pemahaman keagamaan yang dianut ormas lain sebagai salah dan sesat.
Dengan ilustratif saya gambarkan bahwa salah satu perbedaan Muhammadiyah dan NU adalah menyangkut salat subuh menggunakan qunut atau tidak. Maka, saya katakan, wilayah toleransi kita adalah pada qunut atau tidak qunut, bukan mendebat soal wajib dan tidaknya salat subuh. Soal itu sudah final. Kewajiban salat subuh sudah selesai, dan tak perlu diperdebatkan lagi.
Demikian pula dengan hisab dan rukyat yang dianut oleh Muhammadiyah dan NU. Perdebatan penentuan awal bulan Ramadhan oleh kedua ormas ini tidak berarti mereka memperdebatkan kewajiban puasa Ramadhan. Dengan mengutip para ahli fiqih, saya katakan inilah pentingnya dalam beragama kita mengetahui dan membedakan secara tegas antara wilayah tsawabit (yang tetap, konstan, tak berubah) dan mutaghayyirat (yang berubah, dinamis, dan kontekstual).
Meski demikian, argumen saya inipun tak mampu meyakinkan dia tentang bagaimana pentingnya membuka pengertian akan banyaknya tafsir atas kebenaran tadi. Hal yang menjadi kekhawatiran saya adalah, jika kondisi ini terus berlanjut dan mendominasi sebagian besar pemikiran kaum muda, situasi keberagamaan kita di masa depan akan semakin sulit.
Akibatnya, bagi mereka yang telah terkungkung dalam nalar pengetahuan ideologis akan sangat sulit menerima kenyataan keragaman. Sementara mereka yang pada suatu masa berpikir ideologis dan sosiologis sekaligus justru berusaha memahami kebenaran bukan semata-mata pada apa yang dipelajari dan dipikirkan, tetapi juga pada apa yang dilihat. Maka, kebenaran manakah yang akan kita anut? Mari meminta fatwa pada hati.
Kolom terkait:
“Islam Kaffah” yang Bagaimana?
“Islamic Enlightenment”, Kenapa Tidak?
Keragaman Agama Itu Sunnatullah
Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?