Alkisah, bocah dari kampung bernama Ali Audah itu diberi uang oleh ummi-nya untuk membeli baju lantaran bajunya sudah kumal dan sobek. Sampai di pasar, ia justru membeli buku. Itu dikisahkan sendiri oleh Ali Audah dalam wawancaranya di majalah Berita Buku yang terbit Januari, 1996.
Ali Audah memang sangat cinta buku: membaca, menulis. Sesuatu yang menjadi karakternya hingga tua. Di waktu tua, istrinya pernah “mengeluh”: “Kalau mau beli baju mesti berdebat dulu, tapi kalau beli buku nggak bilang-bilang.” Karenanya, kita sulit mengkategorikannya kecuali sebagai “kutu buku”. Itu saja!
Dari “kutu buku” ia jadi sastrawan, penerjemah, budayawan, seniman, akademisi (pembantu rektor Universitas Ibn Khaldun, Bogor, meski ia sendiri tak lulus SD), dll. Ilmunya murni otodidak. Karenanya, metode, pemikiran, dan karyanya, tentang penerjemahan atau sastra, sungguh orisinal.
Salah satu karya monumental Ali Audah adalah terjemahannya atas karya sejarah Nabi dan Khulafa’ ar-Rasyidin yang ditulis Muhammad Husain Haekal yang dilanjutkan dengan penulisannya sendiri atas sejarah Ali bin Abi Talib lantaran Haekal keburu wafat sebelum menulis sejarah Ali.
Dalam konteks penulisan sejarah Islam, Ali Audah mendorong penulisan sejarah Nabi, Khulafa’ ar-Rasyidin, dan sejarah Islam lainnya tak melulu berbasis dan berorientasi pada tema-tema perang dan politik sebagaimana menjadi kecenderungan umum. Ia justru mengemukakan aspek-aspek humaniora atau antropologi budaya. Dan, untuk itu, menurutnya tak kurang rujukan. Sejak abad ke-8 sampai ke-14 telah banyak yang menulis dengan kecenderungan semacam itu dan diperjelas oleh penulis-penulis kontemporer seperti Jurji Zaidan, Ahmad Amin, Husain Mu’nis, hingga Ameer Ali melalui Short History of the Saracens.
Menurut Ali Audah, pada masa permulaan Islam, berbagai gangguan kaum musyrik Quraisy dan sekutu-sekutunya, ditambah juga Romawi memang gencar sehingga kisahnya cukup menyita sejarah. Namun, ada sisi lain dan justru itu yang utama sebenarnya jika merujuk pada visi Nabi sebagai teladan dan penyempurna akhlak, yakni tentang aspek-aspek humaniora tersebut.
Bahkan, jika dikalkulasi, Muhammad sebagai rasul adalah 23 tahun atau 8.000-an hari. Jumlah hari berperangnya hanya 80-an hari. Artinya, secara total, hari peperangan Nabi hanya 1 persen dari total hidupnya sebagai rasul. Namun, entah kenapa sejarah Nabi diisi dengan kisah perang demi perang yang hanya 1 persen itu: Nabi dijelaskan di buku-buku sejarah dalam bingkai perang. Kenapa bukan justru kita penuhi lembaran-lembaran sejarah Nabi dengan yang 99 persen tentang akhlak dan aspek-aspek humaniora tersebut?
Begitu pula dalam konteks penulisan sejarah Ali bin Abi Talib. Menurut Ali Audah, karena sebagian besar halaman penulisan sejarahnya habis untuk menampilkan soal konflik dan perangnya yang justru kerap menjadi biang sentimen dan perpecahan umat lantaran beberapa terjadi dalam internal umat sesama Islam, kita tak mendapat gambaran yang jelas, misalnya, tentang mula lahirnya ilmu nahwu-sharaf (kaidah tata Bahasa Arab) yang terkait dengan sosok Ali.
Menurut saya, kritik Ali Audah itu, yang saya baca dalam pengantarnya atas karyanya tentang biografi Ali bin Abi Talib terbitan 2003 (bisa jadi kritik itu jauh lebih lama telah disampaikannya), kian semakin relevan di tengah kerapnya Islam disalahtafsirkan dengan narasi kebencian dan peperangan ala kalangan ekstremis.
Keteladanan lain yang sangat relevan dari Ali Audah untuk konteks kita saat ini adalah objektivitas dan keterbukaannya pada berbagai sumber. Misalnya, dalam menulis biografi Ali bin Abi Talib, ia membaca, merujuk, dan mengutip sumber-sumber sejarah Ali dari ulama dan sejarawan Syiah seperti Sayyid Hadi al-Mudarrasi dan Jawad Mugniyah.
