Saya akan mulai catatan ini dengan mengatakan sesuatu yang sudah jelas. Materi ceramah dr. Zakir Naik, sebagaimana umumnya para da’i, tidak didasarkan pada hasil studi yang mendalam. Naik sendiri bukan lulusan madrasah dan tidak belajar disiplin keilmuan Islam tradisional.
Yang berbeda dari umumnya para da’i ialah ceramah Naik tidak semata mengulang-ulang soal keimanan dan ketakwaan. Dia bermaksud memperlihatkan superioritas Islam dengan dua sasaran sekaligus: untuk mencegah kaum Muslim pindah agama dan menarik non-Muslim masuk Islam.
Dalam konteks India (dan, mungkin, negara-negara lain di mana kaum Muslim sebagai minoritas), dakwah model Naik itu cukup atraktif. Terbukti, dalam 20 tahun terakhir, dia telah menyampaikan lebih dari 2.000 ceramah umum di lebih dari 30 negara di dunia. Sebagian ceramah Naik dapat diakses di Youtube, tapi juga tersedia dalam versi cetak, berupa buku-buku saku.
Karena menekankan “superioritas Islam”, materi-materi ceramah Naik kerap bersentuhan dengan hal-hal di luar Islam dan dunia Muslim, baik terkait agama lain atau dunia lain terutama Barat. Tulisan ini akan mendiskusikan beberapa pandangannya tentang agama lain, dan akan segera tampak betapa pengetahuannya tentang isu-isu tersebut sangat dangkal (superficial).
Ahli Perbandingan Agama?
Naik memperkenalkan atau diperkenalkan sebagai ahli perbandingan agama yang dianggap berhasil membongkar “kesalahan” agama lain. Dalam berbagai ceramahnya, dia bukan hanya mengutip secara panjang lebar ayat-ayat dari al-Qur’an dan hadis, tapi juga dari Alkitab, Veda, Bhagavad Gita, Upanishad, dan Purana. Hal itu berarti, perhatian Naik bukan hanya tertuju pada kalangan Kristen, melainkan juga Hindu.
Perlu segera ditambahkan, barangkali menyadari situasi di India sebagai negara mayoritas Hindu dengan sentimen anti-Islam yang meningkat, sikapnya terhadap agama Hindu cukup lunak. Tentu saja, agama Hindu merupakan “saingan” utama yang ada di pikirannya dan dia ingin menggiring umat Hindu menerima Islam. Tapi, di tengah militansi Hindu, dia memilih sikap yang tidak terlalu konfrontatif. Barangkali dia belajar dari kasus yang menimpa gurunya, Ahmed Deedat, yang pada 1980-an menyampaikan ceramah tentang agama Hindu yang memicu ketegangan di Afrika Selatan, dan akhirnya dia dilarang masuk ke India.
Sikap Naik terhadap Kristen sangat keras. Tema ceramah yang menjadi favoritnya ialah soal ketuhanan Yesus dan ketidakotentikan Alkitab. Dia mengulang-ulang pertanyaan awam, bagaimana mungkin seorang manusia (Yesus) pada saat yang sama disebut Tuhan? Bagaimana mungkin Tuhan disebut Bapa atau Anak? Karena itu, Naik mempertanyakan jika kaum Kristiani masih bisa dikatakan menganut agama monoteis.
Tentu saja ini pertanyaan awam karena sudah dibahas panjang-lebar dalam tradisi Kristen, bahkan bisa dikatakan sebagai basis refleksi teologi Kristen. Mereka yang belajar sejarah Kristen akan tahu bahwa kaum Kristiani dalam sejarahnya yang panjang berupaya membela monoteisme yang diwarisinya dari Yahudi. Bagi kaum Kristiani, Tuhan adalah satu. Dalam frame of reference itu mereka meyakini Tuhan menjelmakan dirinya sebagai penyelamat dalam Yesus Kristus.
Naik mengajukan dua alasan kenapa kaum Kristiani “salah” dalam memahami ketuhanan Yesus. Pertama, Kitab Suci kaum Kristiani sendiri tidak pernah mengklaim Yesus sebagai Tuhan. Kata Naik, “In fact there is no a single unequivocal statement in the entire Bible where Jesus (pbuh) himself says ‘I am God’ or where he says ‘worship me’.” Kedua, konsep “satu Tuhan dalam tiga dan tiga dalam satu” dianggapnya tidak rasional atau “logically impossible.”
Sekali lagi, ini memperlihatkan kedangkalan pengetahuan Naik. Da’i yang kini tinggal di Malaysia itu tidak bisa membedakan antara konten sebuah dokrin dan bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan sebuah doktrin. Memang, kata “Trinitas” atau pengakuan Yesus sebagai Tuhan tidak ada dalam Alkitab. Namun, pesan ketuhanan Yesus jelas dapat ditemukan di dalamnya. Lihat, misalnya, dalam Injil Yohanes 10:30 Yesus berkata “Aku dan Bapaku adalah satu” atau Yohanes 14 menyebutkan “Aku dalam Bapaku.”
Bagi Kristen awal, ayat-ayat di atas dan banyak lainnya membenarkan pengalaman spiritual mereka tentang keterlibatan Tuhan dalam menyelamatkan manusia. Dengan kata lain, Trinitas terkait sejarah keselamatan. Jika demikian yang mereka pahami, lalu apa urusannya Naik menyalahkan keimanan mereka dan bermaksud mendiktekan pemahamannya tentang Yesus dalam Alkitab? Itu keyakinan teologis Kristen, yang tak akan goyah karena seorang Naik.
Alasan yang kedua lebih konyol lagi karena semata didasarkan pada rumus matematika yang sangat dasar. Ulama-ulama Kristen sejak awal menyadari, kategori-kategori matematis tak akan mampu menyingkap realitas Tuhan. Karena itu, Trinitas itu dianggap misteri. Jadi, pernyataan Naik bahwa Trinitas tidak rasional merupakan kritik yang salah alamat.
Al-Qur’an dan Sains
Tema favorit lain adalah soal ketidakotentikan Alkitab. Biasanya, dia membeberkan ayat-ayat dalam Alkitab yang dianggapnya saling bertentangan satu sama lain atau tidak sesuai dengan sejarah atau sains. Ini tema klasik tentang tahrif (falsifikasi) yang diulang-ulang, dan kembali ditonjolkan dalam debat-debat yang dilakukan oleh Rahmatullah Kairanawi di India dan Deedat di Afrika Selatan. Saya juga tak perlu mengulangnya di sini.
Karena tujuan Naik adalah untuk memperlihatkan superioritas Islam, maka “problem Alkitab” itu dikontraskan dengan al-Qur’an. Misalnya, dia katakan bahwa jika Alkitab penuh dengan kontradiksi, tidak demikian halnya dengan al-Qur’an. Kemudian dia mengutip ayat al-Qur’an, misalnya surat al-Nisa (4) ayat 82: “Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari Allah, maka mereka akan temukan pertentangan yang banyak di dalamnya.”
Sebenarnya ini cara berargumen yang kacau. Untuk menilai konsistensi Kitab Suci agama lain, Naik menelisik pertentangan ayat-ayat di dalamnya. Tapi, terkait Kitab Sucinya sendiri, pembuktiannya diambil dari pernyataan Kitab Suci itu sendiri, bukan dari penelitian atas konsistensi sikap atau posisi al-Qur’an dalam kasus tertentu. Faktanya, sebagaimana Kitab Suci lain, al-Qur’an juga mengandung ayat-ayat yang bertentangan satu sama lain, sehingga dikembangkan konsep naskh (abrogasi).
Selain konsep abrogasi, para ulama Muslim mencoba menyelesaikan pertentangan (ta’arud) tersebut dengan melihat konteks turunnya ayat, yang dikenal dengan asbab al-nuzul. Di sini bukan tempatnya untuk mendiskusikan dua strategi yang dikembangkan oleh ulama untuk mengatasi inkonsistensi dalam al-Qur’an.
Yang lebih menarik sebenarnya adalah ceramah Naik soal kesesuaian al-Qur’an dengan sains. Lagi-lagi, tema ini sudah dibahas oleh banyak orang termasuk, yang paling terkenal, Dr. Maurice Bucaille, berjudul Le Bible, le Coran et la Science (1976). Dalam ceramahnya “Qur’an and Modern Science: Conflict or Conciliation” (1996), yang kemudian dibukukan berjudul The Qur’an and Science: Compatible or Incompatible?, Naik mengkonstatir bahwa al-Qur’an bukan hanya sesuai dengan sains tapi juga telah mengantisipasi penemuan-penemuan saintifik mutakhir.
Namun demikian, dia sama sekali tidak menyinggung kenyataan bahwa banyak penemuan saintifik itu dilakukan oleh sarjana-sarjana non-Muslim, bukan mereka yang mengimani al-Qur’an. Tujuannya semata untuk menunjukkan bahwa keilahian asal-usul al-Qur’an dapat dibuktikan (ini menurutnya!) oleh penemuan-penemuan saintifik. Dia memulai ceramahnya dengan menyebut keterbatasan Kitab Suci agama lain dan membandingkannya dengan universalitas al-Qur’an.
Naik tidak menyadari bahwa sebenarnya cukup berbahaya membuktikan keilahian asal-muasal al-Qur’an dengan kesesuaiannya dengan sains. Sebab, sains itu akan terus berkembang, bahkan kerapkali memunculkan kesimpulan saintifik yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Tapi, Naik tidak peduli dengan hal seperti ini karena tujuan apologetiknya untuk menunjukkan al-Qur’an itu sesuai dengan sains, sementara Alkitab penuh dengan ketidakakuratan secara saintifik.
Kita bisa bertanya, sejak kapan al-Qur’an menjadi buku sains? Berbagai contoh “saintifik” al-Qur’an yang dikemukakan Naik sebenarnya bersifat sangat elementer. Misalnya, istilah-istilah yang digunakan al-Qur’an terkait penciptaan manusia, seperti nutfah, ‘alaqah, mudghah. Atau, soal pertumbuhan yang digambarkan al-Qur’an secara “saintifik”, misalnya turun hujan dan baru muncul tumbuhan. Naik kemudian berkesimpulan bahwa tidak ada pertentangan al-Qur’an dengan sains.
Terhadap contoh-contoh itu, kita katakan betul. Tapi, bukankah istilah dan data “saintifik” tersebut sangat elementer? Kita tak perlu wahyu kalau hanya untuk mengetahui pengetahuan umum tersebut. Naik juga perlu menjawab pertanyaan ini: Bagaimana dengan deskripsi mukjizat yang dibenarkan oleh al-Qur’an? Bukankah semua itu tidak saintifik? Saya kira, Naik akan menjawab: Wa Allahu a’lam bi al-shawab.