Selasa, Oktober 15, 2024

Menteri Agama Memang untuk Semua Agama, Mengapa Tidak Kita Dukung?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Pernyataan Menteri Agama, Gus Yaqut, bahwa dirinya adalah “menteri agama untuk semua agama” masih menyisakan perdebatan di kalangan masyarakat. Bagi mereka yang tidak sepakat, Menag sebaiknya jangan melontarkan isu kontroversial lebih dulu, lebih baik sang menteri membenahi hal-hal yang sekarang ini sedang terjadi, seperti keterbelahan umat Islam, disharmoni dlsb.

Banyak kalangan yang menginginkan agar Menag sekarang tidak terlalu mengumbar pernyataan retoris. Kritik ini terucap karena berdasarkan pengalaman masa lalu di mana kementerian agama terkadang absen dari peristiwa-peristiwa konflik sosial. Benar adanya bahwa menteri-menteri agama pendahulu tidak semuanya bersikap konsisten dalam menjalankan posisi mereka sebagai menteri semua agama. Namun pernyataan Gus Yaqut sebagai menteri semua agama lantas didrop begitu saja. Menurut saya tidak demikian.  Saya berpendapat pernyataan menteri untuk semua kepada publik tetap menjadi hal perlu dikemukakan.

Menteri-menteri pendahulu Gus Yaqut juga mengatakan hal yang sama. Pernyataan menteri untuk semua agama memang nampak normatif, namun ini adalah pernyataan yang berdasarkan pada konstitusi kita. Konstitusi kita adalah konstitusi untuk semua agama dan bahkan juga keyakinan disebutkan di dalamnya. Kita sering lupa bahwa keyakinan itu tidak selalu berbentuk dalam agama besar seperti yang kita saksikan, namun juga pada keyakinan-keyakinan dan kepercayaan-kepercayaan lokal.

Menurut konstitusi, mereka semua berhak mendaku bahwa menteri agama adalah menteri mereka juga, bukan hanya menteri umat Islam. Bahkan Indonesia tidak menyatakan agama Islam sebagai agama resmi sebagaimana yang terjadi di Malaysia dan Brunei Darussalam sebagai misal, meskipun mayoritas umat beragama adalah pengikut Islam.

Kita memiliki enam agama yang terdaftar –Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hucu dan semua mendapatkan pelayanan kementerian. Bahkan seluruh keyakinan dan kepercayaan yang hidup di negeri ini seharusnya juga mendapatkan pelayanan sebagaimana agama-agama yang enam tadi. Itu mandat konstitusi kita, namun sampai saat ini nampaknya mereka belum tersentuh. Belum lagi kelompok di dalam agama seperti Ahmadiyah dan Syiah. Karenanya, dalam pandangan saya, pernyataan Menag sebagai menteri semua agama adalah bentuk kewajiban konstitutional. Bahkan perlu ditambah, Menteri bagi semua agama, keyakinan, dan kelompook-kelompok keagamaan lainnya.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara yang terdiri dari pelbagai macam agama dan juga keyakinan, menjalankan pernyataan “menteri untuk semua” agama baik dalam kebijakan maupun program-program praktis kementerian agama adalah hal yang selalu diinginkan oleh setiap menteri agama. Namun nyatanya memang tidak mudah untuk menjalankannya.

Dalam kenyataan, kita memiliki mayoritas agama yang sangat signifikan, yakni Islam yang mencapai 87 % lebih dan sebaliknya, jumlah minoritas agama yang sangat kecil (13 %). Ketidakseimbangan jumlah pengikut antar umat beragama ini mau tidak mau mempengaruhi juga pada kebijakan dan program nyata dari Kemenag. Dari segi pelayanan kehidupan keagamaan, misalnya, jelas umat mayoritas akan mendapatkan jumlah pelayanan yang lebih besar, karena jumlah populasi mereka yang besar. Umat minoritas akan mendapatkan pelayanan sesuai dengan jumlah populasi mereka.  Hal seperti ini sebenarnya sudah benar.

Namun jadi soal sebenarnya tidak terletak pada masalah yang demikian ini. Secara umum, kelompok minoritas akan memahami kebijakan dan program pelayanan keagamaan yang didasarkan pada jumlah populasi. Kaum minoritas tidak komplain dengan jumlah madrasah –ibtida’iyah, tsanawiyah dan di bawah kementerian agama yang jumlahnya ribuan –yang negeri 4,010 dan swasta 78,408. Mengapa, karena itu yang memang mereka butuhkan untuk setiap warga dalam hal mendapatkan hak pendidikan mereka. Demikian juga dalam bidang yang lain. Hal yang paling penting bagi kelompok minoritas mereka juga harus mendapatkan pelayanan yang setara dari kementerian agama sesuai dengan kebutuhan dan jumlah populasi mereka.

Hal yang sering mengganggu kita adalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan favoritisme dan penggunaan agama sebagai politik identitas yang berlebihan. Sebagai misal, ketika kelompok minoritas menginginkan pembangunan sebuah rumah ibadah yang itu mereka butuhkan untuk kepentingan umat mereka, namun karena letaknya di tengah-tengah hunian kelompok mayoritas, maka kelompok mayoritas sering mempersoalkannya sebagaimana yang terjadi pada pembangunan gereja Yasmin di Bogor dan tempat-tempat ibadah yang lainnya. Mereka selama puluhan tahun kasusnya terkatung-katung karena

Lalu, apakah seseorang tidak boleh menjalankan politik yang menggunakan identitas keagamaan mereka? Tidak ada larangan untuk menggunakan agama sebagai identitas politik, selama tidak ada tujuan yang tidak dibolehkan oleh konstitusi, misalnya mengganti bentuk negara dari Pancasila ke bentuk negara lain.

Meskipun tidak ada larangan nyata, namun favoritisme dan politik identitas sering menimbulkan gangguan terhadap pemenuhan hak dan pelayanan keagamaan terutama untuk kelompok minoritas di negeri kita. Dan masalah seperti ini menggunung di tengah-tengah kita. Ibarat udara, politik identitas itu sudah menjadi polusi udara kehidupan keagamaan kita.

Jika kita lihat secara teliti, mereka yang memperjuangkan perubahan bentuk negara kita jelas sedikit sekali kasusnya, yang menggunung adalah upaya-upaya kelompok mayoritas yang menghalangi hak-hak kelompok minoritas. Karenanya, pernyataan Gus Menteri, Yaqut, sebagai menteri untuk semua agama dan saya tambah keyakinan, bisa ditindaklanjuti ke arah ini. Caranya bagaimana?

Dialogkan masalah ini ke kelompok-kelompok agama secara langsung kepada perpetrator maun korban baik mayoritas maupun minoritas. Dialog ini untuk mencari akar masalah sekaligus jalan keluar. Dialog ini sebaiknya dilakukan secara intensif dan inklusif dan dipimpin langsung oleh menteri sendiri agar tidak terjadi distorsi. Sudah barang tentu, Menteri bisa mengajak stafnya, namun internalisasi dari dialog ini sebaiknya langsung diberikan oleh Menteri.

Sebagai catatan, istilah “menteri untuk semua agama” dan serta keyakinan” adalah upaya konstitusional yang harus secara publik dinyatakan karena perlindungan dan pelayanan untuk semua agama dan keyakinan memang mandat konstitusi kita. Jika itu tidak dinyatakan, justru akan menjadi persoalan bagi kita. Pun demikian, melaksanakan ujaran “menteri untuk semua agama” juga harus semaksimal mungkin dilaksanakan dalam bentuk kebijakan dan program-program tahunan maupun program jangka menengah dan panjang bagi di dalam kemenag itu sendiri.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.