Jumat, Maret 29, 2024

Kebangkitan Yesus demi Pengampunan dan Pelayanan

Petrus Richard Sianturi
Petrus Richard Sianturi
Lulusan Seminari Wacana Bhakti, Jakarta, dan Fakultas Hukum Unika Parahyangan, Bandung.

Sebelum umat Kristiani sampai pada perayaan pesta Paskah, mengenang di mana Yesus Kristus dibunuh dengan keji di salib bangkit pada hari ketiga dan itu menjadi tanda iman bahwa Allah menghapus dosa dan kekotoran manusia, (umat) gereja mengenangkan sengsara Yesus.

Bahwa Yesus, khususnya oleh imam-imam kepala waktu itu, dituduh sudah menghujat Allah karena ajaran-ajaran-Nya, Yesus dicaci-maki, disidang oleh Pontius Pilatus (yang ragu sendiri soal kesalahan yang dituduhkan kepada Yesus), diseret sambil dicambuki, ditendang dan diludahi sampai akhirnya dipaku tangan dan kaki-Nya sekaligus ditusuk lambungnya di kayu salib.

Kesengsaraan itu dikenang lewat masa prapaskah, yang dalam ajaran Katolik, dimulai dengan hari Rabu Abu. Manusia diajak menyadari kembali kelemahan dirinya, berani untuk memulai yang baru, telah berbuat segala macam dosa tetapi mau meminta ampun dan sadar, meski banyak dosa Tuhan tetap mau menerimanya asal mau bertobat. Gereja mendorong agar di masa prapaskah, umat Kristiani itu benar-benar mendekatkan diri kembali kepada Yesus dan Allah Bapa.

Hingga sebelum masa prapaskah akan ditutup, perayaan Kamis Putih menjadi hari peringatan akan saat ketika Yesus menyampaikan pesan-pesan-Nya kepada manusia (para rasul murid-Nya) sebelum Dia benar-benar wafat. Malam sebelum kesengsaraa-Nya dimulai, Yesus sudah tahu bahwa itulah malam terakhir. Yesus tahu bahwa waktu-Nya tak lama lagi berada di dunia, maka malam itu dipakai Yesus untuk “merangkum” tugas-Nya sebagai Anak Bapa. Yesus mau menyampaikan pesan.

Yesus katakan, “Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu” (Yoh 13: 14). Pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus kepada murid-muridnya memberi pesan tegas dan konkret kepada manusia: kamu hendaknya saling mengasihi dan melayani. Tidak ada yang perlu merasa begitu tinggi sehingga menolak melayani sesamanya manusia.

Tentu saja kehadiran Yesus adalah bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani, maka orang Kristen juga harus sadar tugasnya untuk melayani sesama, siapa pun tanpa kecuali.

Malam sebelum wafat-Nya itu adalah juga malam di mana Yesus dikhianati oleh rasul-Nya sendiri, Yudas Iskariot yang, karena ditawari 30 koin perak oleh imam-imam kepala, bersedia menyerahkan Yesus. Dia mengkhianati Yesus, mesk sebelumnya Yesus tahu itu akan terjadi (saat pembasuhan kaki Petrus meminta untuk dibasuh kepalanya juga, tapi Yesus mengatakan siapa yang sudah mandi tidak perlu membasuh lagi kecuali kakinya, karena mereka sudah bersih tetapi tidak semua, Yoh 13: 10).

Perumpaan Yesus “bersih tetapi tidak semua” adalah karena di antara rasul itu ada Yudas Iskariot yang akhirnya mengkhianati Yesus.

Perjamuan makan bersama yang dilakukan Yesus bersama murid-muridnya menjadi puncak kehadiran Yesus di tengah murid-murid sebelum akhirnya Dia wafat. Lagi dan lagi, Yesus menegaskan pentingnya relasi baik antar sesama manusia. “Aku memberi perintah baru  kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kami demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yoh 13: 34).

Mengasihi mendorong kita untuk mau melayani. Kesediaan mengasihi akan mengalahkan keegoisan. Saat keegoisan tidak lagi berdaya, kita siap untuk menjadikan diri sebagai pelayan bagi sesama. Dan karenanya, siapa yang munafik seakan-akan “mengasihi” Tuhan, tetapi sama sekali tidak mengasihi sesamanya, adalah jelas bukan murid-Nya (Yoh 13: 35). Sebab, yang tidak bisa mengasihi sesamanya manusia yang kelihatan, bagaimana mungkin bisa mengasihi Allah yang tidak kelihatan? (1 Yoh 4: 20).

Kematian Yesus di kayu salib dengan segala rentetan siksaan yang dialami berujung pada ajaran Yesus, yang secara manusiawi begitu berat dilaksanakan namun terus perlu diusahakan, yaitu pengampunan kepada mereka yang sekalipun sudah mencederai dan melukai kita.

Yesus sendiri, yang meski sudah begitu tersiksa, tetap bersedia mengampuni sekaligus mendoakan mereka yang sudah menyiksa-Nya. Doa-Nya agar Bapa mengampuni mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka telah lakukan (Luk 23: 34).

