Jumat, April 26, 2024

Kesaksian Ulama di Tengah Gempuran “Islam” Siap Saji

Ahmad Riyadi
Ahmad Riyadi
Peneliti Sosial di Laboratorium Sosiologi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
KH Masdar Farid Masudi, Rais Syuriah NU.

Persidangan atas dugaan penodaan agama yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah menguras banyak pikiran, tenaga, dan energi. Sudah terlampau banyak yang harus kita korbankan dalam kasus yang bermula dari pidato Ahok di Kepulauan Seribu itu: kohesivitas sosial, stabilitas politik, sektarian agama serta etika keteladanan yang harus dipertaruhkan.

Tak sedikit umat Islam yang mencela para ulama yang sudah melampaui kita sebagai orang awam dalam konteks kajian keagamaan hanya karena berbeda pandangan.

Kasus mutakhir menimpa Rais Syuriah PBNU, KH Masdar Farid Mas’udi, yang berpendapat bahwa tidak boleh memaknai surat al-Maidah ayat 51 secara terpisah dari surat al-Mumtahanah ayat 8. Menurut Kiai Masdar, surat al-Mumtahanah memperjelas kriteria pemimpin yang boleh dipilih. Dua ayat itu harus dilihat secara holistik.

“(Dalam surat al-Mumtahanah ayat 8) bahwa yang tak boleh dipilih sebagai ‘auliya’ (pemimpin) adalah orang non-Muslim yang memerangi kamu dan mengusir kamu dari negeri kamu. Kalau sekadar beda agama, enggak masalah,” kata Masdar saat menjadi saksi dalam sidang dugaan penodaan agama dengan terdakwa Ahok, di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, kemarin (29/3/2017).

Hartono Ahmad Jaiz, misalnya, dalam tulisannya menilai pendapat Kiai Masdar itu memalukan dan benar-benar serampangan  (lihat: https://www.nahimunkar.com/memalukan-masdar-f-masudi-dari-nu-terjerembab-dalam-dalil-serampangannya-demi-bela-ahok/)

Sebelumnya hal serupa menimpa KH Ahmad Ishomuddin, salah satu pengurus Syuriah PBNU, juga saat menjadi saksi dalam persidangan kasus yang sama. Sebagaimana dimaklumi, dalam persidangan ke-15 kasus dugaan penistaan agama, Kiai Ishomuddin memberikan pendapat tentang “awliya” yang mempunyai banyak tafsir (multitafsir), tidak monotafsir,

Pendapat dua kiai yang berbeda dengan para pendahulunya di Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini mendapatkan reaksi cukup keras dari kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat di daerah bahkan menggelar aksi memprotes pernyataan Kiai Ishom, apalagi tersebar kabar bahwa dia telah dipecat dari kepengurusan MUI.

Perlu dicatat bahwa Kiai Ishomuddin memberikan saksi dalam persidangan kasus dugaan penodaan agama tidak mengatasnamakan dirinya sebagai pengurus Nahdlatul Ulama, apalagi MUI. Hal ini lahir atas kehendak dirinya secara personal untuk membuka bias ayat suci al-Qur’an yang belakangan memang dijadikan dalih untuk menuduh Ahok telah melakukan penodaan agama.

Alhasil, yang ditegaskan Kiai Ishomuddin bahwa tak ada penodaan agama dalam pidato Ahok di Kepulauan Seribu itu karena konteks turunnya ayat tersebut berbeda.

Ilustrasi di atas sebenarnya menunjukkan bagaimana kita sebagai orang awam gampang sekali melempar cacian dan kehilangan sopan santun. Kasus dugaan penodaan agama barangkali satu deret dari deretan kasus yang memperlihatkan bagaimana kita dengan mudahnya mencibir ulama yang kajian keislamannya lebih tinggi dari kita. Dengan mudah kita memberikan penilaian tanpa mengetahui derajat keilmuan kita sendiri yang mungkin teramat rendah.

