Dua hari lalu saya berkesempatan membaca buku Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafi’i, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam (Maret 2018), yang beberapa waktu lalu diluncurkan dalam sebuah acara “Tasyakuran dan Refleksi 15 Tahun The Maarif Institute”.
Buku ini merupakan refleksi kegelisahan intelektual Buya, sekaligus sebagai bentuk kepeduliannya terhadap masa depan dunia Islam. Perhatian dan sikap kritis Buya tentang berbagai masalah keislaman, keadilan, dan kemanusiaan, telah menempatkannya sebagai sosok intelektual, cendekiawan Muslim berkelas.
Di sisi lain, ia tak jarang disalahpahami, dicurigai, bahkan dicaci maki karena pikiran-pikirannya dianggap berseberangan dengan kelompok arus utama.
Namun, apa pun yang dihadapinya, Buya terus menyuarakan kebenaran, meski untuk itu tak jarang ia hadapi seorang diri. Dalam banyak tulisannya, Buya selalu mengumandangkan moralitas dan keadaban publik. Agama (baca: Islam), menurutnya, adalah sumber moral.
Karenanya, ia harus menjinakkan politik agar politik berorientasi pada keadilan, kejujuran, dan persatuan. Tetapi, yang terjadi belakangan justru agama dipakai sebagai alat untuk tujuan politik. Politik kekuasaanlah yang menjadi pangkal utama mengapa dunia Islam, khususnya dunia Arab, mengalami pukulan sejarah yang menghancurkan. Bahkan, Buya secara tegas mengatakan bahwa peradaban Arab Muslim dibangun di atas tengkorak saudaranya sendiri.
Tahun-tahun pasca-kenabian, wilayah kekuasaan Muslim semakin meluas melalui ekspansi militer, tetapi konflik internal sesama Muslim tak bisa dibendung, khususnya pada akhir masa Utsman bin Affan, dan awal pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Pada awal pemerintahan Ali berkecamuk dua perang saudara, yakni perang unta, antara Ali dan Aisyah–ini adalah sebuah perang saudara pertama sepeninggal Nabi–lalu disusul kemudian Perang Shiffin.
Di kemudian hari pasukan Abbasiyah menggulung habis Daulah Umayyah, hingga pada era perang Salib yang berlangsung selama berabad-abad antara Eropa Kristen dan dunia Arab Muslim. Ironisnya, dampak peperangan masa silam itu dirasakan sampai hari ini di seluruh dunia Islam.
Realitas sejarah menunjukkan bahwa dimensi kemanusiaan telah mengalahkan pertimbangan agama saat disandingkan dengan politik kekuasaan. Akibatnya, agama menjadi fosil membeku, tidak lagi menawarkan solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan.
Pertanyaannya, mengapa Islam yang begitu dimuliakan dan membawa pesan-pesan moral universal bagi semesta alam gagal dipahami secara benar oleh umat? Hal ini telah menjadi kegelisahan batin Buya yang dirasakannya semenjak masih di Universitas Chicago, Amerika Serikat.
Di universitas ini pula–sebagaimana diakui Buya–gurunya, Prof. Fazlur Rahman, telah membuka hati tentang makna al-Qur’an bagi umat Islam dan kemanusiaan seluruhnya. Prinsip persaudaraan universal serta pengakuan atas prinsip kesatuan umat manusia, sekalipun terdiri dari berbagai suku, bangsa dan latar belakang sejarah, harus disertai dengan kesediaan menegakkan keadilan dan persaudaraan yang tulus antarmanusia. Juga harus dikembangkan nilai toleransi yang luas di antara sesama umat manusia.
Dengan demikian, al-Qur’an tak diragukan lagi memerintahkan agar umat manusia menggiring bola sejarah untuk mewujudkan persaudaraan universal yang menjadi keharusan metafisika.
Untuk itu, Buya di beberapa bagian halaman buku ini, tak henti-hentinya berpesan agar ungkapan “rahmatan lil-alamin” dijadikan sebagai filosofi dasar untuk memahami dan menjalankan seluruh kegiatan keagamaan.
Islam adalah ajaran untuk kemanusiaan sejagat. Tidak ada hak untuk memonopoli kebenaran sebagaimana tampak nyata pada paham Wahabisme, yang merasa benar di jalan yang sesat. Lebih-lebih gerakan Wahabisme dan ISIS yang berkoar-koar atas nama agama telah menggoda dan merayu anak-anak muda yang frustasi untuk memilih jalan hidup yang tidak sah dan berkhianat terhadap al-Qur’an.
Buya ingin agar Islam yang dikembangkan di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap berbagai persoalan bangsa dan negara. Untuk bisa seperti itu, umat Islam harus bermental terbuka, semangat untuk maju, optimistis, tidak berputus asa, dan berkemauan kuat untuk belajar dari malapetaka sejarah Arab Muslim, serta menginsafkan kita untuk berpikir kritis dalam menilai warisan Islam yang bercorak serba Arab yang masih saja menjadi kiblat sebagian umat Islam di Indonesia.
Pergulatan Buya dengan tema seputar Islam dan politik serta keinginannya untuk menjaga nilai-nilai keagamaan–seraya mengadopsi konsep-konsep kenegaraan modern–terus mengganggu pikirannya. Tak heran, jika pertanyaan-pertanyaan seputar dasar negara, model pemerintahan, konsep-konsep penting seperti demokrasi, pluralisme, kebebasan, persamaan dan keadilan, menjadi sorotan utama dalam banyak karya dan tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai media.
Di usia yang sudah senja, 83 tahun, ternyata tak menjadikan Buya surut dan berhenti menyuarakan kebenaran dan keadilan. Justru volumenya semakin menguat. Kumpulan tulisan Resonansi mingguan di harian Republika ini akan menjadi jejak rekam bagi pendokumentasian pemikiran Buya yang bernas dan kritis.
Sebagaimana Cak Nur dan Gus Dur, yang telah mendahuluinya, Buya adalah sang humanis, sang Guru Bangsa yang patut kita teladani.
Kolom terkait:
Buya Syafii Maarif, Gejala Ateisme, dan Hoax
Belajar Meneguhkan Toleransi dari Buya Syafii
Jalan Terjal Buya Syafii Maarif