Meski ditolak banyak pihak, kehadiran kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia tak bisa diingkari. Yang terbaru kasus penangkapan Saiful Jamil, penyanyi dangdut yang dituduh berbuat cabul kepada remaja laki-laki sesama jenis; kasus Indra Bekti yang juga mengalami tuduhan yang sama; dugaan masyarakat tentang kisah cinta terlarang di balik kematian Mirna, dan lan sebagainya. Ini membuktikan LGBT diam-diam telah hadir di seputar kita.
Di dunia entertainment, kehadiran kelompok LGBT bahkan sudah sejak lama tak lagi ditabukan. Sebagian pembawa acara, selebriti, atau artis, misalnya, juga sudah diketahui publik termasuk kelompok ini. Tidak sedikit warga masyarakat kita kini juga tidak lagi malu-malu mengakui dirinya memiliki perbedaan atau kelainan bila dibandingkan teman-temannya.
Sebagian warga masyarakat dengan terus-terang mengaku bahwa dirinya lesbian, gay, dan sejenisnya. Di berbagai kota, bahkan ada sejumlah mal atau tempat tertentu yang dikenal sebagai tempat mangkal kelompok LGBT.
Berbeda dengan sejumlah negara maju yang masyarakat dan negaranya sudah menerima LGBT sebagai bagian dari warga masyarakat yang punya hak dan kewajiban yang sama dengan lainnya, kelompok LGBT di Tanah Air masih dipandang sebagai kelompok liyan (the other) yang dipandang sinis, dikucilkan, dan bahkan diharamkan. Ketika gerakan kelompok LGBT mulai menuntut pengakuan yang lebih terbuka, berbagai reaksi penolakan pun muncul ke permukaan.
Masyarakat yang semula diam dan tak mempersoalkan kehadiran LGBT, kini satu per satu mulai angkat bicara dan menyatakan sikap menolak atau minimal resah dengan aksi-aksi sebagian anggota LGBT yang dinilai terlalu terbuka.
Di era perkembangan teknologi informasi, internet, dan media sosial yang makin meluas, peluang kelompok LGBT untuk memperlihatkan identitasnya memang menjadi lebih terbuka. Di ruang publik yang tidak dibatasi asal-muasal dan latar belakang orang per orang, kelompok LGBT bisa dikatakan menemukan habitat yang tepat untuk mengembangkan eksistensinya.
Salah satu perusahaan pengirim aplikasi pesan, LINE, misalnya, belum lama ini mendapat kecaman dan teguran dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Perusahaan juga diminta menghapus stiker bertema LGBT di aplikasinya. Stiker berjudul Love is Love yang menampilkan gambar dua pria saling bemesraan itu mendapat kecaman dari para pengguna LINE, karena dinilai tidak sesuai dengan moralitas dan budaya lokal.
Ketika kehadiran LGBT masih diam-diam, tidak heboh, dan tidak diikuti oleh gerakan yang menuntut perlakuan yang sama seperti terjadi di sejumlah negara maju, reaksi masyarakat sebetulnya biasa-biasa saja. Tetapi, lain soal ketika kehadiran kelompok LGBT dinilai masyarakat sudah mulai menembus batas-batas toleransi, apalagi ketika mereka dituding hendak meminta perlakuan yang sama seperti dirasakan kelompok LGBT di negara maju yang secara legal memang diakui.
Seperti diketahui, di sejumlah negara, antara lain di Amerika Serikat dan Eropa, pasangan LGBT telah diperkenankan menikah sesama jenis dan diakui sah dari sisi hukum. Di Indonesia yang memiliki nilai dan norma tersendiri sebagai landasan moral dalam berkehidupan, berbangsa dan bernegara, tuntutan kelompok LGBT yang meminta perlakuan yang sama seperti terjadi di sejumlah negara maju tentu sulit dipenuhi. Banyak pihak dan banyak pertimbangan yang membuat pemerintah maupun masyarakat luas menolak jika ada kelompok LGBT yang menuntut pengakuan yang sama seperti rekan mereka di negara lain.
Bagi kelompok LGBT dan para pembelanya, selama ini prinsip mendasar yang mereka yakini dan perjuangkan adalah pengakuan terhadap multiplisitas identitas yang mengimplikasikan antiidentitas atau bahkan non-identitas (Ritzer, 2014). Para pendukung LGBT biasanya menentang pengetahuan normatif dan identitas, dan mendefinisikan dirinya sebagai tak dapat didefinisikan.
Artinya, kelompok LGBT umumnya memang tidak mementingkan identitas. Sebab, dengan identitas justru yang terjadi biasanya adalah menempatkan kelompok lain yang tidak disukai seperti mereka sebagai the other, dan menganggap identitas kelompok yang menghakimi mereka yang secara normatif dibenarkan. Pendeknya, diterima apa adanya, dan tidak memaksa mereka mengubah identitasnya adalah salah satu prinsip yang seringkali diperjuangkan kelompok LGBT.
Korban atau Terdakwa
Majelis Ulama Indonesia dan sejumlah pemimpin organisasi masyarakat Islam dengan berbagai pertimbangan telah menyatakan sikap menolak keberadaan LGBT yang belakangan ini menyita perhatian. Tetapi, yang melegakan adalah, meski sepakat menyatakan LGBT bertentangan dengan ajaran agama dan dinilai berbahaya bagi kesehatan karena menjadi sumber penyakit menular (seperti HIV/AIDS), MUI ternyata juga menyarankan adanya rehabilitasi bagi setiap orang dengan perilaku seks menyimpang agar dapat normal kembali.
Menyikapi keberadaan kelompok LGBT seyogianya memang tidak reaktif, apalagi bersikap represif. Tak ada seorang pun yang dalam hidupnya berkeinginan menjadi LGBT. Maka, ketika tiba-tiba mereka mulai merasakan kelainan dan lalu mengembangkan perilaku dan gaya hidup yang menjadi bagian dari kehidupan LGBT, akan jauh lebih bijak jika kita memahami mereka sebagai korban situasi, dan tidak memperlakukan mereka sebagai terdakwa yang disalah-salahkan atau dikucilkan.
Wakil Presiden Jusuf Kalla telah menyatakan bahwa kehadiran dan menjadi LGBT adalah persoalan pribadi masing-masing orang. Kehadiran LGBT tidak menjadi masalah asalkan tidak membangun gerakan dan mempromosikan gaya hidup dan perilaku mereka secara luas ke masyarakat. Sebelum ditemukan formula penanganan dan sikap yang benar-benar tepat, daripada bersikeras menolak dan mengharamkan LGBT, akan jauh lebih bijak jika negara, pemuka agama, para pemimpin dan masyarakat mencoba berempati dan memperlakukan kelompok LGBT sebagai korban yang perlu ditolong.