Sabtu, April 20, 2024

Mimpi Siang Bolong Kekhilafahan di Masa Kini

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Nampaknya ide pendirian negara khalifah masih menjadi mimpi teman-teman mantan Hizbut Tahrir Indonesia. Kenapa saya sebut mantan karena organisasi ini sudah bubar sejak tahun 2017. Namun meskipun bubar, para mantan masih tetap saja setia memperjuangkan konsep negara khilafah.

Ilusi apakah yang membuat mereka terus seperti itu? Sebenarnya banyak sudah argumentasi teologis dan juga politis dan sosiologis teologis yang sudah disampaikan kepada mereka bahwa sistem khilafah itu salah waktu untuk sistem politik modern.

Argumentasi teologis antara lain sering disebutkan jika sistem pemerintahan di dalam Islam itu tidak tunggal, tapi justru mengikuti perkembangan zaman. Sistem khilafah pernah ada, terutama secara resmi pada masa kepemimpinan pasca-Rasul. Para sahabat empat terdekat Nabi, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, kepemimpinan mereka memang disebut dengan kepemimpinan khilafah. Merekapun diberi julukan khalifah. Namun pasca itu, kepemimpinan politik berubah sampai munculnya konsep negara bangsa di era modern.

Fakta politik modern, di antara sekian banyak negeri yang menggunakan sistem pemerintahan Islam, tak satupun negeri yang memakai sistem khilafah. Kita mulai dari Saudi Arabia. Negeri ini didirikan oleh Raja Abdul Aziz pada tahun 1932 dengan nama Kingdom of Saudi Arabia (KSA). Kini Saudi adalah salah negara terpenting bagi umat Islam dunia karena menjadi pusat ibadah haji. Uni Emirat Arab juga memakai sistem monarki (kerajaan) dengan nama al-Imarat al-Arabiyah al-Muttahidah. Bahkan negeri ini disebut dengan istilah elective monarchy, monarki yang memakai sistem pilihan.

Dua negeri yang memakai sistem politik Islam di atas adalah contoh negeri Islam yang tidak menggunakan sistem khalifah di kalangan negeri-negeri Sunni.

Iran, salah satu negeri berpaham Syiah yang memakai sistem politik Islam, namun tidak mempergunakan sistem khilafah.

Bahkan Afghanistan, yang dikenal sebagai penegak sistem politik Islam yang sangat ketat, merekapun tidak mengadopsi khilafat sebagai sistem politik mereka.

Apakah negara-negara Islam yang saya sebutkan tidak mengerti sistem khilafat? Apakah negara-negara yang saya sebutkan di atas tidak memiliki ahli sistem fiqh al-siyasah (fiqih politik) Islam yang mengerti soal khilafat?

Saya pastikan mereka mengetahui dan memahami sistem pemerintahan khilafah dalam sejarah Islam, namun mereka tidak memakainya dalam mengelola politik negara mereka. Alasannya banyak, namun secara umum, mereka tidak menggunakan sistem khilafah karena mereka ingin memiliki negeri mereka sendiri. Dan sistem yang cocok itu adalah nation-state, negara bangsa, bukan khilafah.

Jadi, fakta sosiologis, historis dan politik, sistem khilafah memang sudah tidak terpakai pada zaman kekinian. Kini, di dunia ini, hanya Hizbut Tahrir yang menganggap sistem khilafah sebagai sistem yang patut dipakai. Hizbut Tahrir sendiri bukan organisasi besar. Organisasi ini dari lahir sampai sekarang begitu-begitu saja. Momen sejarah terbesarnya adalah konflik awal Palestina Israel, namun momen itu tidak cukup berhasil menjadi Hizbut Tahrir menjadi organisasi besar dunia sebagaimana Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jama’atb Tablighi di India dan lainnya, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di Indonesia.

Kini Hizbut Tahrir justru menjadi organisasi yang terpencil justru karena perjuangannya yang kaku dalam mewujudkan kekhilafahan. Bayangkan saja, seluruh sistem politik Islam yang ada di dunia dianggap salah oleh Hizbut Tahrir. Mereka ingin mengganti sistem-sistem negara di dunia ini dengan sistem mereka.

