Selasa, Desember 10, 2024

Hoaks, Anak Haram Kesucian Islam

Andriansyah Syihabuddin
Andriansyah Syihabuddin
Editor di sebuah penerbit di Jakarta, CEO Islam-Detik.Com. Kajian Islam bisa di lihat di Youtube Santri Abadi https://www.youtube.com/channel/UC8mAuwvH3gu1bEU1MHLV2Mg
- Advertisement -

“Kebohongan baru dapat dibolehkan dan ditoleransi hanya jika bertujuan menumbuhkan perdamaian”

Belakangan ini berita bohong atauk hoaks menjadi santapan sehari-hari. Mereka yang sehari-hari menggunakan media sosial tak asing dengan hoaks. Sayang, tidak semuanya memercayai bahkan mengetahui bahwa apa yang dikonsumsinya itu adalah hoaks.

Tidak sedikit dari mereka yang meyakini hoaks sebagai suatu kebenaran. Serupa ikan yang diiming-imingi kail terselubung umpan. Banyak yang ikut terpancing lantas melahap apa saja informasi yang sampai kepadanya sebelum mengetahui duduk perkara sebenarnya. Pada titik ini, prinsip bahwa seorang muslim seharusnya mendahulukan kebenaran cenderung diabaikan. Padahal jelas, dalam kacamata Islam, antara hoaks dan berita bohong tidak ada beda.

Pada dasarnya sampai kapan pun Islam tak dapat mentolelir suatu kebohongan, kecuali dalam sebagian kecil keadaan. Apakah hal ini berarti memang ada kebohongan yang dapat ditolelir di dalam Islam? Jika hal ini yang ditanyakan maka jawabnya, ya. Di dalam Islam memang ada yang dinamakan “kebohongan putih” (white lie), di mana seorang muslim diperbolehkan untuk berbohong. Itu pun dengan syarat dilakukan dalam situasi dan konteks tertentu yang sangat khas, dan lagi untuk tujuan kemasalahatan atau kebaikan.

Suatu kali, seorang sahabiyah (sebutan sahabat Nabi dari kalangan perempuan) bernama Ummi Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’ith pernah mendengar Rasulullah Muhammad Saw. bersabda, beliau berkata, “Tidaklah dianggap sebagai pembohong orang yang mendamaikan di antara manusia.

Ia berkata yang baik-baik dan menumbuhkan kebaikan.” Ibnu Syihab berkata, “Belum pernah aku mendengar beliau (Rasulullah) memberi keringanan sedikit pun terhadap suatu kebohongan, kecuali dalam tiga hal, dalam situasi peperangan, untuk tujuan mendamaikan manusia, dan kebohongan suami kepada istrinya juga kebohongan istri kepada suaminya (dengan tujuan agar rumah tangganya tetap harmonis, Pen.)” (H.R. Muttafaqun ‘alaih).

Hadis tersebut idak perlu ditafsirkan lebih jauh. Muatannya sudah sangat jelas. Pada dasarnya kebohongan adalah suatu hal yang nista. Sejatinya tidak ada keringanan sedikit pun bagi suatu kebohongan, kecuali jika ada situasi yang memaksa kebohongan harus dilakukan. Dari tiga keadaan di mana kebohongan diperbolehkan, sebagaimana termuat dalam hadis di atas, bermuara pada satu rumus yang perlu dicatat tebal-tebal, yakni: “Kebohongan baru dapat dibolehkan dan ditoleransi hanya jika bertujuan menumbuhkan perdamaian.”

Dengan demikian, segala kebohongan yang muaranya tidak membuahkan perdamaian, baik di tingkat rumah tangga, lebih-lebih lagi di tingkat keumatan dan kebangsaan, jelas suatu hal yang terlarang alias haram. Mari menengok alasan Rasulullah Muhammad Saw. dalam membolehkan kebohongan dalam tiga situasi sebagaimana beliau katakan di dalam hadisnya. Pertama, bolehnya berbohong dalam situasi perang sebagai suatu muslihat. Mengapa hal ini dibolehkan?

Sebelum disalahpahami harus ditegaskan terlebih dahulu bahwa semua perang yang dipimpin dan dipromosikan oleh Rasulullah adalah perang suci yang tujuannya mulia. Kemuliaan perang yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Saw. adalah bahwa perang menjadi jalan terakhir yang ditempuh jika nilai-nilai keadilan terus-menerus diinjak-injak, perdamaian tidak dikedepankan, dan nilai-nilai kemanusiaan dinistakan.

Dalam kosa kata modern, perang yang dilakukan dan dipromosikan oleh Rasulullah secara sederhana dapat disebut sebagai perang untuk perdamaian (war for peace). Terkadang untuk mencapai suatu perdamaian sebuah peperangan memang harus dilakukan. Tentu saja hal ini terlepas dari motif-motif naif yang digunakan banyak orang yang menjadikan perang untuk meraih kekuasaan belaka.

- Advertisement -

Di dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi mengatakan bahwa bolehnnya kebohongan dalam perang yang diajarkan oleh Rasulullah adalah diizinkannya penggunaan tipu muslihat terhadap musuh yang dengannya dapat mencegah suatu peperangan atau kalaupun perang sudah terlanjur terjadi dapat diselesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Salah satu muslihat dilakukan Rasulullah sewaktu terjadi Perang Ahzab (Koalisi) yang terjadi pada tahun 5 Hijriah. Pada perang yang juga disebut Perang Khandaq (Parit) ini, muncul ide brilian dari Nu’aim bin Mas’ud Al-Asy’ari yang berasal dari Bani Ghatafan. Ia menawarkan diri untuk bersiasat memecah koalisi antara pasukan kafir Quraisy yang telah mengepung kota Madinah selama berbulan-bulan dengan kaum Yahudi (Bani Quraizhah).

Bani Quraizhah semula mengikat kesepakatan damai dengan kaum muslim namun mengkhianatinya setelah dihasut kepala suku Bani Nadhir (Yahudi) yang telah terusir dari Madinah. Padahal sebelum pengkhianatan Bani Quraizhah bertanggung jawab atas sisi pertahanan kota Madinah yang memang tidak dijaga kaum muslim. Bergabungnya mereka dengan pasukan koalisi untuk menggempur kaum muslim jelas membuat pasukan Rasulullah dan kaum muslim yang selama berbulan-bulan mampu bertahan dengan parit pada sisi kita Madinah lainnya berada pada situasi kritis.

Sebelum itu semua terjadi, Rasulullah Muhammad Saw. menyetujui usul Nu’aim. Maka Nu’aim yang tidak diketahui oleh kaumnya telah masuk Islam menemui Abu Sufyan, pemimpin pasukan koalisi dan mengatakan bahwa Bani Quraizhah menyesal telah merusak kesepakatan damai dengan kaum muslim dan karena itu mereka akan menyandera pembesar Quraisy dan orang dari kaumnya untuk diserahkan dan mendapatkan hukuman dari pasukan kaum muslim.

Sementara kepada Bani Quraizhah, Nua’im bersiasat agar sebaiknya suku Yahudi ini meminta jaminan kepada pasukan Quraisy dengan menempatkan beberapa pembesarnya di benteng Bani Quraizhah. Hal itu diperlukan, sebab jika kalah perang tentu pasukan Quraisy mudah saja pulang ke Makkah, sementara Bani Quraizhah akan ditinggal dan mau tak mau harus berhadapan dengan kaum muslim sendirian.

Siasat Nua’im kepada kedua pihak yang berkoalisi itu dimakan mentah-mentah baik oleh pimpinan Quraisy maupun kepala suku Bani Quraizhah. Hal ini mengingat Nua’im dikira masih setia dengan kaumnya, Bani Ghatafan yang juga tergabung dalam pasukan koalisi bersama suku-suku Quraisy Makkah lainnya. Akhirnya, koalisi pasukan Quraisy-Bani Quraizhah pun pecah.

Bani Quraizhah tak jadi menyerang kaum muslim, sedangkan kaum Quraisy terhalang parit. Mereka pulang ke Makkah setelah Allah mengirimkan badai pasir. Kaum muslim yang lemah secara fisik, mental, dan kekurangan bahan makanan karena blokade kota Madinah pun akhirnya dimenangkan oleh Allah Swt.

Pada Perang Ahzab terhitung hanya 10 orang pasukan muslim yang syahid, dan pada pasukan koalisi hanya sedikit lebih banyak. Mereka yang gugur umumnya akibat serangan anak panah yang dilancarkan dari masing-masing sisi di kedua seberang parit atau dalam laga tanding satu lawan satu.

