Dalam kalender Masehi, Minggu, 16 April, diperingati sebagai hari Paskah atau kebangkitan Yesus. Hari Jum’at kemarin disebut “Jum’at Agung” karena diyakini Yesus meninggal pada hari tersebut. Di antara Jum’at Agung dan Paskah dikenal “Sabtu Suci” (Latin: Sabbatum Sanctum). Walaupun tidak dirayakan secara hiruk-pikuk seperti Natal, sesungguhnya tiga hari penting itu menjadi fondasi lahirnya agama Kristen.
Perlu segera disebutkan di sini, di antara berbagai narasi tentang Yesus yang kerap menjadi perdebatan teologis antara Kristen dan Muslim, soal kebangkitan Yesus ini paling jarang didiskusikan. Buku-buku yang membahas Yesus/Isa dalam Alkitab dan al-Qur’an atau tema-tema teologis dalam Kristen dan Islam umumnya tidak menjadikan soal kebangkitan Yesus sebagai satu fokus pembahasan. Biasanya pembahasan mereka tertuju pada soal “ketuhanan Yesus”, “Yesus sebagai Anak Tuhan”, “doktrin Trinitas”, dan seterusnya.
Hal itu bisa dipahami karena Islam tidak mempersoalkan kebangkitan Yesus. Sebaliknya, al-Qur’an secara eksplisit mengafirmasi bahwa Yesus diangkat oleh Tuhan. Yang menjadi perbedaan (hanya) apakah Yesus dibangkitkan dalam keadaan hidup atau mati. Poin ini akan didiskusikan di bagian akhir tulisan ini.
Paskah dan Fondasi Keimanan Kristen
Dalam beberapa dekade terakhir, teologi Paskah mulai menarik perhatian para sarjana Kristen setelah sekian lama terabaikan. Barangkali sejak abad ke-2, soal kebangkitan Yesus ini “terpinggirkan” dalam sejarah teologi dan ikonografi Kristen. Perbincangan Kristen lebih terfokus pada detik-detik akhir hidup Yesus yang dikenal dengan “penderitaan” (Passion) yang berakhir dengan penyaliban. Kristologi klasik juga lebih didominasi oleh teologi inkarnasi.
Padahal, bagi Kristen awal, justru Paskah atau kebangkitan Yesus itu yang diyakini sebagai pertanda pemenuhan profetik tentang Almasih yang akan menyelamatkan umat manusia. Sebelum peristiwa kebangkitan Yesus, para murid Yesus berada dalam kebingungan dan tidak sepenuhnya mengerti ajaran Yesus. Mereka tidak tahu atau salah memahami misi yang harus diemban. Ketika Yesus ditangkap, misalnya, mereka melarikan diri. Bahkan, salah satu murid Yesus, Petrus, mengelak bahwa ia mengenal Yesus atau punya hubungan dengannya.
Namun, sesuatu kemudian terjadi. Tubuh Yesus tidak ditemukan. Dia telah dibangkitkan dan menampakkan diri pada sejumlah orang. Peristiwa itu menjadi perbincangan. Semakin meluas. Paskah telah mentransformasi keimanan. Penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus diimani punya makna penyelamatan dari Sang Juru Selamat.
Setelah lama terabaikan, teologi Paskah ini mulai menjadi perbincangan, termasuk di kalangan sarjana. Pada 1972, sarjana Jerman Rudolf Pesch mengajukan tafsir “baru” tentang asal-muasal teologi Paskah. Dalam ceramahnya di Universitas Tübingen pada 27 Juni 1972, dia mempersoalkan reliabilitas narasi Injil tentang penemuan kuburan Yesus yang kosong. Bahkan, dia menyangsikan penampakan Yesus yang telah dibangkitkan.
Bagi Pesch, teologi Paskah tidak berawal dari kebangkitan Yesus. Ide tentang Paskah itu sudah ada dalam keimanan murid-murid Yesus. Dia mengajukan dua alasan. Pertama, semasa Yesus hidup, mereka sudah meyakini Yesus sebagai Almasih dan rasul eskatologis. Kedua, terkait dengan itu, penelurusan asal mula Paskah seharusnya dilacak pada Yesus historis, bukan peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah penyaliban.
Satu tahun kemudian, Romo Gerald O’Collins menulis buku kecil tapi dibawa luas berjudul The Easter Jesus (Yesus Paskah). O’Collins menyangkal argumen yang menyebut Paskah tidak historis. Namun, dia mengakui bahwa, sebagai perbuatan Tuhan yang tak mungkin diperbandingkan, kebangkitan Yesus tidak dapat dibuktikan secara historis.
Sudut pandang Pesch and O’Collins itu masih mewarnai pembahasan tentang kebangkitan Yesus dalam kesarjanaan kontemporer. Ada kalangan yang mengafirmasi kebangkitan fisik Yesus, tapi ada juga yang menolaknya. Dale Allison, dalam bukunya, Resurrecting Jesus: The Earliest Christian Tradition and Its Interpreters (2011), menganggap murid-murid yang mengaku menyaksikan penampakan Yesus itu seperti penglihatan yang dialami oleh seseorang yang baru kehilangan orang amat sangat dicintainya.
