Tema ini sudah menjadi perbincangan luas setiap Ramadhan dan saya tak yakin ada hal menarik lain yang dapat saya tambahkan. Al-Qur’an sendiri mengakui bahwa puasa bagi kaum Muslim diwajibkan sejalan dengan praktik puasa di kalangan umat-umat sebelumnya (Q 2:183). Barangkali poin kecil yang ingin saya sampaikan adalah cara Islam mengadopsi dan/atau mengapropriasi tradisi puasa dalam agama-agama sebelumnya lebih ekstensif dari yang umumnya diduga.
Bentuk-bentuk pergumulan Islam dengan tradisi keagamaan sebelumnya, termasuk dalam kasus puasa, memperlihatkan watak kesinambungan agama-agama. Lebih dari itu, kenyataan tersebut juga mendorong kita untuk memikirkan ulang konteks kelahiran Islam, yang tampak berbeda dari yang digambarkan dalam sumber-sumber Muslim tradisional.
Kelahiran Islam seringkali dikaitkan dengan iklim paganistik (syirk) di Arabia. Namun demikian, ekstensitas pengadopsian puasa mengisyaratkan bahwa iklim di mana Islam muncul tampak lebih multi-religius daripada yang umumnya digambarkan.
Hal ini sejalan dengan kajian-kajian baru yang mempersoalkan narasi kuno tentang konteks paganistik Arabia. Dalam banyak studi mutakhir, jazirah Arabia digambarkan tidak sedemikian terisolasi seperti yang kita pahami selama ini. Dan kesinambungan praktik puasa jelas menguatkan kesimpulan itu.
Paralelisme Praktik Puasa
Salah satu contoh yang banyak didiskusikan terkait kesinambungan praktik ibadah ialah puasa Asyura pada 10 Muharram. Ada beberapa versi hadits yang menggambarkan awal perintah puasa Asyura tersebut.
Dalam versi yang paling dikenal, ketika tiba di Madinah Nabi SAW melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Saat ditanya alasannya, mereka menjawab: “Pada hari ini Allah memberikan kemenangan kepada Nabi Musa dan Bani Israil atas Fir’aun.” Nabi pun memerintahkan puasa pada hari Asyura tersebut.
Dalam versi lain disebutkan bahwa Asyura merupakan hari yang diagung-agungkan oleh kaum Yahudi. Mereka menghiasi para istri dengan pakaian dan hiasan sebaik mungkin. Nabi memerintahkan puasa pada hari itu sembari bersabda, “Kalian harus berpuasa pada hari ini!”
Ada juga versi yang menyebutkan bahwa puasa Asyura sudah rutin dilakukan oleh kaum Quraisy sejak zaman jahiliyah. Dan praktik itu dilanjutkan oleh Nabi dan para pengikutnya hingga turun kewajiban puasa Ramadhan dan bagaimana Ramadhan menjadi bulan paling agung.
Dalam versi terakhir terdapat perbedaan sikap Nabi. Ada hadits yang menyebutkan Nabi tidak pernah menjadikannya sebagai puasa wajib. Dan hadits lain mengindikasikan bahwa Nabi mewajibkan puasa Asyura, dan baru kemudian dijadikan puasa sunnah setelah turun kewajiban puasa Ramadhan.
Dalam dua versi pertama, seperti kita lihat, ada pengakuan eksplisit bahwa puasa Asyura berasal dari tradisi Yahudi. Sementara versi pertama mengaitkan dengan Hari Pengampunan (Yom Kippur), versi kedua mengasosiasikan dengan hari besar keagamaan saja. Dalam versi terakhir, asal-usul puasa Asyura ditarik jauh ke belakang sejak zaman Nabi di Mekkah.
Sebenarnya keterkaitan puasa dengan agama-agama sebelumnya bukan terbatas pada hari Asyura. Puasa Senin dan Kamis pun sudah dipraktikkan sebelum kedatangan Islam. Menariknya puasa ini tidak pernah dikaitkan dengan tradisi agama-agama sebelumnya.
Ketika suatu saat Nabi ditanya kenapa puasa pada hari Senin, beliau menjelaskan, “ini adalah hari kelahiran saya dan pada hari ini pula saya pertama menerima wahyu.” Dalam versi lain, jawaban Nabi itu untuk merespons pertanyaan soal puasa Senin dan Kamis.
Ada beberapa versi hadits lain yang memberikan penjelasan berbeda. Misalnya, disebutkan alasan puasa Senin dan Kamis karena pada hari tersebut amal perbuatan diajukan (kepada Allah). Alasan lain, pada hari tersebut Allah mengampuni kaum Muslim, kecuali mereka yang bermusuhan dengan tetangganya.
