Jumat, Mei 10, 2024

AADC 2 dan Antusiasme Penggemar Budaya Populer

Rahma Sugihartati
Rahma Sugihartati
Pengajar di Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan FISIP Universitas Airlangga, Surabaya. Penulis buku "Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial Kontemporer" (2014)
aadc2-komplit
Para pemain, sutradara, dan produser film Ada Apa dengan Cinta (AADC) 2 di Medan, Sumatera Utara, Minggu (8/5), dalam rangkaian road show promosi film AADC 2. ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi

Film Ada Apa dengan Cinta (AADC) 2 yang kini tengah diputar di berbagai gedung bioskop di kota-kota besar di Indonesia, dan bahkan di beberapa negara lain seperti Malaysia dan Brunei Darussalam, tampaknya adalah puncak yang menandai kembalinya supremasi film nasional. Hanya dalam dua pekan, AADC 2 bukan saja mampu menyedot minat penonton hingga 3 juta lebih, tetapi juga terbukti bisa bersaing dengan film-film berkelas produksi Hollywood yang populer. Apa rahasia di balik kesuksesan AADC 2?

Sebagai film sekuel dari film AADC yang populer 14 tahun silam, nilai lebih AADC 2 adalah pada tawaran “kenangan” dan jawaban atas tanda tanya berkecamuk di benak para penggemar tentang akhir dari hubungan dua tokoh idolanya: Cinta (Dian Sastro) dan Rangga (Nicholas Saputra).

Tetapi, lebih dari sekadar rasa penasaran, yang membuat terutama anak-anak muda rela antri tiket dan menonton AADC 2 sesungguhnya adalah proses pengemasan dan kepiawaian sang sutradara dan produsernya untuk menjadikan film ini sebagai salah satu pop culture (budaya populer) yang memiliki dua muatan pokok: menghibur dan menawarkan mimpi kepada para penggemar.

Menurut Joli Jensen (2001), penggemar budaya populer muncul sebagai akibat dari adanya selebriti yang menjadi pujaan: penggemar didefinisikan sebagai respons terhadap sistem bintang. Artinya, pasivitas yang melekat pada penggemar terbawa ke dalam sistem selebriti modern yang berkembang dan dikembangkan melalui media massa, membuat penggemar seolah tenggelam dalam social opium.

Penggemar yang sudah tertawan hatinya pada produk budaya populer tertentu seperti film AADC, secara garis besar yang biasanya terjadi adalah hal-hal berikut ini. Pertama, munculnya perilaku keranjingan di kalangan penggemar. Berbeda dengan gaya biasa (fad), keranjingan dapat dan sering kali justru menjadi obsesi bagi para pelakunya. Berbagai kajian telah membuktikan bahwa kehadiran produk-produk industri budaya dan strategi pemasaran yang dikembangkan senantiasa mendorong munculnya banyak ragam gaya dan perilaku keranjingan.

Perilaku keranjingan dan histeria dapat memberikan dan berperan meredakan ketegangan, tetapi di sisi yang lain bukan tidak mungkin memberikan kepuasan. Seorang remaja yang terobsesi atau tergila-gila pada produk budaya populer tertentu, semisal film AADC, jangan heran jika ia seolah-olah terperangkap dalam sikap dan perilaku adiktif yang menjejasnya tanpa mereka sadari. Perilaku keranjingan yang ditandai dengan konsumsi yang berlebihan, terus-menerus dan bahkan kecanduan, sesungguhnya adalah penopang atau penyokong utama kelangsungan pasar bagi produk-produk budaya populer.

Seorang remaja urban yang dalam hitungan hari menonton AADC hingga 2 atau 3 kali, bagi sebagian orang mungkin terkesan tidak masuk akal dan boros. Tetapi, bagi kekuatan industri budaya, apa yang dilakukan remaja urban itu adalah ”cetak biru” perilaku yang memang mereka terus kembangkan, baik lewat iklan maupun hegemoni budaya konsumsi, yang sengaja mereka bangun melalui media massa.

