Minggu, November 24, 2024

Perubahan di Arab Saudi dan Wahabi di Indonesia

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
- Advertisement -

Sudah lama kita melihat bahwa kiblat pendakwah-pendakwah Salafi/Wahabi adalah Saudi Arabia. Model keberagamaan mereka menganut hampir seratus persen bagaimana Saudi menjalankan dakwahnya. Dalam sejarah, Kerajaan Saudi sendiri, sejak kemenangan Dinasti Saud, karena banyak dibantu oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (Ulama Najd), menjadi negara yang boleh dikatakan mengikuti ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab. Saudi bisa dikatakan sebagai negara yang sangat kaku dan strict dalam kehidupan keagamaan mereka. Negara ini dikontrol oleh doktrin Wahhabi dalam kehidupan rakyat mereka sehari-hari.

Masalahnya, doktrin Wahabi selama ini tidak hanya mengontrol kehidupan keagamaan di Saudi sendiri, namun juga di negara-negara lain termasuk Indonesia. Internasionalisasi Wahabi mulai terjadi sejak negeri ini mengalami kedigdayaan sebagai negeri dengan sumber minyak terbesar. Saudi menyebarkan Wahabisme melalui “politik sumbangan” ke negeri-negera Muslim lain. Negara ini menyumbang pendirian rumah ibadah, gedung dan sarana pendidikan dlsb, bukan hanya dalam bentuk finansial namun juga sekaligus paket doktrin keagamaan mereka. Ini hal yang banyak kita jumpai di Indonesia.

Model ini berjalan terus sehingga di Indonesia, masjid, sekolah dan pesantren yang berafiliasi pada model pandangan salafi/Wahabi berdiri. Mereka ini ada yang berterus terang bahwa mereka patronase Saudi Arabia dan mereka ada juga yang tidak terus terang. Tapi, kenyataannya mereka ada dan berkembang di Indonesia.

Keberadaan mereka secara diskursif juga didukung oleh pendakwah-pendakwah salafi/Wahabi yang melakukan dakwah mereka dalam pelbagai bentuk. Bahkan, mereka juga sangat terlihat dakwah mereka di digital platform.

Namun sejak Saudi dipimpin oleh Raja Salman, perubahan Saudi menuju negara yang lebih terbuka pelan-pelan terjadi. Raja Salman menggantikan posisi Raja Abdullah, saudara tirinya, pada tahun 2017 setelah meninggal dunia. Putra Mahkota, Muhammad bin Salman, begitu Raja Salman ditetapkan, akan membuat Saudi Arabia sebagai negara yang terbuka dan akan meninggalkan konservativisme.

Putra Mahkota Muhammad bin Salman menganggap ketertutupan dan kekakuan yang disebabkan antara lain oleh ideologi Wahabi merupakan situasi yang tidak normal. Perkembangan selama 30 tahun terakhir di Saudi menurutnya bukan mencerminkan Saudi yang sesungguhnya.

Salah satu gebrakan yang diambil oleh rezim Saudi adalah mengembalikan kebebasan pada kaum perempuan. Kaum perempuan mulai berhak untuk berkiprah di ruang publik. Mereka diberi hak untuk mengemudi mobil.

Pengawasan laki-laki atas perempuan di ruang publik juga mulai dihapuskan. Artinya, mahram nantinya sudah tidak dibutuhkan lagi bagi perempuan. Kalau ini terjadi, maka ini terobosan yang luar biasa.

Tidak hanya berhenti di sini, rezim Saudi kini juga akan memangkas pengaruh ulama-ulama konservatif Wahhabi yang selama ini membentuk ideologi keagamaan dan politik keluarga Saud.

Bioskop juga sudah dibuka dan bisa ditonton oleh laki-laki maupun perempuan. Dulu tahun 1970s, Saudi memiliki gedung cinema yang cukup banyak. Namun karena fatwa dari ulama mereka, gedung-gedung cinema ditutup. Setelah Muhammad bin Salman membuka kembali bioskop itu berarti selama 35 tahun rakyat Saudi kembali bisa menyaksikan biaskop kembali. Bahkan sampai pada tahun 2035, akan dicanangkan pembukaan 100 cimena di seluruh Saudi Arabia. Sudah barang tentu ini merupakan gebrakan dan wacana tanding pada pandangan keulamaan Wahhabi yang sudah lama mengharamkan cinema.

