TIBALAH kemudian giliran berdoa. Syekh Burhanuddin membalikkan badannya ke arah jamaah. Lalu, ia pun menengadah. Sesudah diawali dengan pujian kepada Allah dan shalawat teruntuk Rasulullah, Syekh Burhanuddin memulai permohonan dengan memohon ampunan kepada Allah. Lalu, secara berturut-turut, meminta petunjuk, kekuatan, pertolongan, dan perlindungan dari Allah untuknya, keluarganya, murid-murid, jamaah, dan masyarakat. Jamaah, yang sebagian besar adalah para murid, mengamini doa Syekh Burhanuddin.
Selesai salat berjamaah dan berebut berkah dengan mencium tangan syekh, mereka serentak duduk kembali. Rapi jali sesuai garis shaf salat. Mulailah Syekh Burhanuddin berpetuah. “Betapa kita berlinang kesalahan dan basah oleh dosa. Oleh karena itu, kita beristighfar, mohon ampunan tanpa berkesudahan,” ungkapnya.
Dan karena fitrah sebagai tempat salah dan dosa, muskil bagi kita untuk berbuat benar dan baik jika tanpa petunjuk Allah. Manusia tidak pernah bisa mengandalkan diri sendiri dalam hidup.
“Kita harus selalu mohon petunjuk Allah untuk berbuat atau tidak berbuat ini-itu,” kata syekh. Tetapi, jika pun sudah diberi petunjuk, manusia tetap saja tak berdaya dan tak kuasa berupaya melaksanakan petunjuk Allah mengandalkan diri sendiri.
Menurut Syekh Burhanuddin, kita harus mohon kekuatan kepada Allah. “Bahkan, sudah diberi kekuatan pun oleh Allah, kita tetap membutuhkan pertolongan-Nya. Ini karena makhluk memang benar-benar lemah dan hanya Khalik saja yang Maha Segalanya,” papar syekh dengan tegas.
Sudah memohon ampunan, petunjuk, kekekuatan, dan pertolongan kepada-Nya, lanjut Syekh Burhanuddin, manusia masih harus memohon perlindungan kepada Allah. Bahkan, dalam berdoa pun, kita masih bisa saja terkena dan terlena goda untuk meminta sesuatu yang tidak kita pahami. Syekh mengutip doa Nuh dalam QS. Hud: 47, ”Ya Tuhan, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari memohon sesuatu yang aku tidak mengetahui hakikatnya. Jika tak Engkau ampuni dan kasihi aku, niscaya aku merugi.”
Kepada para murid, syekh mengingatkan bahwa godaan tidak hanya muncul dari bisikan setan yang terkutuk. Tapi, bisa juga berasal dari manusia sendiri dan jin, sebagaimana termaktub dalam QS. An-Naas. “Bahkan, dalam doanya, Nabi Khidr mengucap Allahumma inni a’udzubika min syarri nafsi, ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari nafsuku sendiri,” jelasnya. Rasulullah Muhammad SAW pun sepulang dari Perang Badar mengingatkan ada perang yang lebih besar, yaitu perang melawan diri sendiri.
“Jangan kalian sangka, dicium tangan oleh murid-murid, jamaah, masyarakat, itu kemuliaan bagi kami. Tidak! Itu ujian menghadapi diri sendiri,” tegas syekh. Mengapa? Sebab, ratusan atau ribuan orang yang mencium tangan syekh, tiap-tiap orang hanya melakukannya sekali.
Sedangkan Syekh Burhanuddin harus kuat menjalani kenyataan tangannya dicium ratusan atau ribuan kali. “Kami harus menghadapi kepala kami sendiri agar tidak membesar dan hati kami agar tak meninggi karena dihormati,” ujarnya.