Bahkan mereka tidak peduli dengan sistem politik Islam sebagaimana yang dilaksanakan di negeri-negeri Muslim seperti Saudi Arabia, Qatar, Uni Emirat Arab apalagi Iran yang jelas-jelas beraliran Syiah. Sesama negeri Sunni saja jika negeri-negeri itu tidak memakai sistem khilafah model Hizbut Tahrir maka mereka harus dijadikan sebagai tempat perjuangan untuk menaklukkan mereka.

Hal inilah yang menyebabkan Hizbut Tahrir menjadi organisasi yang tertolak di mana-mana. Hizbut Tahrir kini menggantungkan perjuangannya di negeri di mana negeri itu tidak bahkan sama sekali jauh dari sistem politik yang mereka perjuangkan. Bayangkan, memperjuangkan sistem khilafah ke seluruh penjuru dunia namun itu dilakukan di negeri sekuler dan liberal.

Padahal, dulu kawan-kawan Hizbut Tahrir Indonesia adalah kelompok yang dengan getol mengharamkan paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme, padahal di negeri-negeri yang menggunakan sistem sekuler dan liberal itulah mereka hidup dan mengelola perjuangan mereka. Ini hal aneh bukan bagi kita yang berpikir normal.

Ya, Hizbut Tahrir dengan perjuangan khilafahnya memang kini hanya bisa hidup, beroperasi dan berkantor di negeri-negeri Barat yang sekuler dan liberal seperti Inggris, Australia dan lainnya. Ini memang ironi besar, namun inilah Hizbut Tahrir itu sendiri; hidup dan mengambil manfaat dari sistem politik liberal dan sekuler namun tidak mau mengakui itu semua.

Apapun alasan teologisnya, jelas ini merupakan bentuk inkonsistensi terbesar dari organisasi Hizbut Tahrir ini. Sudah barang tentu kredibilitas mereka menjadi banyak menimbulkan pertanyaan terutama di negeri-negeri yang menjadi obyek dakwahnya. Kira-kira, benar ngga mereka memperjuangkan sistem khalifah, jika ya, kenapa negeri-negeri Muslim menolaknya hampir di seluruh dunia menolaknya. Satu lagi, benar nggak mereka itu murni memperjuangkan khilafah, jika ya, kenapa mereka berjuang dari negeri-negeri sekuler dan liberal.

Bagi aktivis Hizbut Tahrir, fakta dan keraguan pada mereka, tidak mengubah haluan perjuangan mereka. Kenapa itu terjadi? Karena mereka memahami apa yang diperjuangkan sebagai ideologi. Bagi mereka, khilafah itu Islam dan Islam itu khilafah. Ada kesan mereka menyamakan keduanya; Islam dan khilafah. Padahal keduanya jelas berbeda. Islam itu agama dan khilafah itu sistem politiknya.

Paling tidak itulah yang terjadi dengan Hizbut Tahrir di Indonesia. Meskipun organisasinya bubar, namun para simpatisan tetap saja bergerak di lapangan untuk mewujudkan mimpi mereka agar Indonesia ini menjadi negeri dengan sistem khilafah.

Meskipun benar, pada setiap diskusi ketika mereka ditanya siapa yang akan menjadi khalifah, jawab mereka muter-muter gak karuan. Muter-muter gak karuan ini juga merupakan salah satu ciri khas para aktivis Hizbut Tahrir jika berdiskusi dan berdebat.

Sebagai catatan, perjuangan untuk menegakkan khilafah di Indonesia itu bagai menegakkan benang kusut karena sebagai sebuah sistem ideologi, Hizbut Tahrir ini sebenarnya tidak memiliki dukungan infra maupun suprastruktur yang kuat. Kehatian-kehatian dan antisipasi pada mereka tetap perlu, namun jangan sampai energi kita habis untuk ngurusi mereka.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.