Selasa, April 23, 2024

Edgar Allan Poe

Sarah Monica
Sarah Monica
Lahir di Jakarta pada 12 Agustus. Seorang penulis, penggiat seni, dan anggota Lesbumi PBNU. Saat ini sedang menempuh studi di Pascasarjana Antropologi, Universitas Indonesia. Beberapa karya esai, puisi, dan cerpennya telah diterbitkan di Bali Post, Solo Post, Majalah Literasi, Majalah Bahana Brunei Darussalam, Borobudurwriters, NU Online, Beritabaru.co, Geotimes.id, Gusdurian.net, serta antologi bersama.

Pengantar

Edgar Allan Poe merupakan salah seorang penulis dan kritikus ternama dari Amerika. Dia lahir di Boston, Massachusetts, pada 19 Januari 1809. Poe hidup pada abad 19 di mana karya-karyanya menjadi pioner bagi kelahiran genre horor, misteri, dan terutama cerita detektif modern di periode tersebut. Kecintaannya menulis fiksi mendorong Poe untuk menjadikan aktivitas menulisnya sebagai profesi. Sesuatu yang hampir belum pernah terjadi pada masa itu.

Pergulatan serta penderitaan hidup sehari-hari yang dialami Poe mempengaruhi kesan gelap dan muram pada puisi, cerpen, maupun cerita detektif yang ia ciptakan. Namun, karakter tersebut justru melahirkan genre baru yang sangat Poe. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah “The Raven” diterbitkan pada 1845. Poe meninggal di usia muda pada 7 Oktober 1849 di Baltimore, Maryland dengan penyebab kematian yang belum diketahui hingga kini.

Berikut beberapa sajaknya yang penulis terjemahkan dari Bahasa Inggris:

I.

ALONE

From childhood’s hour I have not been
As others were; I have not seen
As others saw; I could not bring
My passions from a common spring.
From the same source I have not taken
My sorrow; I could not awaken
My heart to joy at the same tone;
And all I loved, I loved alone.
Then- in my childhood, in the dawn
Of a most stormy life- was drawn
From every depth of good and ill
The mystery which binds me still:
From the torrent, or the fountain,
From the red cliff of the mountain,
From the sun that round me rolled
In its autumn tint of gold,
From the lightning in the sky
As it passed me flying by,
From the thunder and the storm,
And the cloud that took the form
(When the rest of Heaven was blue)
Of a demon in my view.

(1875)

I.

KESENDIRIAN

Dari waktu kecil aku bukan

Seperti orang lainnya; Aku tak saksikan

Apa yang mereka saksikan; Aku tak mampu bawa

Gairah-gairahku dari musim semi biasa.

Dari sumber yang sama aku tidak menelan

Kepedihanku; Aku tak dapat bangkitkan

Hati pada kegembiraan di nada yang serupa;

Dan segala yang kucinta, sendiri aku cinta.

Lalu – di masa kanakku itu, di fajar

Paling berkecamuk dalam hidupku – terbongkar

Dari tiap kedalaman hal baik dan buruk

Misteri yang masih menjeratku terpuruk:

Dari arus, atau air yang terpancarkan

Dari bukit merah di pegunungan

Dari sang surya yang berputar-lebur

Dalam tinta emas musim gugur,

Dari cahaya di cakrawala

Yang melintas mengangkasa,

Dari guntur, dari badai,

Dan dari awan yang menyerupai

(Saat sebagian langit membiru)

Iblis dalam pandanganku.

(1875)

II.

A DREAM WITHIN A DREAM

Take this kiss upon the brow!
And, in parting from you now,
Thus much let me avow-
You are not wrong, who deem
That my days have been a dream;
Yet if hope has flown away
In a night, or in a day,
In a vision, or in none,
Is it therefore the less gone?
All that we see or seem
Is but a dream within a dream.

I stand amid the roar
Of a surf-tormented shore,
And I hold within my hand
Grains of the golden sand-
How few! yet how they creep
Through my fingers to the deep,
While I weep- while I weep!
O God! can I not grasp
Them with a tighter clasp?
O God! can I not save
One from the pitiless wave?
Is all that we see or seem
But a dream within a dream?

II.

MIMPI DI DALAM MIMPI

Terimalah ciuman di kening ini!