Kedua, konsekuensi lain yang tak terhindari akibat makin maraknya berbagai produk industri budaya dan iklan-iklan yang ditawarkan adalah munculnya histeria massa bersamaan dengan cara remaja urban mengembangkan dan membangunkan identitas sosialnya. Histeria massa adalah anggapan atau perilaku irasional dan tidak wajar, yang menyebar ke kelompok masyarakat tertentu.

Sedangkan identitas sosial adalah status dan sekaligus cara remaja urban untuk memperlihatkan bagaimana eksistensi mereka di tengah perubahan sosial yang berlangsung dan di hadapan komunitas lainnya.

Bagi remaja urban, ketika mereka menyukai sebuah jenis musik atau film tertentu dan menjadi penggemar yang fanatik, hingga sesekali terjebak dalam histeria ketika berhadapan dengan idolanya, hal itu bukanlah sekadar sebagai bentuk perilaku yang irasional dan emosional, melainkan cara remaja urban untuk “mengada” (way of being) atau “menjadi ada” di dunia.

Seperti dikatakan John Storey (2007), selera dan konsumsi film atau musik tertentu pada dasarnya digunakan sebagai tanda yang dengannya kaum muda menilai dan dinilai oleh orang lain. Menjadi bagian dari subkultur anak muda berarti memperlihatkan selera tertentu dan mengklaim bahwa budaya populer yang mereka konsumsi adalah tindakan kreasi komunal. Dengan menggagumi dan tergila-gila pada budaya populer tertentu, berikut artis idolanya, si remaja urban itu seolah-olah akan merasa menjadi bagian dari komunitas sejenis, dan hal itu dianggap sebagai cerminan identitas sosialnya.

Apa yang dipaparkan di atas memperlihatkan pada kita bahwa yang disebut penggemar di era postmodern seperti sekarang ini sesungguhnya adalah pangsa pasar yang potensial bagi berbagai produk industri budaya, sekaligus aktor: konsumen dan produsen dari berbagai produk dan aktivitas yang bergaya.

Karakteristik penggemar yang acap kali radikal secara ekonomi bukan saja melahirkan kegandrungan yang berlebihan kepada ikon-ikon dari dunia selebriti, tetapi juga perilaku keranjingan dalam konsumsi yang tak jarang irasional.

Tawaran dan berbagai daya tarik yang dikemas sedemikian rupa oleh kekuatan kapitalisme di balik industri budaya telah menciptakan dunia palsu. Yakni, sebuah dunia simulakra yang acap membuat anak-anak muda terperangkap dalam godaan perilaku konsumer yang adiktif dan sinergistik.

Yang disebut budaya populer memang sering menjadi sumber alienasi dan tanpa disadari terinternalisasi menjadi kesadaran palsu yang membelenggu hampir seluruh tindakan perilaku remaja urban. Di mata penggemar, ada kecenderungan yang namanya budaya populer tampaknya tidak lagi didefinisikan berdasarkan kegunaannya, namun berdasarkan atas apa yang mereka maknai.

Filsuf Herbert Marcuse (1968) pernah menyatakan, yang disebut budaya populer ibaratnya adalah narkotika jangka pendek. Meski dari waktu ke waktu kelangsungan berbagai produk industri budaya yang dipasarkan acap kali hanya sesaat layaknya mode, bagi para penggemar yang mereka konsumsi dan lakukan berkaitan dengan tawaran-tawaran yang diciptakan kekuatan industri budaya menjadi pengalih perhatian yang manjur dari berbagai masalah riil yang mereka hadapi dan mengidealisasikan masa kini dengan menjadikan pengalaman representasi yang menyenangkan.

Di mata para pemilik modal, penggemar bukanlah kelompok orang yang dinilai patologis, menyimpang dan liyan, melainkan sekelompok orang yang dilihat memiliki ikatan dan mengembangkan perilaku yang sama, yakni menjadi konsumer yang radikal, senantiasa berorientasi kepada idola, dan sesekali memang tidak terhindarkan bersifat emosional.

Rahma Sugihartati
Rahma Sugihartati
Pengajar di Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan FISIP Universitas Airlangga, Surabaya. Penulis buku "Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial Kontemporer" (2014)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.