Sabtu, April 20, 2024

Terlalu Jauh Menjadikan 4 Nakes Penista Agama

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Kasus Pemantang Siantar sungguh membuat kita semua kaget. Empat petugas kesehatan (Nakes) digugat oleh seorang suami yang istrinya meninggal karena Covid-19. Empat petugas kesehatan yang laki-laki memandikan jenazah istri seorang Muslim yang bukan muhrimnya.

Selain itu empat Nakes tersebut adalah non-Muslim. Oleh suaminya, empat petugas Nakes tersebut dituntut telah melakukan penistaan agama. Bahkan ada demonstrasi antara lain dilakukan oleh HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) untuk menuntut kepala rumah sakit dimana sang istri tadi dirawat agar dicopot.

Dalam hal ini MUI Siantar turut diminta menjadi saksi ahli dan menurutnya kasus ini bisa dimasukkan sebagai kasus penistaan agama. Jika benar bahwa kasus ini disidangkan dengan tuduhan penistaan agama, maka hal ini akan menjadi preseden baru bagi para petugas kesehatan untuk menolak memandikan si mayat karena Covid-19.

Berdasarkan pengetahuan yang saya dapatkan dari sumber-sumber yang tertulis di media, penuntutan empat Nakes tersebut sebagai penista agama itu terlalu berlebihan. Di dalam suasana normal, tidak dalam keadaan darurat, seseorang meninggal memang harus dimandikan.

Dalam bahasa agama Islam, memandikan mayit adalah fardu kifayah. Mereka yang memandikan adalah kerabat dekat yang memiliki hubungan darah atau mahram. Bahkan dalam keadaan normal, rumah sakit biasanya memberikan hak untuk memandikan mayat pada pihak keluarga. Namun keadaan sekarang adalah bukan keadaan yang normal.

Selama ini, pemandian jenazah terkena Covid-19 memang sudah ada petunjuknya. Dalam hal pemandian dan penguburan, rumah-rumah sakit merujuk pada fatwa MUI Fatwa MUI No. 18 Tahun 2020.

Di dalam fatwa tersebut dinyatakan “Umat Islam yang wafat karena wabah COVID-19 dalam pandangan syara’ termasuk kategori syahid akhirat dan hak-hak jenazahnya wajib dipenuhi, yaitu dimandikan, dikafani, disalati, dan dikuburkan, yang pelaksanaannya wajib menjaga keselamatan petugas dengan mematuhi ketentuan-ketentuan protokol medis.”

Lalu soal memandikan, menurut fatwa MUI No. 18 Tahun 2020, jenazah bisa dimandikan tanpa harus dibuka pakaiannya. Dan memang berdasarkan fatwa ini petugas wajib berjenis kelamin sama dengan jenazah yang dimandikan dan dikafani. Fatwa ini tidak berhenti di sini. Jika tidak terdapat jenis kelamin yang sama dengan yang dimandikan, maka diurus oleh petugas yang ada dengan syarat jenazah tetap memakai pakaian saat dimandikan atau ditayamumkan. Sebelum dimandikan, najis harus dibersihkan.

Lalu, petugas memandikan jenazah dengan mengucurkan air secara merata ke seluruh tubuh. Jenazah dikafani tiga lapis, lalu dibungkus dengan kain yang tidak tembus air atau plastik, dan pastikan tidak ada cairan yang keluar dari jenazah. Sebelum jenazah dimasukkan ke peti mati, keluarga inti bisa melihat jenazah untuk terakhir kalinya dari jarak 2 meter.

Rumah-rumah sakit memang tidak harus menggunakan fatwa ini, namun pada umumnya fatwa MUI-lah yang dirujuk karena MUI selama ini dianggap sebagai rujukan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Bahkan MUI Siantar meminta agar semua rumah sakit tidak mengulangi kejadian yang sama. Karenanya, semua harus mengikuti fatwa MUI dalam hal pengurusan jenazah Covid-19.