Dan, dalam perpisahan denganmu kini

Lantas membuatku mengaku-

Kau tidaklah keliru, yang berasumsi

Bahwa hari-hariku hanyalah sebuah mimpi;

Meski, jika harapan jauh terbang

Dalam malam, atau dalam siang,

Dalam penglihatan, atau dalam ketiadaan,

Apa karena itu yang tersisa pun hilang?

Segala yang kita lihat dan terlihat

Hanyalah mimpi di dalam mimpi.

 

Aku berdiri di tengah gemuruh

Di pantai bergelombang haru,

Dan tanganku menahan

Butiran pasir keemasan-

Betapa sedikit! Betapa mereka masih merayap

Lewat jemariku ke jurang gelap,

Saat kumeratap- Aku meratap!

Oh, Tuhan! Tak dapatkah aku menahan

Mereka lebih kencang dalam genggaman?

Oh, Tuhan! Tak dapatkah aku menyelamatkan

Satupun dari ombak yang tak berkasihan?

Bukankah segala yang kita lihat dan terlihat

Hanyalah mimpi di dalam mimpi?

III.

SERENADE

So sweet the hour, so calm the time,
I feel it more than half a crime,
When Nature sleeps and stars are mute,
To mar the silence ev’n with lute.
At rest on ocean’s brilliant dyes
An image of Elysium lies:
Seven Pleiades entranced in Heaven,
Form in the deep another seven:
Endymion nodding from above
Sees in the sea a second love.
Within the valleys dim and brown,
And on the spectral mountain’s crown,
The wearied light is dying down,
And earth, and stars, and sea, and sky
Are redolent of sleep, as I
Am redolent of thee and thine
Enthralling love, my Adeline.
But list, O list,- so soft and low
Thy lover’s voice tonight shall flow,
That, scarce awake, thy soul shall deem
My words the music of a dream.
Thus, while no single sound too rude
Upon thy slumber shall intrude,
Our thoughts, our souls- O God above!
In every deed shall mingle, love.

III.

SERENADE

Begitu manisnya masa, begitu syahdu waktu,

Aku merasakannya lebih dari sekadar dosa laku,

Ketika alam tertidur dan gemintang tafakur,

Mengoyak hening Ev’n dengan denting.

Pada cerlang warna laut yang terpapar,

Sesosok Elysium terhampar:

Tujuh Pleiades memasuki alam surga,

Terbentuk dari tujuh relung lainnya:

Endymion mengangguk dari atas,

Menyaksikan di laut cinta kedua menetas.

Dalam redup lembah yang kecoklatan,

Dan dalam bayang puncak pegunungan,

Cahaya yang lelah tenggelam rawan.

Dan tanah, bintang, samudera, dan cakrawala

Memanggil lelap, sebagaimana

kumerindu padamu dan segala tentangmu.

Cinta yang memikat, wahai Adeline-ku.

Tapi dengarkan, O dengarkan, begitu pelan dan halus

Suara pencintamu malam ini akan membius,

Dengannya, nyaris terjaga, jiwamu akan mematri

Kata-kataku ialah melodi mimpi.

Karnanya, saat tiada suara terlampau gaduh

Pada tidurmu yang akan terganggu.

Pikiran kami, jiwa kami, O Yang Maha Kuasa!

Dalam tiap laku akan lebur, menjelma cinta.

IV.

SPIRITS OF THE DEAD

Thy soul shall find itself alone
‘Mid dark thoughts of the grey tomb-stone;
Not one, of all the crowd, to pry
Into thine hour of secrecy.

Be silent in that solitude,
Which is not loneliness- for then
The spirits of the dead, who stood
In life before thee, are again
In death around thee, and their will
Shall overshadow thee; be still.

The night, though clear, shall frown,
And the stars shall not look down
From their high thrones in the Heaven
With light like hope to mortals given,
But their red orbs, without beam,
To thy weariness shall seem
As a burning and a fever
Which would cling to thee for ever.

Now are thoughts thou shalt not banish,
Now are visions ne’er to vanish;
From thy spirit shall they pass
No more, like dew-drop from the grass.

The breeze, the breath of God, is still,
And the mist upon the hill
Shadowy, shadowy, yet unbroken,
Is a symbol and a token.
How it hangs upon the trees,
A mystery of mysteries!