Dari kisah Perang Ahzab itu nyata sekali bahwa siasat (kebohongan) yang diizinkan Rasulullah bertujuan untuk mencegah pertumpahan darah yang lebih besar dan mempersingkat peperangan.

Tujuan untuk meraih kemaslahatan yang lebih besar juga menjadi alasan dibolehkannya kebohongan dalam kehidupan rumah tangga. Seorang suami dibolehkan untuk berbohong bahwa masakan istrinya enak dan lezat sekalipun rasanya tidak karuan. Tujuannya agar rumah tangga tambah harmonis. Apalagi ada ujaran yang mengatakan, “Jangan pernah mengkritik perempuan (istri) terkait dua hal; masakan dan pakaian. ”

Apa yang terjadi hari ini?

Menjamurnya hoaks belakangan ini jelas berbeda konteksnya sebagaimana dimaksudkan di dalam hadis Rasulullah. Bertaburnya hoaks hari ini umumnya tidak bermuara kepada perdamaian, apalagi untuk menegakkan keadilan. Hoaks hari ini yang menyebar di banyak situs maupun grup medsos yang bernuansa dakwah sekalipun, tampak sekali lebih bertujuan untuk memancing emosi umat yang dapat bermuara pada perpecahan di antara anak bangsa. Hal ini jelas kemudharatan yang harus ditolak.

Hoaks yang berkembang hari ini juga mencederai nilai-nilai Islam karena selain kebanyakan menggunakan bahasa yang tidak santun, tidak ditopang bukti akurat, juga berangkat dari imajinasi yang keliru bahwa umat Islam saat ini berada dalam situasi perang. Memang benar ada sebagian orang yang selalu mengatakan bahwa umat Islam saat ini tengah berada di tengah-tengah perang asimetris (proxy war), yang dengan alasan itu maka siasat untuk membakar emosi umat atau membangun sentimen tertentu menjadi absah untuk dilakukan.

Pembenaran-pembenaran seperti itu tentu tertolak karena beberapa hal. Pertama, tidak ada konflik nyata apa pun yang terjadi di tanah air saat ini, apalagi perang. Lazimnya sebuah perang asimetris tetap dapat dilihat konflik fisik yang terjadi di lapangan sebagaimana berlaku hari ini di Suriah, di mana faksi oposisi didukung oleh Amerika Serikat dan rezim Assad yang didukung Rusia. Sementara yang terjadi di tanah air tampaknha lebih sebagai buah rivalitas politik yang mengeras sejak masa Pilpres 2014.

Tentu saja jika hal ini tidak dikelola dapat menjelma menjadi konflik nyata di lapangan.
Kedua, sulit membaca bahwa di tanah air tengah berlaku perang asimetris mengingat belum jelas benar mana-mana saja yang terhitung sebagai kawan dan mana musuh. Dalam rivalitas apa pun, termasuk politik, adanya lawan adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa lawan tak melulu berarti musuh. Lawan justru dibutuhkan agar segala sesuatunya tumbuh dan berkembang secara seimbang.

Dengan demikian, diukur dari nilai luhur mana pun dalam Islam, hoaks adalah sesuatu yang sama sekali tidak dibenarkan. Hoaks hanya akan mengotori akal juga hati. Sebagai muslim, tak sepantasnya bangga melahap hoaks apalagi sampai menyebarnya ke mana-mana. Ada istilah Arab mengatakan, “Berpikirlah sebelum berbuat.”

Jika menganggap bahwa melahap dan menyebar hoaks itu hanyalah sepele belaka, maka sudah waktunya selalu mengingat firman Allah SWT dalam Surah An-Nur/24 ayat ke-15: “Ingatlah ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.” Wallahu a’lam bis-shawab.

Kolom terkait:

Membangun Hoaks Ala Amerika

Hoaks Yang Dibercandai

Akrobat Hoaks Dan Tata Kelola Informasi Publik

Andriansyah Syihabuddin
Andriansyah Syihabuddin
Editor di sebuah penerbit di Jakarta, CEO Islam-Detik.Com. Kajian Islam bisa di lihat di Youtube Santri Abadi https://www.youtube.com/channel/UC8mAuwvH3gu1bEU1MHLV2Mg
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.