Kapitalisme welah-asih atau welfare state?
Awal Desember lalu, Mark Zuckerberg, bos Facebook, memberitahu dunia tentang Maxima, anak perempuannya yang baru lahir melalui sepucuk surat elektronik di Facebook. Surat itu berisi kebahagiaan dan rasa syukur Mark dan istrinya Priscilla Chan.
Dalam suratnya, Mark mengatakan ingin membantu generasi anaknya Max dan generasi akan datang sebuah dunia yang lebih sehat, sejahtera, dan setara.
Mark menulis “harapan kami untuk generasimu terfokus pada dua ide: memajukan potensi manusia dan mempromosikan kesetaraan.”
Surat itu ditutup Mark dengan kalimat kebapakan yang altruistik: “Max, kami mencintaimu dan memiliki tanggung jawab besar mewariskan dunia menjadi tempat yang lebih baik untukmu dan seluruh anak lain.”
Dia dan istrinya berkomitmen membuat Chan Zuckerberg Initiative, sebuah perusahaan LLC (limited liability corporation) untuk tujuan sosial-filantropi dan akan memberikan 99 persen, sekitar US$ 45 miliar, dari saham mereka di Facebook secara bertahap sepanjang hidup mereka.
1,5 juta lebih pembaca memberikan tanda “like” pada surat Mark. Sekitar 270 ribu pengguna Facebook menyebarkan surat itu. Komentator umumnya memuji tindakan Mark dan istrinya sebagai komitmen filantropi yang hebat.
“Sebuah tindakan luar bisa besar untuk meninggalkan dunia yang lebih baik dibanding saat kalian dulu menemukannya. Selamat!” ucap seorang komentator di bawah surat Mark.
Komentator pertama atas surat Mark adalah Melinda Gates, istri bos Microsoft, Bill Gates, yang di tahun 2010 juga merintis jalan filantropi yang sama seperti Mark lakukan.
Bill Gates dan Melinda mengumumkan bahwa mereka berkomitmen memberikan 95 persen dari kekayaan mereka untuk kerja-kerja sosial filantropis. Bersama orang kaya lain seperti Warren Buffet, mereka membuat Giving Pledge, organisasi yang mengajak orang-orang kaya di dunia menyisihkan setengah dari kekayaan mereka untuk filantropi.
Namun sebanyak itu yang memuji tindakan Mark, sebanyak itu pula yang mencibir, bahkan mengecamnya, sedang melakukan penghindaran beban pajak dengan memindahkan sahamnya kepada lembaga perusahaan non-profit bernama Chan Zuckerberg Initiative, yang juga dikendalikan penuh olehnya, istrinya, dan kelak anaknya.
Made Supriatma, orang Indonesia yang tinggal dan bekerja di Amerika Serikat, menyebut tindakan Mark sebagai sebuah transfer kepemilikan tanpa membayar pajak ‘capital gain’. Anaknya Mark pun, menurut Made, akan mewarisi lembaga mereka tanpa harus membayar pajak warisan, yang di Amerika besarnya sampai 45% dari nilai warisan.
Meski berbungkus sosial, tindakan Mark dianggap tak lebih sebuah cara dari orang-orang kaya Amerika untuk mengamankan harta kekayaan mereka dari kewajiban pajak yang besar.
Lembaga filantropi Chan Zuckerberg Intiative agak berbeda dengan lembaga filantropi lain di Amerika, karena dibentuk Mark sebagai perusahaan bermodel LLC dan bukan charitable trust atau yayasan pribadi.
“Dengan menggunakan LLC dan bukan yayasan tradisional, kami justru tak menerima keuntungan pajak dari proses pemindahan saham kami ke Chan Zucerberg Initiative,” sebut Mark.
“Sebaliknya, jika kami menggunakan yayasan tradisional, kami pasti dapat keuntungan pajak. Seperti lainnya, kami juga akan membayar pajak capital gains saat saham kami terjual oleh LLC.”
Hal lain yang tak diterangkan Mark, dengan menggunakan LLC, Chan Zuckerberg Initiative bisa melakukan investasi dan penjualan saham seperti halnya lembaga investasi swasta. Meskipun sifatnya tidak untuk mencari untung (non-profit).
Dalam struktur LLC itu, Mark Zuckerberg akan mendapat manfaat dari sistem perpajakan Amerika. Pada tahun pertama dia misalnya akan menyalurkan secara bertahap 99 persen sahamnya senilai US$ 45 miliar, dimulai dengan angka US$ 1 miliar ke Chan Zuckerberg Initiatives yang dia bentuk.
Karena tujuan sosial, Mark berhak mendapat potongan pajak sepertiga dari jumlah yang dia berikan. Dalam hitungan umum, menurut Made Supriatma, Mark akan dapat total keringanan pajak sebesar sekitar US$ 333 juta. Jumlah yang mungkin lebih besar kalau dia mendapat ‘tax deductible’ atau pengurangan pajak karena memberikan sumbangan kepada lembaga karitas yang bekerja untuk kepentingan umum.
Menurut Made, pintarnya lagi, saham Facebook milik Mark tidak akan diberikan sekaligus tetapi sedikit demi sedikit. Jadi, misalnya, US$ 1 miliar per tahun. Jadi, saban tahun, ada duit pajak yang dikembalikan.