IV.

RUH ORANG-ORANG MATI 

Jiwamu akan menemukan dirinya dalam kesendirian

Pikiran-pikiran tengah malam dari batu nisan keabuan;

Tiada seorang pun, dari kerumunan, akan menguak

Rahasia waktumu.

 

Berdiamlah dalam keheningan itu,

Bukan kesepian- lalu

Ruh orang-orang mati, yang berdiri

Dalam kehidupan di hadapmu, lagi

Dalam kematian di sekelilingmu, mereka akan

Terus menghantui; maka berdiamlah.

 

Malam, meski jernih, mengerutkan dahi

Dan gemintang tidak semestinya mengawasi

Dari singgasana mereka di surga

Dengan cahaya bagai asa pada fana,

Tetapi planet merah mereka, tanpa sinar

Akan tampak pada lelahmu

Bagai kobar dan gemetar

Yang akan selamanya memelukmu.

 

Sekarang pikiran-pikiranmu tidak akan terbuang

Sekarang ide-idemu tidak akan pernah hilang

Dari ruhmu mereka akan terwariskan

Tidak lagi, seperti tetes embun dari rerumputan.

 

Angin yang masih menghembus, bagai nafas Tuhan,

Dan kabut di atas perbukitan,

Bayang-bayang, teduh, namun utuh

Adalah lambang dan tanda.

Betapa di pepohonan itu tergantung kini

Misteri dari segala misteri.

V.

THE VALLEY OF UNREST

Once it smiled a silent dell

Where the people did not dwell;

They had gone unto the wars,

Trusting to the mild-eyed stars,

Nightly, from their azure towers,

To keep watch above the flowers,

In the midst of which all day

The red sunlight lazily lay.

Now each visitor shall confess

The sad valley’s restlessness.

Nothing there is motionless-

Nothing save the airs that brood

Over the magic solitude.

Ah, by no wind are stirred those trees

That palpitate like the chill seas

Around the misty Hebrides!

Ah, by no wind those clouds are driven

That rustle through the unquiet Heaven

Uneasily, from morn till even,

Over the violets there that lie

In myriad types of the human eye-

Over the lilies there that wave

And weep above a nameless grave!

They wave; from out their fragrant tops

Eternal dews come down in drops.

They weep; from off their delicate stems

Perennial tears descend in gems.

V.

LEMBAH KEGELISAHAN

 

Saat ia tersenyum lembah sunyi

Di mana tiada seorang pun menghuni;

Mereka telah menghilang ke dalam perang,

Percaya pada tatap sendu para bintang,

Sang malam, dari menara langit biru mereka,

Terus berjaga atas bunga-bunga,

Yang di sepanjang tengah hari

Terbaring malas cahaya merah mentari.

Sekarang tiap tamu harus mengaku

Kegelisahan lembah pilu.

Tiada apapun yang berdiam-

Tiada yang menyelamatkan dari hawa permenungan

Pada sihir kesunyian.

Ah, tanpa angin pepohonan itu bergelayut

Gemetar bagai gigil laut

Di sekeliling Hebrides berkabut!

Ah, tanpa angin awan-awan itu mengarah

Berdesir melewati surga resah

Gelisah, dari pagi hingga pagi,

Atas bunga-bunga anggrek yang rebah

Di mata manusia dalam jenis berlimpah-

Atas bunga-bunga bakung yang berayun

Dan meratap di atas kubur tak bernama!

Mereka melambai; dari harum mahkota mereka

Embun kekal jatuh dalam tetesan.

Mereka menangis; dari halus batang mereka

Air mata abadi menitik menjelma permata.

Sarah Monica
Sarah Monica
Lahir di Jakarta pada 12 Agustus. Seorang penulis, penggiat seni, dan anggota Lesbumi PBNU. Saat ini sedang menempuh studi di Pascasarjana Antropologi, Universitas Indonesia. Beberapa karya esai, puisi, dan cerpennya telah diterbitkan di Bali Post, Solo Post, Majalah Literasi, Majalah Bahana Brunei Darussalam, Borobudurwriters, NU Online, Beritabaru.co, Geotimes.id, Gusdurian.net, serta antologi bersama.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.