Yesus telah mengajarkan bahwa betapapun sakitnya disiksa, dihina, diludahi, ditendang dan dituduh karena tidak dipercayai, dicurigai melulu, pengampunan adalah pembebasan diri dari hal yang tak ada guna. Pengampunan, meski berat betul, adalah agar kita menjadi bebas. Bebas dari dendam, bebas untuk tidak melulu merasa benar sendiri, bebas dari hati yang membenci dan bebas dari kemauan untuk menghakimi orang lain. Pengampunan menjadi sarana belajar menjadi pribadi yang lebih dewasa dan bebas.

Kematian Yesus itu sendiri adalah lambang Allah Bapa mengampuni manusia yang suka berdosa. Manusia yang setelah misa atau berdoa selesai, masih balik lagi menjadi emosional, tukang suap, pembohong, kasar, tidak bersyukur dan sebagainya. Yesus rela diperlakukan begitu, karena mengampuni manusia memang tugas yang diberikan Bapa kepada-Nya.

Kalau pengampunan itu telah kita dapatkan melalui kematian Yesus, bukankah kita juga harus belajar untuk mudah memberikan pengampunan?

Faktanya, di gereja, semua yang disebutkan sebelumnya itu sudah biasa kita dengar. Dalam konteks masa prapaskah dimulai atau di masa pekan suci atau tri hari suci, pesan-pesan itu sering dibicarakan. Persoalannya, bagaimana melaksanakan semua pesan itu dalam kehidupan sehari-hari, di masyarakat, di lingkungan belajar atau kerja, dalam konteks berbangsa dan bernegara?

Segala macam persoalan yang dihadapai masyarakat saat ini, sebut saja kemiskinan, pengangguran, kualitas baik atas pendidikan yang tidak merata, terorisme, segala macam kebiasaan korup, provokasi semangat intoleran dari berbagai media dan sarana, hasut-menghasut, kriminalitas, korupsi dan kebiasaan suka suap-menyuap dan seterusnya, seharusnya mendorong kita untuk siap melayani sesama tanpa kecuali.

Latar belakang yang berbeda jangan sampai membuat kita tidak bisa bekerja sama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di atas. Bahwa ada yang masih suka menghasut, jangan membuat kita jadi mudah menghasut juga. Adanya provokasi-provokasi murahan, misalnya mau memecah belah karena isu agama, perlu ditanggapi dengan serius dan penegakan hukum yang tegas tanpa terpancing ikut menjadi provokator juga. Segala macam tindakan yang justru memperkeruh keadaan, harus disadari untuk tidak sama sekali dilakukan lagi.

Orang Kristen yang merayakan Paskah dan segala rangkaiannya adalah mereka yang setelah pulang dari gereja mau menjadi sesungguh-sungguhnya murid Yesus. Murid Yesus berarti tidak mudah berkeras hati, meskipun dia diperlakukan begitu menyakitkan.

Mereka yang tidak mudah menjadi pendendam karena merasa disakiti bahkan dihina. Mereka yang sekurang-kurangnya, mau terus memperbaiki diri meskipun sadar itu tidak akan pernah sempurna. Mereka yang selalu mencoba paham bahwa perayaan Paskah adalah di mana mereka harus berubah menjadi lebih baik dari hari kemarin.

Kematian Yesus dengan hinaan-hinaan di kayu salib bagi orang Kristen bukanlah tanda kekalahan. Justru kematian Yesus menandakan ada harapan baru bagi kehidupan manusia yang lebih baik dan lebih benar di kemudian hari.

Karenanya, kebangkitan Yesus dalam perayaan Paskah adalah tanda kemenangan bagi manusia sendiri. Kemenangan atas segala kegelapan dosa. Kemenangan atas kebencian dan kedengkian. Kemenangan dari segala dendam dan kekerasan hati. Paskah adalah tanda kemenangan atas kehidupan baru manusia.

Dengan begitu, Paskah seharusnya bukan sekadar perayaan pesta (betul-betul dalam arti harfiahnya; foya-foya atau makan-minum sampai kekenyangan dengan alasan bahagia Yesus sudah bangkit?), tetapi pada persiapan diri untuk segala daya upaya demi memastikan bahwa pesan kematian dan kebangkitan Yesus itu benar-benar kita laksanakan dalam keseharian di hari mendatang. Bahwa kita bisa menghadirkan Tuhan dalam tingkah laku dan kebiasaan.

Paskah harus menjadi pengingat bahwa tindakan konkret  adalah jauh lebih penting dari segala ide yang hanya keluar dalam ucapan tanpa tindakan (kita tahu bahwa Yesus bisa menyelamatkan diri-Nya dari segala siksaan, namun memilih tidak agar pesan dalam Alkitab terpenuhi dan manusia punya gambaran konkret).

Kita harus mulai menghidupi Paskah sebagaimana sesungguhnya, bukan cuma pesta-pesta atau rutinitas tahunan gereja. Paskah adalah kesempatan menjadi manusia baru yang lebih berguna karena tindakan-tindakan konkretnya untuk mewujudkan kehidupan bersama (tanpa kecuali) yang lebih baik. Mudah mengampuni dan mau melayani adalah pesan utama dari Paskah.

Semoga Tuhan menerima tobat dan harapan kita. Selamat Paskah.

Kolom terkait:

Kebangkitan Yesus: Hidup atau Mati?

Bangkit Bersama Kristus Menuju Keadaban Bangsa [Renungan Paskah]

Petrus Richard Sianturi
Petrus Richard Sianturi
Lulusan Seminari Wacana Bhakti, Jakarta, dan Fakultas Hukum Unika Parahyangan, Bandung.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.