Secara teologis, tidak penting apakah kebangkitan dan penampakan Yesus itu benar-benar terjadi atau tidak. Kenyataannya, memang, tak ada sumber atau dokumen yang bisa membuktikannya. Yang lebih utama ialah bagaimana peristiwa Paskah tersebut telah membentuk keyakinan lebih dari dua miliar umat Kristiani. Menarik dicatat, ternyata kebangkitan Yesus itu juga dikonfirmasi oleh al-Qur’an.
Yesus Mati atau Hidup?
Seperti disebutkan di awal, yang membedakan pandangan umum kaum Muslim dan Kristiani ialah apakah Yesus dibangkitkan dalam keadaan hidup atau mati. Bagi kebanyakan kaum Muslim, Yesus dibangkitkan hidup.
Locus classicus dari perdebatan apakah Yesus itu mati atau tidak adalah ayat 157 dari surat al-Nisa’: “Dan pernyataan mereka, ‘Kami telah bunuh Almasih, Yesus, putera Maryam, rasul Allah.’ Dan mereka tidak membunuhnya atau menyalibnya, melainkan diserupakan (syubbiha) demikian kepada mereka.” Kata kunci yang menjadi perdebatan ialah “syubbiha” (diserupakan).
Seperti umum diketahui, para mufassir mengajukan beragam pandangan. Umumnya mereka menganggap ada orang lain yang diserupakan sebagai Yesus dan disalib. Artinya, Yesus tidak mati. Ibnu Katsir, misalnya, menceritakan bahwa ketika rumah yang ditempati Yesus dan murid-muridnya dikepung oleh orang-orang Yahudi pada Jum’at sore, Yesus bertanya: “Siapa di antara kalian yang mau diserupakan dengan saya, dan nanti akan menjadi teman saya di surga?”
Ketika salah seorang murid yang paling muda setuju, maka atap rumah itu terbuka. Yesus tertidur dan tubuhnya diangkat ke langit melalui lubang di atap rumah tersebut. Di sini terlihat bagaimana Ibnu Katsir merekonstruksi kisah penyaliban untuk berargumen bahwa Yesus diangkat ke langit dalam keadaan hidup.
Sebenarnya kalau kita baca ayat di atas secara pelan-pelan, kita akan memahami bahwa poin utama ayat tersebut bukanlah penolakan al-Qur’an tentang penyaliban Yesus. Yang menjadi fokus kontensi surat al-Nisa’ ayat 157 ialah penolakan atas klaim orang-orang Yahudi bahwa mereka telah membunuh Yesus. Redaksi bahasa ayat itu jelas bukan soal penyaliban, melainkan penolakan keras atas klaim kaum Yahudi. Karena itu, di akhir ayat tersebut dan ayat berikutnya disebutkan, “Mereka memang sungguh-sungguh tidak membunuh, melainkan Allah mengangkatnya kepada-Nya.”
Jika pemahaman ini diterima, maka kata “syubbiha” (diserupakan) tidak berarti ada orang lain yang diserupakan dengan, atau mengganti posisi, Yesus. Surat al-Nisa’ ayat 157 bisa dipahami begini: Mereka mengaku telah membunuh Yesus. Sesungguhnya mereka tidak membunuhnya atau menyalibnya, tetapi itu persepsi mereka saja. Mati atau tidaknya Yesus itu tergantung pada Allah, bukan kehendak mereka.
Karena para mufassir menganggap Yesus tidak disalib, maka mereka kesulitan memahami surat Ali Imran ayat 55: “Ingatlah ketika Allah berfirman kepada Yesus, ‘Sesungguhnya Aku menyebabkan kamu mati (mutawaffika) dan mengangkatmu (rafi’uka)‘.”
Apa arti kata “mutawaffika” itu? Walaupun arti literleknya “mewafatkan kamu”, para mufassir mencari-cari alasan untuk memaknainya lain karena mereka sudah kadung menganggap Yesus tidak disalib. Kata “tawaffa” muncul duapuluh tiga kali dalam al-Qur’an, dan semuanya diartikan “mewafatkan”. Namun ketika terkait Yesus, mereka mencari-cari alasan untuk mengartikan yang lain.
Demikianlah para mufassir mempersulit diri sendiri karena penolakan terhadap penyaliban Yesus. Padahal, kalau saja mereka mengakui penyaliban Yesus, maka makna ayat 55 surat Ali Imran menjadi terang benderang. Yakni, Allah mewafatkan Yesus dan kemudian mengangkatnya.
Selamat Paskah 2017!
Baca juga:
Bangkit Bersama Kristus Menuju Keadaban Bangsa [Renungan Paskah]