Jumat, April 26, 2024

Gonjang-Ganjing Setrum 35 Ribu MW (2 – Habis)

Fabby Tumiwa
Fabby Tumiwa
Penulis adalah Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform dan pakar energi di Thamrin School on Climate Change and Sustainability, Jakarta
Pekerja memperbaiki jaringan listrik yang kelebihan beban di kawasan pemukiman di jalan Diponegoro, Batu, Jawa Timur, Selasa (8/9). Perbaikan jaringan dilakukan dengan menambah jalur listrik baru untuk memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga meningkat di kawasan tersebut. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/aww/15.
Dua pekerja memperbaiki jaringan listrik yang kelebihan beban di kawasan pemukiman di Jalan Diponegoro, Batu, Jawa Timur, Selasa (8/9). Perbaikan jaringan dilakukan dengan menambah jalur listrik baru untuk memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga yang meningkat di kawasan tersebut. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/aww/15.

Keberadaan regulasi yang tumpang tindih membuat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pembangkit panas bumi, hidro atau angin–yang diharapkan dapat menyumbang terhadap 25% atau 8,7 ribu MW dari sumber energi terbarukan kepada 35 ribu MW–bisa jadi terhambat. Demikian juga untuk pembangunan transmisi yang menghubungkan berbagai pusat beban dengan pasokan listrik.

Tantangan pendanaan untuk konstruksi sebagaimana yang ada pada FTP-1 dan FTP-2 juga bakal ditemui. Kebutuhan biaya untuk pembangkitan, transmisi, dan distribusi diperkirakan mencapai US$ 110 miliar. Jika PLN mendapatkan porsi membangun 10 GW pembangkit, maka investasi yang diperlukan adalah US$ 16-20 miliar atau sekitar Rp 44-52 triliun per tahun dan Rp 70 triliun per tahun untuk membiayai transmisi, distribusi, dan gardu induk.

Tantangan pendanaan yang lebih besar justru ada di investor swasta (Independent Power Producer/IPP) yang harus mencari pendanaan hingga US$ 50-55 miliar untuk membangun 25-30 ribu MW. Dalam satu dekade terakhir kinerja investor IPP tidak terlalu kinclong. Sejak 2008 – 2014, mereka hanya mampu membangun 3 ribu MW atau sekitar 20% dari tambahan kapasitas terpasang pada periode tersebut.

Untuk sampai pada 25 ribu MW investasi IPP harus naik 12 kali lipat dari periode waktu sebelumnya. Inilah yang perlu diantisipasi pemerintah, karena justru selama ini proyek IPP tidak mudah mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan asing dan domestik.

Usulan Solusi
Untuk mengatasi berbagai tantangan di atas, ada sejumlah hal yang dapat dilakukan. Pertama, mengurangi ketidakpastian atas rencana program 35 ribu MW. Pemerintah perlu mengeluarkan sebuah payung hukum untuk menjadikan program 35 ribu sebagai program nasional dan memberikan penugasan kepada PLN. Hal ini sebenarnya juga dilakukan dengan program FTP-1 dan FTP-2.

Payung hukum ini perlu juga mengatur tentang proses evaluasi terhadap target dan rentang waktu sehingga dinamika dari kondisi pertumbuhan permintaan dapat diantisipasi. Payung hukum ini juga perlu untuk memperkuat koordinasi antarkementerian dan lembaga dalam mengatasi hambatan dan sumbatan untuk eksekusi pembangunan pembangkit, transmisi, dan distribusi serta menghindari polemik tentang program di kemudian hari.

Kedua, penyederhanaan perizinan pembangunan pembangkit tenaga listrik tanpa mengurangi kehati-hatian, membebankan risiko kepada pemerintah dan PLN, serta mengorbankan integritas lingkungan dan masyarakat yang terkena dampak. Sejumlah izin seperti izin lokasi, izin usaha, dan perizinan teknis operasi pembangkit listrik mestinya dapat dirampingkan sehingga memotong waktu persiapan proyek.

Identifikasi perizinan yang dapat disederhanakan dan perampingannya merupakan tugas dari Unit Pelaksana Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional (UP3KN) yang dibentuk Kemenko Perekonomian tapi di bawah kendali Kementerian ESDM.

Screen Shot 2015-09-15 at 4.26.29 PM

Ketiga, dalam hal pembiayaan proyek, prioritas saat ini adalah memperkuat pendanaan PLN. Sejauh ini pemerintah berada pada jalur yang tepat dengan menaikkan tarif listrik, yang ditambah dengan suntikan modal pemerintah sebesar Rp 5 triliun pada tahun 2015 dan rencana menambah Rp 10 triliun pada 2016. Kebijakan ini dapat memperbesar borrowing capacity PLN sehingga dapat mencari pinjaman dari institusi keuangan domestik dan luar negeri.

Meski demikian, jumlah suntikan modal tersebut belumlah cukup mengingat kebutuhan PLN untuk mencari pembiayaan eksternal dengan jumlah yang sangat besar. Ada baiknya pemerintah memperbesar suntikan modal hingga Rp 15-20 triliun untuk menaikkan kemampuan leverage PLN menggaet pinjaman.

Keempat, untuk mendukung pengembangan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan di bawah 10 MW dan panas bumi, pemerintah perlu membuat instrumen-instrumen pendukung. Untuk pembangkit energi terbarukan di bawah 10 MW, pemerintah dapat membuat sejumlah instrumen, misalnya penjaminan (guarantee) dengan menggunakan Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF).

Instrumen pendanaan yang inovatif, misalnya hibah yang dikonversi menjadi pinjaman (grant convertible to loan) untuk membuat studi kelayakan proyek-proyek energi terbarukan yang dapat memenuhi ketentuan bank (bankable). Instrumen ini masih perlu waktu untuk dibuat tetapi tetap bisa dikerjakan dalam dua tahun mendatang.

Untuk geothermal, penggunaan dana bergulir eksplorasi panas bumi senilai Rp 3 triliun lebih yang mangkrak di Pusat Investasi Pemerintah (PIP) perlu segera dioperasionalkan untuk mengurangi risiko eksplorasi panas bumi.

Kelima, kelembagaan dan kapasitas PLN perlu diperkuat. Apalagi lembaga ini bertanggung jawab melakukan pengadaan dan kontrak jual beli (power purchase agreement, PPA) dengan listrik swasta. Dalam dua tahun ini PLN diharapkan menyelesaikan PPA sebanyak 20 ribu MW. Keterlambatan PLN melakukan penyelesaian PPA akan berdampak pada ketepatan waktu pembangunan pembangkit.

Selain sumber daya manusia yang harus cakap dan berintegritas, para pegawai PLN perlu mendapatkan dukungan dalam bentuk perlindungan hukum atas persetujuan PPA yang dibuat tanpa kekhawatiran dikriminalisasi di masa depan. Pemerintah perlu merumuskan instrumen yang paling optimal untuk memberikan jaminan ini tetapi menjaga agar tidak disalahgunakan untuk praktik koruptif.

Rakyat Indonesia berharap dapat menikmati listrik dan kualitas yang baik dan harga yang terjangkau. Tugas pemerintahlah untuk memastikan harapan tersebut dapat diwujudkan. Semoga Indonesia benar-benar bisa bebas gelap di 2019.

Fabby Tumiwa
Fabby Tumiwa
Penulis adalah Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform dan pakar energi di Thamrin School on Climate Change and Sustainability, Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.