Sabtu, April 20, 2024

Main Hakim Sendiri

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Baru-baru ini kita menyaksikan dua gadis pemandu karaoke di Padang digeret oleh masyarakat dan sempat dilucuti pakaian mereka juga di laut. Jelas ini bukan kejadian yang enak ditonton mata, namun merupakan bentuk main hakim sendiri.

Saya tidak tahu bagaimana perasaan orang-orang yang memaksa dan menggiring kedua gadis tersebut ke laut. Apa mereka merasa bangga atau bagaimana memperlakukan mereka seperti itu.

Selain menggambarkan main hakim sendiri yang tidak proporsional, cara seperti itu juga mencerminkan tingkat etis dan moral pelakunya. Jika mereka massa yang taat hukum, harusnya mereka melaporkan apa yang mereka anggap sebagai bentuk pelanggaran ke meja hukum.

Jika ditinjau dari perspektif agama bahwa menggiring dan menelanjangi sebagai cara mereka dalam menegakkan amar makruf nahi munkar maka itu sesungguhnya salah besar. Main hakim sendiri memang hal yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita yang sudah lama. Jika mereka melihat peristiwa yang mereka anggap melanggar, maka mereka melakukan tindakan sendiri.

Dalam konteks dua perempuan muda pemandu karaoke di Padang ini, masyarakat yang main hakim sendiri langsung melakukan tindakan. Mereka langsung menggrebek dan tidak perlu bertanya atau mengklarifikasi pada pihak korban.

Tindakan-tindakan atau peristiwa yang memicu terjadinya main hakim sendiri itu banyak. Kriminalitas dan klaim “penegakan moral” adalah dua hal kejadian yang kerap kali menjadi dasar sebuah kelompok masyarakat untuk main hakim sendiri.

Apa yang menimpa pada dua perempuan muda pemandu karaoke adalah main hakim sendiri yang dipicu oleh ambisi untuk penegakan moral. Sekelompok masyarakat yang main hakim sendiri ini melihat bahwa warung yang tidak tutup pada bulan puasa, apalagi di sana sedang ada dua pemandu karaoke, maka mereka secara instinktif melakukan tindakan main hakim sendiri.

Main hakim sendiri sebagaimana yang menimpa pada dua perempuan pemandu karaoke itu seolah merupakan peristiwa yang benar dan masuk akal bagi pelaku main hakim sendiri. Dan memang, para pelaku main hakim sendiri di manapun senantiasa merasa bahwa tindakan mereka adalah tindakan yang benar. Cara pikir mereka adalah cara pikir komunal seolah-olah tidak ada sistem hukum yang mengitari mereka.

Hal yang susah lainnya adalah jika tindakan main hakim sendiri itu dikaitkan dengan adat dan juga agama. Dua hal ini sangat kuat menjadi nilai hidup di dalam masyarakat dan jika sebuah tindakan main hakim sendiri didasarkan pada dua hal ini maka itu sangat sulit untuk menghilangkan dan melawannya.

Ada adalah tradisi dan kebiasaan yang sudah lama dan menjadi konsensus masyarakat setempat sebagai salah satu nilai dan norma hidup di kalangan mereka. Kepatuhan pada adat biasanya banyak terjadi di lingkungan masyarakat pedesaan dan juga pendalaman. Apa yang terjadi biasanya adalah semakin kuat komitmen pada adat maka lemah untuk patuh pada hukum pemerintah. Hukum pemerintah dipahami bukan hal utama.

Demikian juga apabila main hakim sendiri menggunakan agama. Kedudukan agama lebih kuat dibandingkan kedudukan adat. Artinya, perbuatan main hakim sendiri yang didasarkan pada agama itu lebih sulit untuk dihilangkan atau dilawan.

Di dalam agama sendiri memang ada semacam doktrin yang menyebabkan seseorang menjadi percaya diri untuk menjadi hakim di lingkungan mereka. Di dalam Islam, doktrin amar makruf nahi munkar, perintah kebaikan dan larang perbuatan munkar adalah dasar di mana pelaku main hakim sendiri mengeksekusi tindakan mereka.

Antara agama dan adat bisa saja berbeda. Namun jika antara adat dan agama itu menyatu sebagai dasar legitimasi untuk main hakim sendiri, maka itu perpaduan yang sungguh sangatlah kuat. Para pelaku main hakim sendiri ini berarti memiliki pondasi yang sangat kokoh untuk melakukan apa yang mereka perlu adili dan hakimi di dalam masyarakat mereka.

Di Sumatera Barat sendiri adat dan agama (syara’) menyatu. Adat berdasarkan pada syara,’ dan syara’ berdasarkan pada kitab Allah. Karenanya adat mereka adalah adat yang Islami. Karenanya, cara mereka melihat bahwa sebuah persoalan itu dipandang nyeleneh atau menyalahi adat, maka pastilah itu juga dipandang nyeleneh atau salah dari sudut pandang agama.

Apa yang menjadi masalah adalah apakah “main hakim sendiri” itu memang dianjurkan oleh keduanya yakni adat dan agama dalam konteks Sumatera Barat? Saya tidak tahu persis akan hal ini, namun di dalam doktrin amar makruf nahi munkar tindakan main hakim sendiri tidak bisa langsung dikenakan pada pihak yang mereka anggap telah berbuat munkar.

Imam al-Ghazali, dalam kitabnya yang sangat terkenal, Ihya Ulumuddin, mensyaratkan tiga syarat bagi seseorang untuk melakukan amar makruf nahi munkar.

Pertama, harus ada ilmu (pengetahuan). Orang yang menegakkan amar makruf nahi munkar haruslah tahu secara persis obyek mereka. Ilmu ini penting agar penegak amar makruf itu justru tidak melakukan kesalahan ketika menegakkan pendirianya.

Kedua, memiliki sikap berhati-hati atau dalam bahasa agama, wara’. Sikap ini diperlukan agar mereka yang melakukan amar makruf nahi munkar memiliki sikap kehati-hatian sehingga dalam bertindak mereka tidak keluar dari ilmu mereka. Melakukan amar makruf nahi munkar itu bisa menempatkan pelakunya pada tindakan yang subyektif yang memenuhi hawa nafsu. Sikap wara’ atau wira’i ini pada dasarnya untuk menjaga si pelaku amar makruf nahi munkar ini tetap berada pada koridar obyektivitas.

Ketiga, akhlak atau budi pekerti yang baik. Pelaksanaan amar makruf nahi munkar ini harus disertai oleh penegaknya akhlak yang baik. Sikap yang diterapkan adalah lemah lembut dan kasih sayang.

Apakah tiga perkara di atas diterapkan oleh mereka yang menggiring dua perempuan pemandu karaoke di atas? Jelas, dari video dan juga pemberitaan yang beredar, mereka yang menindak dua pemandu karaoke telah melakukan perbuatan di luar tiga dari syarat yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali di atas.

Sebagai catatan, main hakim sendiri apalagi jika itu melibatkan kekerasan bukan perkara yang dipuji oleh negara bahkan hukum agama. Perkara yang kita anggap baik tetap harus dilaksanakan dengan cara yang baik pula. Intinya, jangan sampai melakukan nahi munkar namun dengan cara munnkar pula.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.