Kiai Masdar dan Kiai Ishomuddin bukan nama terakhir yang tertimpa musibah cibiran bahkan hujatan dari orang awam seperti kita ini. Kiai Musthofa Bisri (Gus Mus), Buya Syafii Maarif, Kiai Ma’ruf Amin, dan Kiai Said Aqil Siradj adalah beberapa ulama yang kena cibiran dan hujatan serupa. Mereka kerap dicibir bahkan dihujat melalui ragam kanal yang berbeda-beda, terutama di media sosial. Tapi dengan kebesaran hati dan sikap tabayyun, mereka tidak pernah menaruh dendam bahkan membuka hati untuk memaafkan.

Padahal, kita pahami bersama, para ulama di atas mempunyai banyak santri dan pengikut yang apabila digerakkan untuk melegitimasi pendapatnya sangat mungkin terjadi. Tetapi faktanya mereka tidak pernah melakukan semacam itu. Sebab, mereka sadar bahwa kohesivitas sosial lebih penting di atas segala perbedaan. Mereka lebih mengutamakan ketenteraman, kerukunan serta kesatuan ketimbang perpecahan.

McDonaldisasi
Pertanyaannya, kenapa pada perkembangan mutakhir banyak di antara kita yang kerap menjustifikasi perbedaan pandangan atau tafsir terhadap Islam melulu keliru dan seolah harus menjadi musuh, dan bahkan teramat gampang terlontar kata kafir? Padahal, mereka yang memberikan tafsir adalah para ulama yang kapasitas keislamannya dapat dipertanggungjawabkan.

Di tengah arus deras teknologi dan informasi yang tak terbendung, orang gampang mempercayai sesuatu, termasuk atas ayat-ayat agama dan segala macam perintah atau larangannya. Mereka lebih nyaman dan mempercayai dakwah-dakwah yang disampaikan ustaz-ustaz “selebriti” atau tulisan pendek tentang “ayat-ayat” lewat media sosial ketimbang kajian atau kitab para ulama yang sudah menghabiskan banyak bacaan dan referensi.

Instanisasi inilah yang tampaknya telah merambah dalam pola pikir kita. Kutipan ayat yang parsial serta patahan konteks yang tidak lagi sesuai dengan kehidupan kita hari ini dengan mudah dipercayai lantas dilakukan. Penggunaan begitu saja ayat-ayat dari pencarian di Google, misalnya, karena tidak membutuhkan waktu lama. Dan, akhirnya, kuantitas lebih diutamakan ketimbang kesahihan dan kualitasnya. Lebih jauh, kontrol melalui dalil yang lebih bercorak normatif dan positivistik untuk mengatur aspek kehidupan.

Konstruksi empat unsur itu tentu teramat merugikan, sebab hanya bertolak dari pemahaman normatif dan tekstual. Maka, apabila unsur itu digunakan untuk menilai perbedaan pandangan justru yang akan terjadi adalah bencana dan petaka sosial, meminjam istilah Charles Kimball dalam buku Kala Agama Jadi Bencana (2013). Ia pasti akan dengan mudah mengatakan yang berbeda sebagai liyan dan perlu mendapatkan gelar kafir.

Penggunaan model cepat saji sebagaimana dialami sebagian umat Islam belakangan ini mirip dengan tesis sosiolog Ritzer tentang McDonaldisasi. McDonaldisasi merupakan restoran cepat saji yang meningkatkan homogenisasi dan standrisasi. Ia mengandaikan bahwa konsumen untuk mendapatkan makanan tidak perlu membutuhkan waktu lama, tapi instan (Ritzer, 2014).

Konsumen tidak secara kritis mengkaji makanan yang sudah tersaji. Konsumen menjadi personal yang pasif, hanya menerima apa pun yang ditawarkan. Dan hasilnya ialah, ketika hal itu dilakukang secara berulang akan bermetamorfosis menjadi kebenaran tunggal. Begitu pula dalam memahami agama dan ayat-ayat al-Qur’an.  Fathorrahman Ghufron (2015) mengatakannya sebagai model konsumsi yang “paling dibenarkan” dan segala yang bertolak belakang dengan pola cepat saji dianggap sebagai aturan baku gaya makan yang fundamental.

Ahmad Riyadi
Ahmad Riyadi
Peneliti Sosial di Laboratorium Sosiologi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.