Pertanyaan kenapa masih ada saja persekusi terhadap kelompok keagamaan kecil oleh kelompok keagamaan besar langsung mengemuka di benak saya begitu mendengar peristiwa penggerebekan komunitas Syiah di Solo.
Menurut laporan Koran Tempo, yang mengutip Setara Institute, sekelompok laskar berbasis agama menyerang acara Midodareni warga yang dianggap sebagai pengikut Syiah. Peristiwa yang terjadi pada 8 Agustus di malam hari ini didorong oleh anggapan kelompok mainstream di situ sebagai hal yang harus mereka lakukan untuk membersihkan orang Syiah. Menurut mereka, Syiah itu di luar Islam, karenanya buat mereka keberadaan Syiah dan praktik budayanya boleh dihilangkan?
Setelah peristiwa yang dialami oleh kelompok Sunda Wiwitan, dan prosesnya juga belum selesai sampai sekarang, kini disusul lagi dengan peristiwa Solo. Tindakan-tindakan persekusi seperti di atas mengakibatkan kita bertanya dan bahkan meragukan klaim yang senantiasa kita gaungkan ke dunia internasional bahwa Indonesia, meskipun mayoritas penduduknya adalah beragama Islam, namun negara ini sangat toleran dan moderat.
Pertanyaan lebih jelas; perlindungan apa yang mereka dapatkan sebagai warga negara Indonesia; Adakah jaminan hukum dan keamanan bagi hidup mereka dan sanak keluarga mereka? Siapa yang harus kita minta pertanggung jawaban jika mereka mendapatkan serangan seperti yang dialami oleh pengikut Syiah Solo ini? Perlu saya kemukakan lebih dahulu bagaimana kontribusi sejarah Syiah dalam perkembangan Islam di Indonesia.
Dalam literatur sejarah di Indonesia, ada yang berpendapat bahwa umat Islam yang datang pertama kali ke Indonesia adalah umat Islam penganut Syiah. Kalangan sejarawan yang menganut teori ini memandang banyak bukti yang tentang Syiah datang ke Indonesia. Sejarah ini masih diperdebatkan sampai sekarang, namun yang jelas sebagai sebuah aliran teologis di dalam Islam, Syiah sudah datang sejak jauh hari sebelum Indonesia terbentuk.
Dalam sejarah Indonesia pasca-kolonial, kebencian terhadap para penganut Syiah itu memang komplek. Ada campuran unsur teologis dan politik yang menyebabkan itu terjadi. Secara teologis, pengaruh negara-negara Sunni seperti Saudi Arabia sangat besar dalam dalam menyebarkan gagasan kebencian terhadap Syiah.
Saudi Arabia memproduksi dan menyebarkan publikasi-publikasi ke dunia Islam seperti Indonesia, Pakistan, dan Malaysia tentang kesesatan Syiah. Bahkan bekas kampanye anti Syiah di Indonesia masih dengan jelas bisa kita lihat sampai saat ini terutama di kalangan Salafi dan Wahabi. Ustadz-ustadz Salafi dan Wahabi dalam ceramah-ceramah mereka terus mengatakan jika Syiah bukan bagian dari Islam.
Hal yang sama juga terjadi dalam politik di dalam negeri kita saat itu. Pada masa Suharto, pemerintah dihinggapi oleh rasa ketakutan akan pengaruh Syiah di Indonesia karena keberhasilan Revolusi Iran 1979. Revolusi Iran adalah satu-satunya keberhasilan model politik Islam di dunia ini. Revolusi Iran berhasil mengguncang dunia Islam.
Secara domestik, Suharto saat itu mengkhuwatirkan jika Revolusi Iran bisa menjadi inspirasi bagi gerakan politik Islam di negeri kita. Karenanya, rezim Suharto berusaha untuk membentengi masyarakat Islam Indonesia dari pengaruh Revolusi Iran.
Bahkan, dalam rangka itu, Suharto nampaknya juga mempengaruhi MUI untuk mengeluarkan fatwa pada sekitar tahun 1980an tentang Syiah. Isi dari fatwa belum sampai menganggap Syiah sebagai kelompok deviant (sesat) dari Islam, namun MUI mengeluarkan agar umat Islam hati-hati pada Syiah. Pesan ini jelas menunjukkan ada konsen yang sama antara apa yang dipikirkan oleh rezim Suharto dan apa yang difatwakan oleh MUI saat itu.
Tapi apa yang dilakukan Suharto itu salah besar karena menyamakan Syiah dan Revolusi Iran. Benar, Syiah mungkin punya pengaruh besar atas terjadinya Revolusi Iran, namun Syiah sebagai keyakinan keagamaan di dalam Islam sesungguhnya memiliki spektrum yang lebih luas dari sekedar Revolusi Iran.
Pada saat pelbagai negara di dunia ini mencari titik temu antar pelbagai ketegangan dan konflik keagamaan, kenapa kita, umat di Indonesia masih mengurus masalah perbedaan Sunni dan Syiah. Deklarasi Amman, beberapa tahun yang lalu, sudah menyatakan bahwa Syiah itu bagian dari Islam.
Tidak hanya itu, Wahabi dan Salafi bahkan Ibadiyah –khuwarij progresif—juga menjadi bagian dari Islam. Deklarasi Amman ini ditandatangani oleh ratusan perwakilan pemerintah dan juga perwakilan lembaga keulamaan dan fatwa hampir dari seluruh dunia. Pemerintah dan ulama Indonesia juga ikut hadir dan menandatanganinya. Mengapa kita masih ribut terus dengan Syiah. Ijma’ ulama dunia sudah menjawabnya dalam bentuk Deklarasi atau Pesan Amman.
Umat Islam di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah terus senantiasa mencari titik temu antara Syiah dan Sunni. NU melalui Gus Dur dulu misalnya NU adalah Syiah plus, dalam pengertian bahwa ada pengaruh Syiah dalam tradisi keNUan. Muhammadiyah dengan jelas menyatakan bahwa Syiah adalah bagian dari Islam.
Sampai sekarang, masih belum ada fatwa lagi yang dikeluarkan secara resmi oleh MUI yang mengeluarkan Syiah dari Islam. Ini semua adalah pelajaran dan upaya baik dari pelbagai pihak umat Islam di Indonesia untuk mencari titik temu. Kenapa kelompok yang jumlahnya kecil di dalam umat Islam Indonesia masih saja secara sengaja menggunakan isu Syiah dan Sunni untuk memperkeruh suasana.
Sebagai catatan peristiwa penggerebekan penganut Syiah di Solo beberapa waktu lalu tidak hanya merupakan tamparan bagi kita umat Islam Sunni di Indonesia yang mengklaim terbuka dan moderat, namun juga tamparan bagi negara. Mengapa negara selalu absen dalam peristiwa-peristiwa seperti ini. Lebih dari itu semua, ini juga tamparan bagi rezim Jokowi di mana penggerebekan terjadi di kota Pak Jokowi.