Yang prinsip dan terpenting baginya, bersihnya fakta dari fiksi, baik yang berkecenderungan melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangi karena tendensi apa pun. Sembari ia mengakui bahwa kecenderungan itu banyak ditemui dalam buku-buku sejarah Islam yang biasanya muncul lantaran fanatisme atau bisa jadi sentimen.
Mengenai “nasib” karya terjemahan di Indonesia yang sering diposisikan sebagai karya “kelas dua” juga tak luput dari kritik seorang Ali Audah yang menurutnya salah satu output-nya berupa penolakan arogan terhadap semua karya terjemahan (padahal sangat baik kualitas terjemahannya) hingga keengganan menyebut karya terjemahan (memilih mencantumkan karya dalam bahasa aslinya dalam referensi) padahal yang dibaca dan dikutip adalah dari terjemahannya.
Sebab, katanya dalam wawancara, ”karya terjemahan yang baik sesungguhnya juga sebuah karya kreatif, tidak kurang berharganya dibanding karya asli.” Kadang-kadang malah bisa jadi karya terjemahan lebih dikenal orang ketimbang karya aslinya. Seperti di Mesir, misalnya, masyarakat di sana lebih mengenal Habib Ibrahim sebagai “pengarang” Al-Buasa. Padahal itu terjemahan dari Les Miserables (1826) karya pengarang Prancis terkenal, Victor Hugo (1802-1885).
Begitu terkenalnya Habib Ibrahim di Mesir sebagai “pengarang” Al-Buasa, hingga orang di sana tidak mengenal siapa itu Victor Hugo. Bahkan, lebih jauh, sebuah peradaban dibangun salah satunya dari pilar berupa penerjemahan karya-karya asing.
Peradaban filsafat dan kalam (teologi) Islam, misalnya, dimulai dan dibangun di atas upaya penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke bahasa Arab oleh Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah) melalui pembentukan lembaga khusus yang disebut Bait al-Hikmah di mana Al-Kindi (yang belakangan dikenal sebagai filosof Islam pertama) salah satu penerjemah utamanya.
Buruknya kualitas penerjemahan buku asing ke bahasa Indonesia, menurutnya, juga lantaran rendahnya apresiasi terhadap karya terjemahan, termasuk di tingkat citra dengan menggolongkannya sebagai karya kelas dua. Karena itu, secara teknis misalnya, Ali Audah mendorong honor penerjemahan disamakan persis seperti penulisan untuk menunjang upaya penerjemahan buku-buku asing yang menurut data UNESCO pada 1970, sebagaimana diungkapnya, Indonesia menempati peringkat kedua dari bawah.
Untuk Asia, Jepang berada di peringkat paling atas saat itu, di mana menurut majalah Pasific Friends, Jepang disebut “kerajaan terjemahan” (traslation empire) karena hampir semua buku yang terbit di dunia, bahkan belum beredar, sudah diterjemahkan di Jepang. Ia juga mendorong IAIN pada era 1990-an saat itu untuk membentuk tim guna membangun “kerajaan terjemahan” karya-karya bahasa Arab agar menghasilkan terjemahan yang baik, yang ia sifati dengan tak harfiah namun tetap menjaga gaya penulis aslinya.
Minimnya apresiasi pada karya terjemahan juga disebabkan oleh buruknya kualitas karya terjemahan lantaran ia memang tak dikerjakan secara sungguh-sungguh dan profesional, bahkan kata Ali Audah di saat itu 95 persen tanpa izin dari penulis aslinya. Ia hanya menjadi semacam “proyek” penerbit. Jauh berbeda dengan Ali Audah yang bahkan tak mau menerjemahkan sebuah karya kecuali hatinya terdorong untuk itu.
Akhirnya, tulis Pramoedya Ananta Toer, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Dan Ali Audah, kita saksikan ia menulis dan terus menulis.
Ia menulis sejak Indonesia diduduki Jepang. Tahun 1940-an, tulisannya sudah dimuat di majalah Sastrawan, Malang. Ia lanjut menulis di masa Orde Lama, lalu Orde Baru yang sangat lama, hingga kini Reformasi. Hanya maut yang menghentikannya.
Karenanya, meski berduka, kita tak risau ia wafat, karena kita tahu ia akan abadi di tengah peradaban kita melalui tulisan-tulisannya. Ia menulis sejarah dan akan ditulis dalam sejarah. Lahul Fatehah!