- Advertisement -

Selama 2018, menurut Otoritas Hiburan Umum Saudi Arabia ada sekitar 5000 festival dan konser yang terselenggara di seluruh negeri ini. Nilai uangnya adalah 64 milyar US dollar, bukan nilai kecil.

Bahkan Saudi terus bergerak mengembangkan opera, musik dan fashion. Mereka membuka kerjasama dengan pusat-pusat seni, budaya dan peradaban dunia seperti Prancis dan Amerika Serikat. Fashion week juga sudah mulai diselenggarakan di Saudi. Hal yang tidak pernah terbayang pada periode sebelum Raja Salman.

Kata Muhammad bin Salman, perempuan-perempuan Saudi berhak menggunakan pakaian di luar abaya hitam dan juga tutup kepala serta wajah. Apakah cara berpakaian perempuan yang demikian tidak bertentangan dengan syariah? Menurut keterangan yang diberikan oleh Putra Mahkota syariah membolehkan perempuan berpakaian yang pantas atau ma’ruf dalam istilah al-Qur’an.

Perempuan tidak hanya dibolehkan untuk aktif di ruang publik, mereka juga dibolehkan ikut lari marathon, sepakbola dan kegiatan-kegiatan sport lainnya. Kini setiap ada pembukaan kesempatan kerja di ruang publik, maka kalangan perempuan profesional menjadi pelamar pekerjaan itu juga.

Perkembangan yang terjadi di Saudi Arabia kini sungguh nampak kontras dengan mereka, kalangan pendakwah salafi Wahabi di Indonesia. Bila kita lihat perkembangan dan reformasi yang juga menyentuh aspek keagamaan di Saudi nampaknya tidak sesuai dengan konten dakwah Khalid Bassalamah, Firanda, Syafiq Basalamah dlsb.

Jika melihat konten dakwah pendakwah kalangan Salafi/Wahabi kemungkinan banyak hal yang diharamkan dari apa yang kini dilancarkan oleh Kerajaan Saudi Arabia. Belum lagi soal masalah keinginan Kerajaan Saudi Arabia yang ingin menjadi ideologi progresif dan moderat. Artinya, mereka, kalangan pendakwah salafi/Wahabi di Indonesia, harus rela melihat rileksasi doktrin salafi/Wahhabi yang selama mereka pegang teguh.

Jika rileksasi Salafi/Wahabi di Saudi Arabia maka mau tidak mau mereka, para pendakwah salafi/Wahabi di Indonesia akan kehilangan kiblat atau bahkan tertinggal oleh negara patron mereka.

Kerajaan Saudi Arabia terus melakukan reformasi hukum, banyak hukum baru yang disyahkan, yang memberi kelonggaran pergerakan kaum perempuan, sementara isi dakwah kaum pendakwah salafi/Wahabi di Indonesia masih mempermasalahkan kebebasan perempuan di ruang publik.

Reformasi hukum yang kini dijalankan oleh Kerajaan Saudi Arabia ini merupakan upaya untuk menjadikan negeri ini, yang dulunya bercorak konservatif, menjadi negara yang adaptif terhadap hukum internasional.

Bahkan baru-baru ini, Saudi meluncurkan Metaverse untuk Haji. Sudah barang tentu ini bukan diperuntukkan untuk Haji, namun hal-hal seperti ini menunjukkan perubahan akan terus terjadi di Saudi. Tidak hanya itu, perubahan itu akan menyentuh hal-hal yang bersifat sensitif seperti doktrin syariah atau idelogi keagamaan yang selama ini dianut di Saudi.

Sebagai catatan, perkembangan dan perubahan yang begitu cepat dalam lima tahun terakhir ini di kerajaan Saudi apakah tidak memberikan semacam pelajaran atau ibrah bagi kalangan pendakwah Salafi/Wahabi di Indonesia untuk melakukan perubahan juga.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.