Syekh Burhanuddin mengajarkan kepada murid-murid melanggengkan sejumlah doa. Mulai dari astaghfiru ‘l-Laaha ‘l-adzim, ihdina ‘s-shirathal mustaqiim, hasbunallah wa ni’mal wakil, laa hawla walaa quwwata illa bi ‘l-Laah, hingga bacaan ta’awudz.
“Yang lebih utama dari tengadahnya tangan ketika berdoa adalah tunduknya hati kepada Allah. Boleh kita berdoa dengan suara lantang agar jelas meminta apa, tapi Allah lebih suka doa yang diucap lirih, setengah berbisik, apalagi jika disertai isak tangis,” tuturnya.
Maulana, seorang murid, mengacungkan telunjuk. “Syekh, jika faktor terkabulnya doa adalah bukan doa itu sendiri maupun pendoa, namun semata-mata karena faktor Sang Pengabul Doa, yaitu Allah sendiri, lalu untuk apa kita berdoa?” Tersenyum mendengar pertanyaan itu, syekh lekas menjawab. “Untuk apa kita berdoa? Tentu, untuk menerima rahmat dari Sang Pengabul Doa. Siapa yang berdoa, ia lebih siap menerima rahmat dari Allah dan niscaya lebih pandai bersyukur,” tukas Syekh Burhanuddin.
Setiapkali berdoa, sesungguhnya kita sedang mawas diri dan mengakui banyak hal. Dengan berdoa, kita mengakui tak punya sesuatu yang kita minta itu. Pun kita mengaku lemah tak berdaya, yang oleh karena itu kita memohon kepada Yang Maha Kuasa.
“Kita juga mengaku lupa, lalai, khilaf, dan telah berbuat salah, kemudian memohon ampunan. Doa itu benar-benar senjata bagi setiap manusia beriman untuk melawan dirinya sendiri,” ungkap Syekh Burhanuddin. Doa juga adalah motor penggerak ikhtiar manusia.
Syakhroni, murid lainnya, ikut bertanya. “Bagaimana jika terus-menerus berdoa? Bukankah itu menjadikan kita peminta-minta, Syekh? Bukankah kita seharusnya suka memberi?” Murid-murid menjadi saling menoleh kanan-kirinya.
Benar juga perkataan Syakhroni, mungkin begitu batin mereka. Namun, sebelum menjadi gaduh, Syekh Burhanuddin berdehem. Pandangan kembali terpusat ke depan. “Ya, ya. Itulah mengapa sebaik-baik meminta adalah memberi,” kata syekh.
Namun, hendak memberi apa kita kepada Allah yang Maha Memiliki segalanya? Syekh mengutip sabda Rasulullah SAW, ”Afdhalu ‘d-dua, alhamdu li ‘l-Laahi rabbi ‘l-‘Aalamiin. Sebaik-baik doa adalah (memberi pujian) segala puji bagi Allah, Pengatur alam semesta.”
Lebih dari itu, syekh mengingatkan murid-murid untuk menjadi perwujudan dari doa-doanya sendiri. Meminta ampunan Allah harus juga memberi maaf kepada sesama. Meminta petunjuk kepada Allah haruslah suka memberi ilmu manfaat kepada umat.
Pun meminta pertolongan kepada-Nya haruslah suka memberi bantuan kepada yang membutuhkan. Dan seterusnya. “Salah satu ciri-ciri doa permohonan ampun kita kepada Allah telah diterima, yang oleh karena-Nya diampuni dosa-dosa kita, adalah kita menjadi ringan meminta maaf dan tidak berat memaafkan sesama manusia,” terang Syekh Burhanuddin.
Berdoa serupa becermin. Jika kusam kaca cermin, tidak jelas kita becermin. Sebagai cermin diri, kalbu manusia harus dibersihkan sebelum ia berdoa. (tamat)
Kolom terkait:
Istighfar, Berlinang Kesalahan dan Basah oleh Dosa [1]
Bershalawat, Memohon Perantaraan Rasulullah [2]
Belajar Malu dari Ulama Tawadhu (1)