Kamis, April 25, 2024

Saudi Semakin Terbuka, Bagaimana Indonesia?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Berita tentang perayaan Natal di Saudi semakin menjanjikan. Sudah lama perayaan Natal sebagai hal yang tertutup di Saudi. Artinya, perayaan Natal bukan peristiwa publik pemeluk Kristen di negeri itu.

Kita tahu bahwa Saudi Arabia adalah salah satu negara yang memang sangat ketat dalam mengawasi perkembangan agama non-Islam. Kristen adalah agama yang menjadi perhatian mereka untuk diawasi karena Saudi yang menganut Wahabisme. Aliran keagamaan ini sendiri memang dikenal sangat keras ke Kristen. Sistem teologi yang menganut banyak pada Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah dan sudah barang tentu Muhammad bin Abdul Wahhab memang terkenal dengan kecurigaan yang tinggi atas Kekristenan.

Jadi, atas dasar ini, hal wajar apabila Saudi tidak memberikan izin atau membatasi perayaan Natal. Sistem teologi mereka sangat ketat dan literal dalam memandang Kristen.

Sebelumnya, Natal hanya dirayakan secara tertutup dan itu hanya menjadi bagian dari kalangan expatriates saja di rumah atau tempat tertutup yang sudah mereka tuju. Pada tahun-tahun sebelumnya, jika perayaan Natal dilarang di ruang publik, maka segala pernak perniknya juga dilarang dijual seperti pohon natal, lagu-lagu atau nyanyian natal di mal-mal dan kawasan belanja juga tidak terdengar.

Bahkan sebagian orang berpikir bahwa perayaan Natal di Saudi merupakan hal yang mungkin tidak akan terjadi selamanya.

Pada tahun tujuh puluhan, kaum pekerja asing yang melakukan perayaan Natal di balik tembok-tembok besar perusahaan-perusahaan mereka yang rata-rata perusahaan minyak.

Jamuan makan malam menjelang Natal juga mereka lakukan secara tertutup di rumah-rumah mereka agar tidak menimbulkan perhatian publik.

Namun, ini semua menemui tanda-tanda perubahan ketika Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) meluncurkan Saudi Vision 2030. Visi ini terus terang memberikan banyak keterbukaan dan toleransi bagi Saudi dan ini semakin menciptakan citra yang baik bagi negeri ini.

Sudah barang tentu, hal seperti ini tidak mudah bagi Saudi Arabia yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun (200an tahun) sudah menjalankan sistem teologi yang ketat tadi.

Mau tidak mau, lewat Saudi Vision 2030, lembaga keagamaan kerajaan ini banyak mengalami restrukturisasi. Ya, Saudi Vision 2030 tidak mungkin akan berjalan sesuai dengan yang ditarget apabila tidak didukung dengan perubahan pada struktur politik dan agama di kerajaan ini.

Pernyataan Mohammed bin Salman yang sering kita dengar adalah “kita hanya mengembalikan apa yang sudah kami ikuti bahwa Islam moderat yang terbuka pada dunia dan pada semua agama.” Ini artinya Saudi pada dasarnya pernah menjadi kerajaan yang moderat.

Saya pikir, bukan hanya perayaan Natal yang mendapat pengakuan publik, namun juga untuk peristiwa-peristiwa penting lainnya yang selama ini dikonotasikan oleh Saudi pra-Visi 2030—sebagai hal yang dilarang oleh sistem teologi mereka.

Valentine Day dan perayaan Tahun Baru Masehi juga sudah menjadi peristiwa penting publik. Pernak-pernik dan dekorasi hari Valentine dan Tahun Baru mulai ramai di ruang publik Saudi.

Lalu apakah perubahan seperti ini merupakan hal yang mudah bagi Saudi, artinya, cukup dengan Saudi Vision 2030?

Sudah barang tentu bukan hal mudah. Beberapa kalangan baik dari elit keagamaan (ulama) dan masyarakat biasa masih ada yang belum bisa menerima. Hal seperti ini juga merupakan hal biasa karena mereka sudah terlalu lama hidup dalam teologi yang demikian kuat melarang natal dan hal-hal lain terkait dengan budaya non-Islam.

Namun, nampaknya, pihak penguasa Saudi juga tidak mau diam dan membiarkan visi itu terbengkelai.

Mohammed bin Salman secara konsisten memang menjaga perubahan ke depan, ke model Saudi yang respek dan terbuka pada semua keyakinan dan budaya yang baik.

Bagi Saudi mungkin itu hal yang mereka harapkan, namun bagaimana dengan orang-orang yang selama ini menjadikan Saudi sebagai barometer kehidupan keislaman mereka?

Banyak kalangan di Indonesia yang menganggap bahwa paham Wahabi atau Salafi yang selama ini berlaku di Saudi adalah model yang terbaik bagi Muslim di Indonesia untuk mengikutinya: Mereka keras menolak hal-hal yang berbau praktik non-Muslim.

Apabila masyarakat Indonesia, belajar dari natal kemarin, masih ada yang melarang perayaan Natal di lingkungan mereka, maka masyarakat Saudi kini diajak oleh penguasa mereka untuk semakin menerima Natal dan hal-hal lain.

Warga Kristen di Cilebut Bogor dalam Natal kemarin mengalami hambatan. Mereka dilarang oleh masyarakat masyoritas di sekitar mereka untuk merayakan Natal di gereja mereka. Masyarakat mayoritas tidak mau bahwa peringatan Natal warga Cilibut Bogor ini diikuti oleh warga dari luar Cilibut.

Apapun alasannya, masyarakat Indonesia, ternyata bukan hanya Salafi dan Wahabi saja, masih ada saja di kalangan mereka yang merasa keberatan dan belum memahami makna peristiwa dan hari raya keagamaan di luar mereka.

Hal seperti ini selalu ada saja setiap tahunnya. Tidak hanya pada Natal, keberatan sebagian masyarakat juga bisa terjadi pada perayaan Valentine, Tahun Baru Masehi dlsb.

Media Sosial kita juga masih selalu ramai mempersoalkan hal-hal tersebut dalam perspektif agama mereka. Mereka menyatakan ketidaksukaan dan penentangan pada peristiwa-peristiwa itu lewat status-status sosial media dan pro-kontra terjadi di sana.

Apa semua ini tidak boleh diperbincangkan di ruang publik kita? Ya, boleh saja, tidak ada larangan sama sekali, namun perbincangan yang kontra itu menunjukkan bahwa ketidaksukaan masyarakat mayoritas pada non-mayoritas selalu ada.

Namun jika kita ikuti hasil-hasil survei dan jajak pendapat yang selama ini sering dilakukan, maka masyatakat Indonesia secara umum memang menuju pada arah konservativisme. Di kalangan masyarakat perkotaan fenomena ini semakin terlihat secara jelas.

Sebagai catatan, dari sini, kita bisa mengatakan bahwa trajektori Saudi dan Indonesia nampaknya akan berbeda.

Saudi dengan konsep kepemimpinan baru akan bergerak pada arah keterbukaan, bukan hanya pada level kebijakan politik kenegaraan mereka, namun juga mengajak masyarakat mereka untuk berubah dalam memandang “liyan.”

Indonesia, sudah banyak kemajuan dalam bidang ekonomi dan politik, namun dalam kehidupan antar keyakinan dan agama, nampaknya masih merupakan agenda yang harus kita selesaikan. Konservativisme dan keinginan kelompok mayoritas untuk suprematif dalam kehidupan sehari-hari semakin nampak.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.