Mark Zuckerberg jelas tidak akan jatuh miskin karena melepas semua sahamnya. Tapi yang perlu diketahui dia mungkin justru akan semakin kaya secara pribadi dan dikenang melakoni jalan Bonapartist sebagai pahlawan murah hati. Dari sana akan lahir pengaruh (baca: kekuasaan) untuk mendapatkan apa yang dia inginkan dan menentukan apa yang dia pikir baik.
Jesse Eisenger menulis tajam di The New York Times bahwa altruisme ala Mark Zuckerberg pada dasarnya menolong dirinya sendiri dan secara umum mengajak orang untuk berterima kasih pada dirinya.
Bagi para pembela Mark, tindakan Mark disebut sebagai langkah legal secara hukum dan jauh lebih bermoral dalam menggunakan uangnya sendiri daripada orang seperti Donald Trump atau Koch Brothers. Pandangan ini pada dasarnya bicara siapa yang paling sedikit ketamakannya di antara orang super-kaya yang tamak.
Komentar pembelaan lebih mengebu-gebu sekaligus ironis mengatakan lebih baik menyumbang langsung untuk tujuan sosial daripada memasukkan ke pajak negara dan digunakan untuk perang.
Mereka yang mengerti sistem perpajakan di Amerika akan paham bahwa Amerika memberi pilihan yang sangat leluasa bagi para triliuner untuk bisa memilih mendonasikan uangnya atau membayar pajak. Kegiatan filantropi menggunakan yayasan pribadi dapat insentif pengurangan pajak serius di Amerika.
Karenanya, orang Amerika adalah orang paling gemar berderma di dunia, sebab telah berabad-abad mereka punya tradisi hadirnya kelompok privat non-profit membantu orang lain sebagai pengganti peran pemerintah. Menurut data OECD, belanja yayasan privat untuk sumbangan kesejahteraan sosial di Amerika nilainya 4 kali lipat dibanding negara-negara maju lainnya
Yayasan pribadi adalah model Amerika dalam penyaluran sumbangan dan derma sosial. Jika mereka tidak membuat lembaga filantropi, mereka akan dikenakan pajak capital gains dan estate tax.
Negara-negara kaya seperti Jerman dan Prancis umumnya menggunakan sumber daya negara untuk mempromosikan kesejahteraan publik daripada menggunakan sumber daya privat. Model filantropi ala Amerika dipandang sinis di Eropa.
Filosofi publik vs privat ini yang memperjelas mengapa model-model filantropi swasta seperti Giving Pledge ala Amerika Serikat menjadi sangat popular untuk orang kaya Amerika. Sebaliknya, hal yang sama tak terjadi di belahan dunia lain yang mengandalkan negara untuk melakukan hal itu melalui pajak warganya.
Komitmen bos Facebook meneruskan tradisi filantropi orang-orang super-kaya Amerika menyumbangkan kekayaan untuk amal-sosial (charity) memicu perdebatan tentang logika publik versus privat.
Apakah negara sebaiknya membiarkan orang kaya menjadi sinterklas (kesalehan privat) dan membebaskan pajaknya atau menyerahkan pada negara menarik pajak orang kaya untuk memperbesar anggaran belanja publik dalam bidang sosial (kesalehan publik).
Dalam teori bernegara, apakah pilihannya pada “welfare-state” model Eropa yang bersandar pada pajak dan kebijakan publik atau “kapitalisme yang welas-asih” seperti Amerika yang mendorong kebajikan individu?
Peter Kramer, seorang pengkritik model-model filantropi ala kapitalis di Amerika, mengatakan inisiatif filantropi sosial model Amerika sangat problematis.
“Anda sebagai orang kaya bisa memilih mendonasi atau membayar pajak?” Pada dasarnya cara itu menurut Kramer membiarkan kaum kaya yang menentukan apa yang penting dan bagus.
“Kaum kaya menggantikan peran negara, dan itu tak bisa diterima.”
Meskipun tujuan sumbangan itu digunakan untuk kepentingan sosial, model sumbangan kaum kaya itu dianggap para pengambil kebijakan di Eropa sebagai model pemindahan kekuasaan yang buruk dari negara kepada triliuner.
Pada dasarnya sistem itu telah perlahan-lahan membiarkan bahwa bukan negara yang menentukan wajah publik dan apa yang penting namun kaum kaya. Permasalahannya, legitimasi seperti apa yang dimiliki orang-orang kaya untuk mengalirkan uang besar ke satu isu daripada ke isu lain?
Kecenderungan filantropi-kapitalis ala Amerika telah memperlihatkan betapa orang-orang super-kaya seperti Mark Zuckerberg, jika dibiarkan tanpa proses politik dan kontrol demokrasi, telah menggunakan uang mereka yang seharusnya masuk ke kas pajak untuk kegiatan-kegiatan hobi-hobi yang sangat personal atau politis.
Wajah publik Amerika Serikat dibanding negara-negara makmur menurut OECD, berada di ranking bawah dalam hal belanja sosial dan perbaikan kesejahteraan publik.
Di negara-negara makmur Eropa, angka filantropi hanya 2.6 persen dari produk domestik bruto, sementara di Amerika menghabiskan 11 persen. Negara-negara Eropa mempercayakan negara untuk mengatur keadilan dan distribusi, Amerika mempercayakannya pada sistem welah-asih para kapitalis.
Ekonom pemenang nobel Thomas Piketty dalam bukunya, Capital in the Twenty-First Century, menawarkan kepada dunia yang makin tamak, konsep pajak kemakmuran untuk mengatasi ketimpangan. Dan berbeda dengan model filantropi Amerika, Piketty menawarkan transfer kemakmuran itu terjadi dari individu kepada negara.