Menurut saya, fatwa MUI sebenarnya telah memberi ruang jika jenis kelamin yang berbeda dibolehkan untuk memandikan mayat karena Covid-19. Petugas laki-laki dibolehkan dalam keadaan darurat untuk memandikan mayat Covid-19 perempuan dan demikian sebaliknya jika memang keadaan memaksa. Jenazah tetap memakai pakaian ketika dimandikan atau ditayamumkan. Di sinilah sebenarnya argumen darurat digunakan untuk MUI.

Karenanya, untuk sampai pada tuntutan bahwa empat Nakes ini telah melakukan penistaan agama, sebenarnya perlu penjelasan yang detil dari pihak rumah sakit tersebut. Misalnya, apakah pihak rumah sakit tersebut memiliki protokol sendiri dalam memandikan mayat, dan tidak memakai fatwa MUI. Sebagaimana saya katakan bahwa fatwa MUI itu tidak wajib dipakai oleh lembaga-lembaga pemerintah karena fatwa bukan bagian dari aturan negara. Ini yang perlu dan harus didalami lebih lanjut.

Kemudian, apakah empat Nakes itu melakukannya karena ketidaktahuan atau bagaimana. Kalau mereka tidak tahu, maka tuntutan penistaan agama juga terlalu berlebihan apalagi jika merujuk pada fatwa MUI di atas. Memang benar, bahwa memandikan jenazah adalah kewajiban kifayah, artinya satu dari masyarakat yang melaksanakan sudah menggugurkan pihak lain. Katakanlah jika dalam melaksanakan kewajiban itu salah, maka kesalahan itu tidak dipidanakan di dalam konteks hukum Islam.

Melaksanakan kewajiban shalat misalnya. Jika seseorang tersebut salah dalam melaksanakannnya, menyalahi syarat dan rukunnya, karena ketidaktahuan atau karena lupa, maka perkara mereka tidak bisa dipidanakan. Itu hal yang prinsip di dalam hukum Islam. Mereka salah dan kurang syarat atau wajib dalam pelaksanaan ibadah wajib itu diberikan jalan keluarnya.

Jika empat Nakes ini memang melaksanakan prosedur rumah sakit dan juga melakukannya tanpa perbuatan yang menista, maka sekali lagi saya melihatnya kasus ini sebagai kasus yang sifatnya bisa diselesaikan di luar jalur pidana apalagi apabila pimidanaan itu memakai delik penistaan agama. Jika pun empat Nakes inipun seorang non-Muslim, maka dalam kondisi tertentu, mereka dibolehkan untuk memandikan jenazah seorang Muslim apalagi dalam keadaan darurat. Dalam pendapat sebagian ulama Syafiiyah pemandian oleh non-Muslim dianggap cukup. Artinya, non-Muslim boleh memandikan.

Sebagai catatan, saya berpendapat baik dalam keadaan normal apalagi dalam keadaan darurat, delik penistaan agama sebaiknya tidak digunakan dengan mudah di kalangan kita. Harapan saya bahkan delik ini secara umum bisa dicabut karena selain mengancam kebebasan juga bisa menimbulkan polarisasi. Mengancam kebebasan karena delik ini seringkali digunakan untuk membidik kaum minoritas dan kaum yang berbeda dengan kaum mayaoritas.

Polarisasi tidak hanya dengan pihak di luar agama, namun sesama agama juga bisa terjadi. Misalnya, bagaimana jika empat Nakes tersebut beragama Islam, namun karena ketidaktahuan atau karena prosedur yang harus mereka patuhi itu mewajibkan untuk memandikan mayat tersebut, apa yang terjadi dengan keluarga empat Nakes tersebut. Jika yang memandikan itu non-Muslimpun karena keadaan yang membuatkan mereka untuk memandikan jenazah, maka membawa mereka ke pengadilan dengan delik penistaan agamapun tetap berlebihan.

Banyak hal yang memang kita harus pikirkan kembali agar delik penistaan agama tidak menyebabkan hidup kita semua menjadi sempit dan terancam oleh hukum ini.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.