Kamis, April 25, 2024

Buya Syafii Maarif, Gejala Ateisme, dan Hoax

Erik Tauvani Somae
Erik Tauvani Somae
Guru di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta

Disamping manfaatnya yang besar, sampai pada batas-batas tertentu, dampak yang diakibatkan dari penggunaan internet dalam format media sosial adalah membuat orang menjadi malas berpikir. Orang cenderung lebih memilih instan ketimbang harus bersusah payah mencari informasi dari sumber yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan, semisal membaca buku atau berjumpa langsung dengan narasumber.

Efek domino dari kecenderungan instan ini mematikan daya kritis dan, sampai pada batas-batas yang jauh, orang akan mudah diombang-ambingkan ketidakjelasan informasi yang dapat berakibat fatal pada upaya pelemahan iman seseorang.

Saat itu, Selasa, 22 Agustus 2017, usai Salat Magrib di Masjid Nogotirto, Sleman, Yogyakarta, Buya Syafii Maarif menuturkan kegelisahannya atas gejala di atas dengan amat serius. Tidak seperti biasanya saat awal jumpa selalu basa-basi tanya kabar dengan sedikit bumbu senda gurau. Kali ini obrolan langsung masuk pada topik inti. Dari habis Magrib sampai Isya, dan sesaat dilanjutkan lagi setelah Salat Isya.

Awalnya, satu jam sebelum kedatangan saya di Masjid Nogotirto, Buya mengirim pesan via WA yang juga dikirimkan kepada beberapa rekan:

Mulai muncul kaum intelektual yang meninggalkan agama Islam, seperti Dr Ali Sina (asal Iran) dan masih ada yang lain. Kita tidak mungkin menghadapi fenomena kemurtadan ini dengan menghukum atau mengasingkan mereka. Komunikasi internet demikian dahsyat mempengaruhi iman seseorang. Kita di Indonesia perlu memantau gejala ateisme di dunia muslim. Ada info di Saudi ada sekian persen kaum ateis, pemicunya macam-macam. Tadi saya baca selintas pengakuan Ali Sina tentang al-Qur’an dan Muhammad, ngeri sekali. Maarif (tata tulisan telah disesuaikan)

Bermula dari pesan inilah obrolan kami malam itu dimulai. Tentang kegelisahan yang amat mendalam seorang Buya Syafii atas gejala ateisme di dunia Muslim oleh orang-orang yang berpindah haluan dari keimanan menjadi tidak bertuhan. Umumnya disebabkan oleh alasan kekecewaan mereka terhadap realitas dunia Muslim yang antara ajaran dan perilaku telah lama pecah kongsi. Ali Sina barangkali termasuk dalam barisan yang kecewa ini.

Ali Sina telah menolak ajaran dari al-Qur’an. Seperti seorang mantan yang frustasi berat, tidak cukup dengan talak tiga terhadap Islam, Ali Sina bahkan balik menghantam al-Qur’an dan Muhammad SAW dengan amat sadis. Ia banyak bergerak menyebarkan paham kebenciannya atas Islam melalui internet. Jika tidak hati-hati, orang bisa saja terbawa arus pemahaman yang merusak iman ini.

Siapa Dr. Ali Sina?

Ali Sina adalah seorang warga negara Kanada keturunan Iran. Ia menghabiskan masa kanak-kanak di Iran. Ia mendapatkan pendidikan Islam di sekolah saat Negeri Para Mullah ini masih sekuler. Meskipun sekuler, saat itu kebangkitan Islam di Iran telah menggaung di mana-mana. Saat remaja, sebelum terjadi revolusi Islam di Iran, Ali Sina meninggalkan negaranya untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Eropa.

Saat ini Ali Sina lebih dikenal sebagai pendiri Faith Freedom International (FFI). Sebuah gerakan eks muslim-ateis (murtadin-ateis) yang mengakar rumput dalam penyebaran ideologi kebenciannya terhadap Islam melalui internet. Gerakan ini sesungguhnya ditujukan untuk mengkritisi semua agama, melihat ia adalah seorang murtadin yang ateis, namun yang sering menjadi sasaran hantam adalah Islam.

Keterbelakangan dunia Muslim saat ini, bagi Ali Sina, penyebabnya tidak lain adalah ajaran Islam itu sendiri. Maka, tidak heran jika al-Qur’an, bagi Ali Sina, adalah buku yang penuh dengan kedustaan dan antikemanusiaan. Nabi Muhamamd pun tidak luput dari hantaman seorang Ali Sina. Bahkan, dalam sebuah buku setebal 264 halaman di bawah judul Understanding Muhammad, Ali Sina menunjukkan kebenciannya yang amat dalam kepada Nabi.

Kegelisahan Buya

Ali Sina adalah satu dari sekian intelektual Muslim yang memutuskan untuk keluar dari Islam dan menjadi ateis. Selain Ali Sina, ada Ibnu Warraq, Wafa Sultan, dan lainnya. Bagi Buya Syafii, keputusan mereka untuk menjadi ateis adalah urusan keyakinan mereka yang bebas saja mereka pilih, meskipun dalam keyakinan orang beriman, risiko pasti akan ditanggung sendiri di akhirat nanti.

Bagi Buya Syafii Maarif persoalannya tidak sesederhana itu. Mereka adalah ateis yang sangat berbahaya karena mereka adalah intelektualis yang pasti akan menyerang otak manusia. Mereka, menurut Buya, harus dihadapi.