Apa yang Distingtif dari Islam?
Kenapa puasa Senin dan Kamis tidak dikaitkan dengan tradisi agama sebelumnya? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, terutama karena tidak ada indikasi dalam al-Qur’an bahwa Senin dan Kamis merupakan hari yang spesial.
Dalam sumber-sumber Yahudi disebutkan puasa Senin dan Kamis umum dipraktikkan pada abad-abad pertama Masehi sebagai puasa sunnah. Saya tidak berhasil melacak jenis puasa ini dalam literatur Yahudi kuno dan dalam konteks apa puasa Senin dan Kamis diperintahkan.
Setidaknya, ada alasan yang masih simpang-siur. Ada yang mengaitkan dengan penghancuran Kuil (Temple) atau pembakaran Taurat. Dalam Misynah ada referensi pada puasa tiga hari yang cukup dikenal dalam tradisi Yahudi. Yakni, Senin-Kamis-Senin.
Apakah dengan tidak disebut atau dikaitkan dengan tradisi Yahudi, puasa Senin dan Kamis menjadi distingtif Islam? Tampaknya ada upaya apropriasi yang dilakukan secara sengaja dalam sumber-sumber Muslim sehingga berbagai jenis puasa tersebut punya warna Islami (Islamic coloring).
Proses apropriasi semacam itu juga dapat dideteksi dalam pensyari’atan puasa Asyura. Misalnya, puasa ini dikaitkan dengan hari kemenangan Musa atas Fir’aun. Padahal, dalam tradisi Yahudi, puasa Asyura tidak menyangkut kasus Eksodus dari Mesir, melainkan Yom Kippur yang tak lain dan tak bukan terkait pengampunan Tuhan atas kelakuan umat Musa yang menyembah anak sapi emas (golden calf) selama Musa berada di atas bukit Sinai.
Yom Kippur merupakan hari suci bagi umat Yahudi. Menarik dicatat, tradisi Islam mengalihkan puasa Asyura dari Yom Kippur ini dan mengaitkannya dengan awal Eksodus Musa dari keangkuhan raja Fir’aun di Mesir.
Di sini terlihat bagaimana Islam mengakui asal-usul puasa Asyura sebagai berasal dari praktik kaum Yahudi tapi, pada saat yang sama, memberikan nuansa berbeda. Barangkali Eksodus Musa dari Fir’aun yang membesarkannya menjadi model hijrahnya Nabi dari kaum Quraisy Mekkah, suku yang membesarkan dan mempersekusinya.
Pola adopsi dan apropriasi seperti itu juga tampak dalam berbagai riwayat terkait puasa Ramadhan. Dalam riwayat al-Suddi, seperti dicatat oleh Tabari, disebutkan bahwa puasa Ramadhan diwajibkan bagi umat Kristiani. Mereka dilarang makan dan minum setelah tidur atau melakukan hubungan seks selama Ramadhan.
Lagi-lagi, ada pengakuan eksplisit tentang kesinambungan puasa Ramadhan dengan tradisi agama sebelumnya. Namun demikian, proses apropriasi tersebut melibatkan modifikasi tertentu. Misalnya, larangan makan setelah tidur tidak lagi diterapkan. Larangan tersebut jelas tertera dalam Talmud Babilonia, yakni Ta‘anits 12. Islam tidak melarang makan dan minum pada malam hari.
Waktu buka puasa juga bukan lagi datangnya gelap gulita (nightfall), melainkan terbenamnya matahari. Instruksi al-Qur’an (Q 2:187) sendiri lebih dekat dengan perintah Alkitab karena menyebutkan atimmu al-shiyam ila al-lail (selesaikan puasa hingga malam). Sebaliknya, dalam sejumlah hadits disebutkan, Nabi Muhammad mengajarkan supaya umat Muslim secepatnya berbuka puasa pada terbenamnya matahari, jangan menunda.
Dalam ayat tentang aturan puasa (Q 2:187), frasa al-Qur’an “makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” memiliki kemiripan dengan aturan pembacaan doa syema pagi dalam Misynah Berakot 1:2. Disebutkan, seseorang boleh membaca doa pagi saat mulai terang baginya (benang) biru dari putih.
Metafor yang digunakan al-Qur’an dan Misynah tersebut merujuk pada datangnya waktu fajar. Sementara al-Qur’an menggunakan warna putih dan hitam, dalam Misynah justru putih dan biru. Jadi, memang ada upaya sistematis dan terstruktur untuk memberikan warna dan nuansa Islami bagi puasa, baik Ramadhan ataupun lainnya.
Sekali lagi, semua itu menunjukkan persinggungan yang cukup ekstensif antara Islam dan ajaran agama-agama sebelumnya.
Baca juga: