Kasus yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ihwal dugaan penodaan terhadap al-Maidah 51 sesungguhnya merupakan perbedaan tafsir. Perbedaan tafsir tidak bisa dianggap sebagai penodaan agama. Perbedaan tafsir adalah sebuah kekayaan tradisi Islam. Hal serupa pernah terjadi berkenaan dengan kasus salat dua bahasa oleh Muhammad Yusman Roy di tahun 2005. Perbandingan kedua kasus yang berkenaan dengan penodaan agama akan disajikan dalam tulisan ini.
Kasus Yusman Roy terjadi di Malang, Jawa Timur, dan sempat menjadi isu nasional, meski tidak seheboh kasus yang menimpa Ahok. Yusman mengajarkan salat dengan dua bahasa. Alasannya, banyak yang tidak mengerti bahasa Arab. Jadi, selain mengucapkan bacaan dalam bahasa Arab, ia juga mengajarkan para muridnya untuk salat dengan membaca dalam bahasa Indonesia.
Ajaran Yusman ini dianggap aneh. Komisi Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) Malang mengeluarkan fatwa haram. Yusman merespons dengan menyebarkan pamflet dan kepingan CD (compact disc) yang isinya mengecam dan bahkan melaknat para ulama yang mengharamkan salat dalam dua bahasa. MUI Jawa Timur akhirnya juga mengeluarkan fatwa haram. Bahkan KH Ma’ruf Amin dari Komisi Fatwa MUI Pusat juga mengeluarkan pernyataan keharaman salat dalam dua bahasa.
Masyarakat heboh. Tindakan kekerasan mulai terjadi. Bupati bertindak cepat dengan membekukan kegiatan pondok Yusman. Polisi pun mengamankannya. Kasus ini berujung ke pengadilan. Yusman didakwa dua pasal, yaitu pasal 156 huruf a (primer) dan tindak pidana pasal 157 (1) KUHP (subsider).
Berikut isi kedua pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
Yang ada pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa
157(1)
Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum, tulisan atau lukisan yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Dalam persidangan kasus Yusman, fatwa MUI menjadi acuan jaksa. Begitu juga saksi ahli yang dihadirkan. Intinya, salat dengan dua bahasa itu tidak dibenarkan. Namun saksi ahli dari pihak Yusman mengatakan bahwa ini sebenarnya masalah khilafiyah.
Imam Abu Hanifah membenarkan salat dengan menggunakan selain bahasa Arab. Pendapat Abu Hanifah ini tidak disebutkan dalam fatwa MUI. Belakangan ketika pendapat Abu Hanifah ini dimunculkan, MUI merespons dengan mengatakan Abu Hanifah telah mencabut pendapatnya itu, seperti disebutkan dalam catatan kaki Syekh Wahbah Zuhaili di jilid 2 kitab al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (hlm 840). Bahwa Imam Abu Hanifah telah mengoreksi pendapatnya dan menyetujui pendapat 2 orang sahabat sekaligus muridnya, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad al-Syaibani. Dan fatwa inilah yang dianggap menjadi pegangan yang muktabar dalam mazhab Hanafi.
Ada sedikit “kontroversi” di sini. Imam Abu Hanifah membolehkan salat dalam bahasa Persia. Ini disebutkan dalam salah satu buku rujukan standard dalam mazhab Hanafi: kitab al-Mabsut karya Sarakhsi (wafat 483/1090).
Persoalannya kemudian ada klaim bahwa Imam Abu Hanifah telah mengubah pandangannya dengan merujuk pada opini kedua muridnya, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad. Klaim ini ditampilkan dalam salah satu kitab utama kalangan mazhab Hanafi, yaitu al-Hidayah yang ditulis oleh al-Marghinani (wafat 593/1197).
Seperti bisa kita lihat, jarak antara Sarakhsi dan al-Marghinani itu sekitar seratus tahun. Ibn Abidin, salah satu pemuka kalangan mazhab Hanafi yang wafat 1252/1836 (sekitar 800 tahun setelah Sarakhsi) juga mencantumkan klaim serupa di dalam karyanya Hasyiyah Ibn Abidin.
Dengan demikian, saya menduga kuat kalau klaim Imam Abu Hanifah telah mengubah pandangannya itu adalah klaim yang dibuat ulama mazhab hanafi periode setelah Sarakshi (pengarang al-Mabsut). Jikalau benar Abu Hanifah telah mengubah pandangannya, mengapa Sarakhsi, yang jaraknya lebih dekat dengan beliau, tidak mencantumkannya? Mengapa justru al-Marghinani yang hidup seratus tahun setelah Sarakhsi mencantumkan “riwayat” opini Imam Abu Hanifah telah berubah?
Repotnya, kita menghadapi kemusykilan untuk melacak lebih lanjut soal ini. Contohnya, kitab al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, yang ditulis oleh Imam Nawawi (wafat 676/1277), tidak mencantumkan “riwayat” telah ruju’-nya Imam Abu Hanifah sehingga Imam Nawawi (pemuka mazhab Syafi’i) masih mencantumkan (dan mengkritik) pandangan Imam Abu
Hanifah tersebut. Boleh jadi Imam Nawawi merujuk ke karya Sarakhsi, bukan ke karya al-Marghinani.
Kemusykilan lainnya adalah, kitab al-Mabsut dan al-Majmu’ sudah menjelaskan argumentasi Imam Abu Hanifah yang membolehkan salat dengan bahasa Parsi, namun al-Marghinani tidak menjelaskan alasan Imam Abu Hanifah mengubah (jika “klaim” ini benar) pandangannya. Syekh al-Marghinani patahkan semuanya hanya dengan mengklaim telah
ada riwayat” semacam itu. Bagaimana kita hendak memverifikasi informasi dari al-Marghinani ini?
Singkat cerita, masih ada beda penafsiran dan beda pendapat mengenai boleh-tidaknya melaksanakan salat dengan bahasa selain bahasa Arab.
Kembali ke kasus Yusman. Majelis Hakim ternyata menyimak dengan baik perdebatan ini. Dikarenakan masih terjadi perdebatan, meskipun MUI sudah mengeluarkan fatwa keharaman salat dengan dua bahasa, Majelis Hakim memutuskan Yusman tidak terbukti melakukan penodaan agama. Majelis Hakim membebaskan terdakwa dari dakwaan primer Pasal 156a KUHP. Namun demikian, Majelis Hakim menyatakan Yusman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menyiarkan surat atau gambar yang isinya menyatakan permusuhan, penghinaan terhadap golongan penduduk di Indonesia (Pasal 157(1)).
Yusman dihukum bukan karena pelaksanaan salat dua bahasa, tapi karena pamflet dan CD yang dia sebarkan sangat provokatif dan mencela mereka yang tidak mengerjakan salat dengan dua bahasa. Keputusan Pengadilan Negeri Malang No. 461/Pid.B/2005/PN.Kpjn, dikuatkan oleh Keputusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur No. 361/PID/2005/PT.SBY dan Keputusan Mahkamah Agung No. 75 K/Pid/2006.
Jadi, semuanya sepakat tidak terjadi penodaan agama karena masih ada perbedaan pendapat mengenai boleh atau tidaknya salat dengan dua bahasa.
Nah, bagaimana dengan kasus Ahok? Ahok menyatakan “jangan mau dibohongi pakai al-Maidah: 51”. Itu karena selama ini terjemahan yang dipakai untuk menyerang pencalonan Ahok sebagai Gubernur Jakarta berdasarkan terjemah Kementerian Agama RI yang mengartikan kata “awliya” sebagai pemimpin. Tidak diungkap oleh para pihak yang tidak menginginkan Ahok terpilih dalam Pilkada Jakarta bahwa sebenarnya ada terjemah lain. Bahkan terjemahan “pemimpin” itu merupakan terjemahan lama yang sudah direvisi oleh Kementerian Agama.
Kini terjemahan yang sah dan resmi kata “awliya” dalam QS al-Maidah ayat 51 adalah teman setia. Kesaksian Kiai Ahmad Ishomuddin sebagai saksi ahli menguatkan hal ini. Begitu juga kajian saya yang bisa disimak di sini:
http://nadirhosen.net/
Terjemahan dalam bahasa Melayu maupun bahasa Inggris dan bahasa lainnya di seluruh dunia juga tidak menerjemahkan “awliya” sebagai pemimpin. Kitab tafsir berbahasa Arab juga demikian. Umumnya ada kesamaan bahwa kata “awliya” dalam ayat di atas diberi arti dan makna sebagai “teman setia”, “penolong”, “aliansi/sekutu”, dan lainnya, tapi bukan sebagai “pemimpin”.
Masalahnya, kenapa perbedaan terjemahan dan tafsir ini tidak diungkap oleh para pihak yang menyerang Ahok? Ini sebabnya Ahok mengatakan “jangan mau dibohongi pakai al-Maidah: 51” karena penyembunyian fakta perbedaan pendapat ini bisa dianggap sebagai kebohongan publik untuk mempengaruhi orang lain agar tidak memilih Ahok.
Perbedaan pendapat baik mengenai salat dua bahasa maupun perbedaan terjemah dan tafsir al-Maidah 51 mengungkap satu hal: tidak bisa orang dihukum pidana pasal penodaan agama pada perkara yang para ulama masih berbeda pendapat. Kalau perbedaan pendapat dikenakan pasal pidana, bisa gawat kehidupan kita di masyarakat.
Misalnya, ada yang menuduh terjadi penodaan agama kepada mereka yang membaca qunut dalam salat subuh atau terhadap mereka yang mengerjakan salat tarawih 23 rakaat. Kacau, kan?
Lalu, bagaimana dengan Pasal 157(1) KUHP? Bisakah dikenakan kepada Ahok?
Perbedaannya dengan kasus Yusman, Ahok tidak menyebarkan pandangannya itu ke mana-mana. Sebagaimana telah dimaklumi bersama, justru pernyataan Ahok menjadi heboh karena ulah Buni Yani. Jadi, bukan Ahok yang meresahkan masyarakat, tapi justru postingan videonya di akun Facebook Buni Yani yang membuat gaduh dan ricuh. Sebelum ada postingan Buni Yani, tidak ada kehebohan terhadap video lengkap Ahok. Ini berbeda dengan Yusman yang menyebarkan CD dan pamflet ke mana-mana secara provokatif sehingga meresahkan masyarakat.
Jadi, kesimpulannya, menurut saya, Pasal 156a dan 157(1) KUHP tidak bisa dipakai untuk menghukum Ahok. Ahok harus dinyatakan bebas demi hukum.
Baca juga: