Aksi gegabah seorang Sekretaris Umum MUI Sukabumi yang menenteng senjata menjadi viral. Meskipun Ujang Hamdun, si pelaku, sudah minta maaf dan memberikan klarifikasi tentang dirinya, namun perkara seperti ini tidak bisa dianggap remeh.
Mengapa ucapan dan tindakan Ujang Hamdun dan kawan-kawan ini tidak boleh dianggap remeh. Mari perhatikan secara seksama ucapakan mereka:
“Jadilah hamba yang membunuh, bukan yang dibunuh. Perangi orang musyrik di mana pun mereka berada.” Lalu, mereka mengucapkan Allah Akbar. Pernyataan ini dikaitkan dengan surat al-Anfal ayat 60.
Ujang Hamdun meminta agar aksinya tidak dipahami bahwa dia adalah bagian dari gerakan ekstremisme atau terorisme. Dia mengatakan jika dirinya justru menjadi rohaniawan atau pembimbing yang mendakwahi dan membimbing napiter. Dia, klaimnya, adalah NKRI. Istilah NKRI maksudnya di sini adalah dia dan kawan-kawannya mendukung NKRI. Dia seolah-olah minta agar dia dan kawan-kawannya jangan dianggap sebagai bagian dari terorisme.
Namun, dia dan kawan-kawannya sudah terlanjur melakukan dan mengeluarkan pernyataan itu ke publik bahkan penegak hukum seperti polisi bisa mendalami kasus seperti ini.
Tapi, jika kita kita perhatikan seksama, meskipun pendek, memang pernyataan Ujang dan kawan-kawannya itu bukan hal yang begitu saja bisa diabaikan. Jika kita perpanjang apa tujuan dia membuat video seperti itu dan mengapa pilihan pernyataannya “Jadilah hamba yang membunuh, bukan yang dibunuh. Perangi orang musyrik di mana pun mereka berada.”
Seolah-olah keadaan kita di Indonesia, dan jelas umat Islam, jika lihat seruannya seperti itu, itu berada dalam situasi genting atau bahkan perang. Genting dan perang dengan siapa? Jelas dengan musuh. Dalam keadaan apa umat Islam diizinkan membunuh, jelas dalam keadaan perang itupun ada prosedur seseorang boleh membunuh. Tidak sembarangan membunuh karena itu tidak sembarangan pula kita mengeluarkan ayat di atas.
Jika kita mengucapkan ayat di atas dalam keadaan di mana negeri kita ini aman, tidak ada konflik, apalagi peperangan, untuk apa mengeluarkan ayat di atas? Apa motivasinya?
Dalam konteks inilah sebenarnya kita memahami reaksi Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, menyatakan penyesalannya pada aksi ini. Nanpaknya Gubernur sangat menyadari bahwa tindakan seperti ini bisa melunturkan ketauladanan tokoh agama. Di saat di mana kita diharapkan menjadi tauladan bagi kehidupan yang rukun, menenggang pihak lain, dlsb, penampilan Ujang Hamdun dan kawan-kawan justru merupakan cidera. Apalagi Ujang ini adalah Sekretaris Umum MUI Sukabumi. MUI sendiri adalah lembaga keulamaan yang berperan di dalam menjaga kerukunan dan harmonisasi masyarakat.
Tapi bagi saya, peristiwa seperti yang terjadi pada Ujang dan kawan-kawannya di Sukabumi, adalah hal perlu disikapi oleh MUI terutama di tingkat pusat. Mengapa? Jika terjadi sesuatu yang di luar dugaan karena perbuatan mereka, meskipun itu pada pengurus MUI di daerah, maka MUI Pusat tetap akan terkena dampaknya.
Paling tidak, hal itu bisa menggambarkan jika proses bimbingan MUI Pusat pada pengurus MUI di daerah-daerah, dalam hal ini utamanya adalah Sukabumi tidak berjalan secara baik. Jika MUI Pusat diam akan peristiwa seperti ini, maka MUI Pusat bisa dinggap pasif dan dan tidak peduli pada ketertiban organisasi keulamaan mereka.
Mungkin bagi sementara kalangan, persoalan video pernyataan yang sangat sensitif dengan membawa senjata di atas dianggap hal yang biasa saja, namun bagi saya itu bukan perkara biasa dan bukan hal yang bisa dianggap remeh juga.
Pernyataan yang berbau kekerasan apalagi kekerasan dalam bentuk pembunuhan, meskipun itu verbal saja, harus menjadi perhatian banyak pihak.
Fenomena Ujang dan kawan-kawannya di sosial media (video), jika tidak mendapatkan protes dari pelbagai pihak, maka itu bisa menjadi konsumsi publik yang membahayakan dan liar. Siapa yang bisa menjamin bahwa pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan kekerasan apalagi pembunuhan di media sosial (youtube) tidak akan mempengaruhi publik. Tidak ada jaminan untuk itu.
Kita tahu bahwa Indonesia adalah ladang terorisme dan ekstremisme yang cukup potensial. Meskipun akhir-akhir ini tindakan terorisme mungkin berkurang jauh, karena penanganan pihak yang berwenang yang sangat efektif, namun itu bukan berarti wacana publik yang mengandung kekerasan dan pembunuhan dibiarkan begitu saja beredar tanpa kritik dari kita. Kita tidak bisa terlena dengan situasi yang membaik seperti ini terutama, meskipun terorisme frekuensinya yang menurun, namun terorisme tetap saja terjadi sebagaimana yang terjadi di Bandung beberapa waktu lalu pada kasus bunuh diri.
Di ruang publik, kita tidak bisa menyatakan anjuran pembunuhan, meskipun itu dikutipnya dari ayat suci al-Qur’an. Justru kutipan pada ayat suci tentang pembunuhan yang tidak didasarkan pada konteksnya bisa dipahami secara ekstrim terutama bagi mereka yang memang cocok dan menunggu pernyataan-pernyataan panas seperti itu. Pernyataan ayat suci tanpa konteks juga bisa mendegradasi kitab suci itu sendiri, seolah-olah itu ungkapan kitab suci yang mutlak tanpa konteks.
Bagi kalangan yang terpelajar dengan ilmu-ilmu keagamaan, seperti ilmu tafsir, nahwu, dan lain sebagainya, maka pernyataan yang dikutipkan dari ayat suci di ruang publik, tidak akan ditelan begitu saja, namun dianalisis dan diangan-angan lebih dahulu dengan perangkat keilmuan yang tersedia.
Namun, bagaimana dengan awam jika mendengar pernyataan yang agitatif dan propagandis, apalagi itu dilakukan oleh mereka yang memiliki otoritas keagamaan. MUI di Sukabumi secara khusus dan Indonesia secara umum adalah organisasi keagamaan yang sangat didengar. Karenanya, mereka yang menjadi pengurus di organisasi MUI ini juga dipandang sebagai tauladan dan sumber informasi keagamaan. Mereka menjadi semacam acuan masyarakat. Namun jika pengurus MUI seperti Ujang dan kawan-kawan, bagaimana masyarakatnya bisa menjadikan mereka sebagai acuan?
Saya ingin menyatakan siapa pun saja apalagi mereka yang sudah bergabung ke dalam organisasi keagamaan yang dihargai oleh masyarakat, ucapan dan tindakan mereka harus dikontrol. Mereka tidak bisa membuat pernyataan atau konten atau apa saja yang berbau ajakan pembunuhan. Mereka harus berhati-hati dalam menyampaikan ayat-ayat suci yang berkaitan dengan soal peperangan dan pembunuhan.
Sebagai catatan permintaan maaf Ujang dan kawan-kawan mungkin bisa diterima di sebagian kalangan, namun jika sebagian kalangan menganggap tindakan Ujang dan kawan-kawan itu sudah lampu merah, maka hal itu hal yang wajar. Kita tidak bisa mentolerir pernyataan pembunuhan begitu mudah keluar di ruang publik.