Salah satu tantangan terbesar setiap nabi dan rasul, terlebih Muhammad sebagai yang paripurna dan sempurna, adalah mengaku dan meminta orang mengakui bahwa dirinya adalah utusan-Nya. Bahkan, dikukuhkan menjadi syarat pertama dan utama keislaman, yakni syahadat: mengakui Allah sebagai Tuhan, lalu “Muhammad sebagai utusan-Nya”.
Oleh karena itu, metode utamanya, sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad sebelum deklarasi kenabian dan kerasulannya adalah memantaskan diri. Ia memperkenalkan dirinya, yakni Muhammad itu sebagai “Al-Amin”. Kejujuran adalah tonggak utama bagi lakon itu. Selebihnya justru adalah tantangan bagi umat manusia, mau percaya atau tidak. Karena memang mustahil membuat semua percaya. Terlebih, di setiap zaman, dalam ragam wujudnya, hoaks: (fitnah) selalu ada. Di situlah letak “iman”.
Belum berhenti sampai di sana bagi Nabi Muhammad. Orang-orang mulia dalam Islam, dari kalangan laki-laki, perempuan, maupun anak muda, bahkan anak kecil, sebagian besar adalah keluarganya dan sebagian yang lain adalah sahabatnya. Bahkan, empat khalifah setelah Nabi, yakni para Khulafaur Rasyidin adalah “keluarga” Nabi: Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar itu mertua Nabi, Sayyidina Utsman itu menantu (dua putri) Nabi, dan Sayyidina Ali adalah sepupu sekaligus menantu Nabi juga.
Begitu riskan tuduhan nepotisme bisa dilayangkan pada Nabi. Oleh karena itu, metode yang dipilih Nabi, beliau tegaskan dalam sabdanya: “… Demi Allah! Seandainya Fatimah binti Muhammad (putri Nabi sendiri) mencuri, niscaya aku yang akan memotong tangannya.” Lagi-lagi, Nabi meneguhkan prinsip kepantasan berbasis kompetensi.
Tentu, secara logis dan psikis, itu sesuatu yang begitu berat. Di satu sisi, ada tantangan untuk menjaga sakralitas ajaran yang jika ia ditempelkan pada sosok, riskan menjadi profan, reduksi hingga penyelewengan. Karena itu, kualifikasi menjadi sangat signifikan di sini. Dan belakangan ini menjadi salah satu titik perdebatan di kalangan Muslim sendiri bahkan, misalnya yang paling mencolok terkait sosok Abu Thalib, paman Nabi sendiri.
Di sisi lain, tantangan bagi ajaran ini untuk “membumi” agar tak menjadi utopis. Menjadi lebih berat lagi karena yang terpilih pada akhirnya adalah mayoritas “keluarga” Nabi sendiri.
Namun, betapapun Nabi telah mewaspadainya, fallacy (kesesatan) terjadi: argumentum ad verecundiam atau pengkultusan. Seperti bisa kita baca dalam serial kolom sejarah khilafah Prof. Nadirsyah Hosen, bagaimana terbentuknya Khilafah Umayyah dan Khilafah Abbasiyah yang berbasis pada dinasti, minus kompetensi maupun kualifikasi (meski sebagian kecil sih “aman”). Bahkan, Dinasti Abbasiyah ditegakkan salah satunya oleh propaganda “kebangkitan” atas nama “darah” keluarga Nabi.
Maka, selain risalah (ajaran), sejarah (sosok) telanjur menjadi “dalil”. Maka, jika di zaman Nabi dan Khulafaur Rasyidin keduanya masih selaras sehingga “aman” ketelanjuran itu, namun tidak untuk selanjutnya.
Masalah itu pun tentu berlanjut dari zaman ke zaman hingga kini sebagai “warisan”. Kita menjadi “gagap” membedakan ajaran dan sosok, lalu terjebak dalam fallacy. Kita kerap gagal menarik garis tegas antara sakralitas ajaran dan profanitas manusia yang siapa pun dia (selain Nabi) takkan terlepas dari salah dan lupa. Kita seolah sulit memahami apa yang disinyalir Muhammad Abduh bahwa Islam berbeda dengan Muslim, di mana bisa jadi Muslim tak merepresentasikan Islam atau malah mencoreng citra Islam dengan kelakuannya yang tak sesuai ajaran Islam.
Bahkan, kini bukan hanya sosok dalam wujud manusia, tapi juga negara, media, dan apa saja yang berani melabeli “dirinya” Islam, tapi tak mau menerima konsekuensi yang diwariskan Nabi untuk bertanggung jawab atas klaim itu dengan memantaskan “dirinya” dan berlapang dada untuk menghukum “dirinya” sendiri jika berbuat salah, tak islami.
Inilah salah satu arus utama krisis umat Islam sepanjang zaman hingga kini, sehingga Islam dicoreng justru oleh umatnya sendiri. Sebab, betapapun di luar Islam menghina citra Islam, sebagaimana dilakukan musuh-musuh Nabi di zamannya misalnya, itu takkan membuat Nabi atau kita menjadi hina, atau malah justru semakin menegaskan kemuliannya Nabi dan kita.
Maka, tradisi tasawuf mengajarkan untuk kita kembali fokus utama pada diri sendiri dengan misalnya diktum: “Siapa mengetahui dirinya, dia mengetahui Tuhannya.” Yang itu kemudian dimanifestasikan dalam berbagai laku pembersihan diri dari kekotoran dan penghiasan diri dengan kebaikan dengan berbagai konsepnya masing-masing dari setiap sufi atau tarekat.
Tradisi ini berkembang dengan pembentukan dan penjagaan seorang guru atas kompetensi dan kualifikasi muridnya. Dengan demikian, kita bisa tetap menjaga “warisan” Nabi terkait tantangan untuk menjaga Islam tetap dalam sakralitasnya, tapi juga ada sosok-sosok yang “membumikan” Islam agar terhindar dari tuduhan utopis. Sebab, itulah salah satu misi utama Nabi, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Ahzab: 21), yakni sebagai suri tauladan yang baik (uswatun hasanah).
Maka, rumusnya adalah, kenalilah kebenaran, maka kita akan tahu siapa yang benar. Jangan terbalik!
Lalu, bagaimana dengan musuh-musuh kita? Percayalah pada Al-Qur’an yang menegaskan dalam QS. Al-Isra’: 81, yakni: “Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”
Jika kita (mendatangkan) benar, maka kebatilan akan sirna sebagai sebuah konsekuensi. Karena, secara filosofis, sejatinya yang sejati adalah cahaya, sedangkan kegelapan itu tak punya eksistensi. Begitu cahaya datang, kegelapan akan sirna sebagai sunnatullah.
Kolom terkait:
Tak Ada Paksaan dalam Agama. Titik!
Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam: Dimulai dari Mana?
Lelaki Pemrotes Nabi dan Khawarij Zaman Now