Menghadapi kelompok semacam ini, tidak cukup hanya dengan emosi. Dengan sejenak memejamkan mata dan merenung, Buya berkata:

“Harusnya umat Islam melahirkan orang-orang intelektualis yang mampu menghadapi arus membahayakan ini. Memang melelahkan, tapi harus dihadapi. Ini demi umat dan anak-cucu kita nanti. Masalahnya,” lanjut Buya, ”bagaimana mau melahirkan intelektualis jika faktor internet membuat orang menjadi malas berpikir. Orang maunya yang instan saja.”

Sesaat setelah terdiam lagi sambil merenung, kemudian Buya mengembalikan topik pembicaraan pada kasus pemikiran Ali Sina. “Yang saya tidak terima,” lanjut Buya, “Ali Sina menyerang Islam, namun dalam waktu yang sama, dia mendiamkan imperialisme Barat yang jelas-jelas telah memorak-porandakan dunia muslim, sekalipun dunia muslim memang telah rapuh dari dalam karena antara kelakuan orang-orangnya dan ajarannya telah pecah kongsi.”

“Saya sudah sangat terlambat. Umur saya sudah 82 tahun. Dunia muslim harus melahirkan intelektualis untuk menghadapi gejala ini. Bukan justru melahirkan generasi yang malas berpikir, bersumbu pendek, dan mudah terbawa arus karena faktor internet” ungkap Buya dengan raut kegelisahan yang amat dalam.

Malas Berfikir

Teknologi internet, bagi Ali Sina, memungkinkan seorang netter merahasiakan jati diri dan jadi anonim. Ia adalah sarana yang ideal bagi murtadin untuk bertukar pikiran, menjelaskan keraguan yang dialami, membagi pengalaman, dan mendukung serta meneguhkan satu sama lain. Jika tidak memiliki dasar keimanan, keilmuan, dan keterbukaan pikiran, apapun akan menjadi mudah diterima otak secara mentah.

Kegelisahan Buya Syafii Maarif terhadap gelaja ateisme dan penyebarannya via internet, patut menjadi renungan bagi kita semua. Bukan mempermasalahkan internetnya, namun karena kelemahan wawasan yang sempit didukung dengan kemalasan berpikir, akan sangat mudah mengarahkan orang menjadi ateis dan balik menghantam Islam sendiri seperti dalam kasus beberapa intelektualis eks muslim di atas.

Sekalipun pada sisi yang lain, alasan kekecewaan mereka terhadap dunia muslim patut kita renungkan. Keterbelakangan dunia muslim dalam banyak bidang yang kemudian membuat mereka memilih meninggalkan Islam tidak menutup kemungkinan akan menambah daftar nama baru. Kemungkinan ini semakin terbuka lebar dengan adanya upaya-upaya dari kelompok para mantan itu untuk menyebarkan ideologinya melalui internet.

Jika gerakan ini tidak diantisipasi dan dihadapi dengan memunculnya para intelektualis yang tidak gagap internet dan tidak mudah terbawa arus, pasti akan menjadi ancaman bagi generasi selanjutnya. Sebuah generasi yang tidak mungkin menghalau kemajuan teknologi internet.

Masa Depan Anak Cucu 

Kita tidak mungkin memaksakan kehendak atas keyakinan orang. Al-Qur’an pun melarang itu. Keyakinan adalah hak asasi setiap individu. Termasuk bagi mereka yang memutuskan untuk menjadi seorang ateis sekalipun. Bagi Buya, apapun pilihan orang, hubungan persaudaraan harus tetap dijaga dengan baik. Bagi umat Islam, menjaga dan merawat keyakinan keluarga hingga ke anak cucu, adalah satu perkara yang wajib dilakukan. Ini adalah bagian dari ajaran Islam itu sendiri.

Ali Sina dengan FFI-nya, adalah satu gejala yang umum di dunia internet. Kegelisahan Buya, khususnya bagi masa depan anak cucu kita, adalah mudah terbawa arus karena malas berpikir akibat internet. Internet dengan segala aspek kemanfaatannya, pun juga dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk tujuan jangka pendek, memecah belah persatuan, bahkan masuk dalam ruang keimanan macam Ali Sina.

Buya Syafii sangat berharap agar generasi penerus ini gemar membaca, menulis, merenung, dan diskusi agar wawasan dan pergaulan menjadi luas, sadar keragaman, siap dengan perbedaan pendapat, dan tidak bersumbu pendek. Bagi mereka yang berwawasan dan pergaulannya sempit, pasti akan sangat mudah terbawa arus, ikut-ikutan, dan mudah percaya hoax.

Kegelisahan dan nasihat Buya Syafii Maarif harus ditangkap oleh generasi penerus sebagai lampu kuning untuk masa depan generasi era teknologi internet. Ini bukan soal suka atau tidak suka. Sebagai orang tua bagi kita semua, Buya menginginkan kebaikan bagi generasi penerus. Di atas pundak generasi penerus inilah nasib bangsa dipikul. Jika generasinya mudah goyah, bangsa pasti akan ikut goyah.

Dengan luas wawasan, luas pergaulan, dan lapang dada di atas keimanan yang kokoh, orang tidak perlu lagi merisaukan pengaruh internet bagi generasi penerus. Mereka pasti akan menjadi generasi yang siap dengan perbedaan pendapat dan tidak mudah terbawa arus. Sekalipun ateisme, dalam penyebarannya, bergerak secara masif melalui internet, pasti akan ada perlawanan dari para intelekual di generasi yang lebih muda. Sebuah generasi yang luas wawasan dan luas pergaulan seperti impian Buya Syafii Maarif.

Baca juga:

Jalan Terjal Buya Syafii Maarif

Ahmad Syafii Maarif: Sang Penentang Arus

Tentang Gus Mus, Quraish Shihab, dan Buya Syafii

Erik Tauvani Somae
Erik Tauvani Somae
Guru di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.