“Jika aku bisa mengayunkan tongkat sihirku dan harus memilih apakah melenyapkan perkosaan atau agama, aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk melenyapkan agama,” tulis Sam Harris, tokoh yang dianggap salah satu oknum dalam the Unholy Trinity of Atheism.
Dua orang oknum lainnya adalah Daniel Dennett dan Richard Dawkins. Mereka sepakat bahwa agama sudah semestinya ditinggalkan manusia bukan karena alasan teologis, tetapi, masih kata Harris, “agama telah menjadi sumber kekerasan sekarang ini dan pada setiap zaman di masa yang lalu.”
Doktrin bahwa agama menyebabkan tindakan kekerasan telah melahirkan ateis lebih banyak dari aliran pemikiran filsafat mana pun. “Religion makes enemy instead of friends. That one word, ‘religion’ covers all the horizon of memory with visions of war, of outrage, of persecution, of tyranny, and death,” Ingersoll, ateis Amerika yang terkenal itu, menjelaskan.
Setelah itu, para ateis internasional mengumpulkan setumpuk data tentang keterlibatan agama dalam berbagai peperangan dalam sejarah. Richard Dawkins membagi bab-bab dalam bukunya, god is not great (semuanya dengan huruf kecil) berdasarkan kontribusi setiap agama pada pembunuhan, peperangan, dan kekejaman.
Khusus tentang tindakan kekerasan kaum Muslim, kaum Fundamentalis Kristen memasukkan bensin pada bara yang sudah terbakar. Dengan melupakan tindakan kekerasan umat Kristiani sendiri dalam sejarah, mereka hanya menunjuk Islam sebagai satu-satunya agama yang mengajarkan terorisme. Misalnya, pada Oktober 2002, dalam acara nasional CBS, pendeta fundamentalis Kristen, Gerry Falwell, menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai teroris.
Ia berteriak, “I think Mohammed was a terrorist. He … was a violent man, a man of war. In my opinion … I do believe that – Jesus set the example for love, as did Moses. And I think that Mohammed set an opposite example.” Dalam logika Falwell, tindakan kekerasan kaum Muslim sekarang ini bersumber dari Nabi Muhammad sendiri. Ia tidak mengutip satu pun hadis Nabi yang menganjurkan kekerasan.
Ia tampaknya lupa bahwa umat Kristiani dari Eropa menumpas bangsa-bangsa untuk tiga G: Gold, Glory, dan Gospel. Tetapi kita tidak akan menuduh Yesus teroris, walaupun ia bersabda, “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab, Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.” (Matius 10:34-36).
Seperti Gerry Falwell, kaum ateis juga mengutip perilaku tokoh-tokoh agama dan kitab-kitab sucinya untuk menunjukkan bahwa agama mengilhami tindakan kekerasan. Mereka mengajukan argumuntasi sebagai berikut: (1) Agama menimbulkan perpecahan di antara manusia; “Aku datang untuk memisahkan orang”; (2) Agama memberikan label untuk memisahkan satu kelompok dari kelompok yang lain; “without religion there would be no labels by which to decide whom to oppress, whom to avenge”; (3) perang terjadi di antara kelompok dengan label yang berbeda; kelompok yang mengikuti agama yang diridoi Allah dan kelompok yang dimurkai Dia; (4) karena itu agama adalah penyebab tersirat dari peperangan.
Penolakan yang paling sederhana dari kaum agamawan ialah kenyataan sejarah bahwa agama bukan hanya memecah-belah, agama juga mempersatukan. Agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha telah mempersatukan miliaran umat manusia dalam label yang sama. Penolakan yang lebih mendalam—seperti dikemukakan Milton-Edwards—ialah menunjukkan dengan data-data historis bahwa peperangan lebih banyak disebabkan karena kepentingan ekonomis, persoalan etnis, isu kebangsaan (nasionalisme), dan terutama sekali masalah politik.
Dengan kata lain, tindakan kekerasan yang menimbulkan kehancuran bangsa dan negara lebih banyak disebabkan oleh sebab-sebab “sekular” ketimbang sebab-sebab agama. Perang Dunia I dan II tidak disebabkan karena perbedaan agama. Konflik Israel-Palestina diketahui semua orang bukan perang antar agama. Perang Amerika-Vietnam yang berlarut-larut terjadi karena sebab-sebab “sekular” dan sama sekali tidak menyangkut agama.
Perang Irak yang mengambil korban jiwa dan harta yang tidak terhitung ternyata—walaupun Bush mengaku sebagai “reborn Christian” yang dipanggil untuk menyelamatkan dunia—hanyalah War for Oil . Last but not least, lebih banyak orang dibunuh dan dilenyapkan oleh rezim-rezim otoriter tanpa agama seperti Marxisme ketimbang oleh rezim-rezim “beragama”.
Tidak mudah memang untuk menentukan apakah agama menyebabkan tindakan kekerasan. Sering terjadi motif-motif keagamaan itu berada di balik atau dimanfaatkan oleh institusi-institusi sekular. Untuk memastikan bahwa variabel independen dari tindakan kekerasan adalah agama, sebagai peneliti kita harus mendefinisikan secara operasional apa yang dimaksud dengan agama. Di sinilah para pemerhati agama dan kekerasan, juga kaum ateis, menabrak batu sandungan yang sangat besar.
Kerancuan Konseptual: Apa yang Disebut Agama?
Charles Kimball menulis When Religion Becomes Evil dan mulai menulis kalimat pertamanya dengan “Sudah agak umum, tapi malangnya sangat benar, untuk mengatakan bahwa lebih banyak perang dilakukan, lebih banyak orang dibunuh, dan sekarang ini lebih banyak kejahatan dikerjakan atas nama agama ketimbang kekuatan institusional lainnya dalam sejarah umat manusia.” Tapi ia tidak mendefinisikan institusi agama untuk membedakannya dari institusi-institusi lainnya, seperti negara, kerajaan, suku bangsa.
Ia pernah meminta mahasiswa-mahasiswanya yang cerdas untuk menuliskan definisi agama. Mereka kebingungan. Menurut Kimball, “Jelas sekali mahasiswa-mahasiswa yang cerdas itu tahu apa yang disebut agama”; mereka hanya kesulitan mendefinisikannya. Tapi alasan itu tidak bisa membenarkan penelitian kita berlangsung tanpa obyek yang jelas.
Karena didesak keperluan untuk menghubungkan akibat (kekerasan) dengan sebab (agama), para peneliti agama mengambil jalan pintas. Martin Marty yang menulis tentang agama publik menyebutkan lima karakteristik agama. Lucunya, ia juga menunjukkan bahwa lima tanda itu terdapat juga dalam institusi politik.
Agama berkaitan dengan “ultimate concern” begitu juga politik. Agama membangun komunitas, begitu pula politik. Agama merujuk pada mitos dan simbol, politik juga memuja bendera, lagu kebangsaan, pahlawan. Agama menggunakan upacara-upacara suci, politik juga mengadakan berbagai upacara dan perayaan. Agama menuntut para pengikutnya untuk berperilaku yang tertentu, politik juga begitu
Ketika Kimball menyebut lima ciri agama yang sudah berubah menjadi kejahatan, kita menemukan ciri yang sama “when politics becomes evil”. Kalau institusi politik sudah mempercayai kebenaran mutlak (absolute truth claims), menuntut kepatuhan membuta (blind obedience), merencanakan masa depan yang gemilang (establishment of ideal times), menghalalkan segala cara (ends justify means), dan menyatakan perang suci (declaring holy war), politik itu sudah menjadi agama.
Mendefinisikan agama dengan karakteristiknya (yang tidak khas) memperluas kategori agama. Dengan begitu, setiap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh institusi mana pun—termasuk negara dan partai politik—akan dinisbatkan kepada agama. Simaklah argumentasi Harris tentang agama dan kekerasan. Ia tidak menunjuk dengan jelas bagaimana agama menyulut peperangan. Dengan jujur, ia berkata, “These conflicts are not always explicitkly religious”. Walaupun begitu, dengan semangat, ia membuat daftar peperangan yang dalam pandangannya didasarkan pada motif keagamaan.
Saya mengambil sebagian saja: Palestina (Yahudi vs Muslim), Balkan (Serbia Orthodoks vs Bosnia Muslim), Irlandia Utara (Protestan vs Katholik), Kashmir (Muslim vs Hindu), dan perang Iran-Irak (menurut Harris, Syiah dan Sunni). Menarik bahwa hampir setiap contoh yang dikemukakannya melibatkan kaum Muslim. Ia menghapus dari catatannya peperangan antara sesama umat Kristiani, sejak abad pertengahan sampai abad modern (misalnya, Perang Malvinas).
Jika kita belajar sejarah (sedikit saja), kita akan segera tahu bahwa konflik Palestina adalah konflik etnis (Yahudi yang terdiri dari 22.9 persen ateis, 21 persen sekular, dan sisanya menganut agama Yahudi secara formal dan etnis Arab yang terdiri dari Islam dan Kristen). Bahwa konflik di Irlandia Utara disebabkan karena masalah etnis-politis, setelah Inggris mendirikan Perkebunan Ulster tahun 1609. Bahwa konflik bersenjata antara Pakistan dan India tentang Kashmir ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah kolonial Inggris, dan bukan karena anjuran Kitab Suci. Bahwa perang Irak dan Iran dimulai dari perebutan wilayah, bukan karena perbedaan mazhab (terbukti setelah perang diketahui bahwa Syiah juga mayoritas di Irak).
Lalu, mengapa Barat mempertahankan asumsi agama sebagai penyebab tindakan kekerasan. Seakan-akan mengikuti Wittgenstein, filsuf urakan itu, para penulis Barat mempertahankan asumsi ini untuk memainkan “language game”. Kita tidak usah terlalu payah memikirkan definisi agama dan kekerasan. Kita harus menyelidiki untuk maksud apa orang mempertahankan asumsi itu. Mengapa mereka mengulang-ulang cerita tentang “religious violence”? Cavanaugh menjawabnya:
“… karena kita di Barat menganggap konsep ini bisa kita gunakan. Dalam politik dalam negeri, konsep ini berguna untuk membungkam wakil-wakil agama di tengah-tengah public sphere. Didongengkan berkali-kali bahwa negara liberal telah belajar menjinakkan perpecahan berbahaya karena persaingan agama dengan mereduksi agama hanya menjadi urusan pribadi.
Dalam politik luar negeri, kebijakan konvensional ini (yakni, agama menimbulkan tindakan kekerasan—penulis) membantu memperkokoh dan membenarkan sikap dan kebijakan terhadap dunia non-Barat, terutama kaum muslim, yang perbedaan utamanya dengan Barat ialah penolakannya yang keras untuk menjinakkan perasaan agama di tengah-tengah public sphere. ‘Kita di Barat telah lama mengambil pelajaran berharga dari peperangan agama dan telah bergerak ke arah sekularisasi. Negara-bangsa (nation-state) yang liberal pada hakikatnya adalah pencipta perdamaian.”
Sekarang kita hanyalah berusaha berbagi berkat kedamaian ini dengan dunia Islam. Sayang sekali, karena fanatismenya yang membabi-buta, kadang-kadang kita harus menyeret mereka ke dalam demokrasi liberal dengan mengebomnya.’ Dengan kata lain, mitos kekerasan agama memperkuat dikotomi yang tegas antara kekerasan mereka—yang absolutis, memecah-belah, dan irasional—dengan kekerasan kita, yang moderat, mempersatukan, dan rasional.
Jadi, pernyataan “agama menyebabkan kekerasan” bukanlah wacana ilmiah yang dapat diverifikasi. Pernyataan ini adalah wacana ideologis. Wacana ini memposisikan Barat sebagai lawan dari bukan-Barat, antara “the West and the rest,” seperti kata Samuel Huntington, antara rasionalitas dan irasionalitas, antara modernitas dan pramodernitas, antara sekular dan religius, antara perdamaian dan kekerasan.
Roxanne Euben, ketika menulis tentang fundamentalisme Islam, menegaskan perbedaan utama antara Barat dengan Islam, “If they were the voices of modernity, freedom, liberation, happiness, reason, nobility, and even natural passion, the irrational was all that came before: tyranny, servility to dogma, self-abnegation, superstition, and false religion. Thus the irrational came to mean the domination of religion in the historical period that preceded it.” (Bersambung)