Jumat, April 19, 2024

Lembaga Keulamaan Terbuka terhadap Kritik?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Dari hiruk pikuk soal tertangkap anggota Komisi Fatwa MUI oleh Densus 88, muncul tagar desakan agar MUI dibubarkan. Anwar Abbas membalas dengan logikanya sendiri; jika MUI bubar Indonesia juga harus bubar. Katanya, logika ini sengaja dia kemukakan untuk melawan orang-orang yang menginginkan pembubaran MUI. MUI itu banyak anggotanya, jika tertangkap satu maka tidak perlu MUI-nya yang bubar namun tangkap saja si teroris itu.

Terlepas logika yang dipakainya, namun menyamakan MUI dan negara dalam hal pembubaran jelas logika sesat. Bagaimana pembubaran entitas negara di-qiyas-kan dengan pembubaran organisasi. Selain itu, sekarang kan sudah ada UU soal organisasi massa termasuk soal pembubarannya. UU ini jelas memuat kreteria sebuah organisasi bubar atas dasar apa saja. Lalu kalau si aktor sudah tertangkap dan terbukti, apa berarti MUI benar-benar terbebas?

MUI DKI membuat kontroversi dengan keinginanya untuk membentuk cyber army. Mereka terus jika cyber army ini dibentuk untuk membantu Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta). Idenya kira-kira mereka akan melawan serangan-serangan di dunia cyber yang menyerang pak Gubernur. Ini sudah barang tentu luar biasa, MUI DKI bertugas di luar tugas pokok mereka, sebagai ormas Islam yang kudu netral, tapi mereka malah ingin membentengi Anies Baswedan.

Polah MUI Pusat dan MUI DKI memang macam-macam. MUI DKI ingin meletakkan diri mereka dalam posisi membela penguasa Jakarta dan MUI Pusat selalu bersuara lantang pada pemerintah. Namun, keduanya hampir memiliki karakter yang sama dalam menjawab kritik dan gugatan dari masyarakat. Mereka tampaknya malas untuk dikritik. Alih-alih peristiwa terakhir yang menimpa MUI mereka tanggapi dengan mawas dan koreksi diri, tapi malah menyerang balik pihak yang mengkritiknya.

Saya hanya ingin mengatakan bahwa cara menjawab kritik dan desakan masyarakat sebagaimana yang dilakukan oleh Anwar Abbas dengan menggunakan pembubaran negara karena MUI dibubarkan jelas menunjukkan sikap yang tinggi. Saya tidak tahu persis apakah pernyataan ini memang mewakili MUI secara resmi ataukah hanya komentar personal pengurus MUI saja.

Semestinya, persoalan tertangkapknya anggota MUI oleh Densus 88 bisa dijadikan sebagai cara MUI bersih-bersih dalam organisasi ini. Bersih-bersih tidak hanya dari terorisme, namun juga dari kecenderungan berpikir dan berperilaku yang mengarah kepada terorisme. MUI harus menyadari bahwa terorisme itu bukan hal yang begitu saja terjadi, namun banyak prakondisi-prakondisinya.

MUI tidak cukup mengatakan jika perbuatan terorisme anggotanya itu adalah tanggung jawab mereka sendiri. Jika itu benar, MUI juga tidak hanya berhenti di sini, merasa cukup sudah mengeluarkan pernyataan bahwa si A terlibat dalam jaringan terorisme tidak ada kaitannya dengan MUI.

MUI perlu berbuat lebih jauh lagi dalam menjawab kritik bahkan usulan pembubaran MUI. Kita tahu bahwa sorotan terhadap MUI itu bukan hanya terjadi pada kasus penangkapan Densus 88 atas Ahmad Zain al-Najah, namun juga pada banyak kasus. Bahkan sorotan tajam pada organisasi ini tidak hanya datang dari kalangan awam saja, namun juga datang dari kalangan elite keagamaan.

Pada tahun 2007, Gus Dur pernah mengusulkan agar MUI dibubarkan saja. Usul ini terkait dengan fatwa-fatwa MUI yang menjadi inspirasi peristiwa kekerasan. Pernyataan Gus Dur ini sendiri terkait dengan Peristiwa Cikesik dan lain-lainnya dimana warga Ahmadiyah menjadi korban penyerangan. Jelas penyerangan Ahmadiyah ini mendapat inspirasi dari fatwa MUI yang menyesatkan Ahmadiyah. Gus Dur keberatan dengan fatwa-fatwa seperti itu.

Pada tahun 2015, Gus Mus, seorang ulama kharismatis, menyentil MUI dengan mengatakan “MUI itu makhluk apa”? Sentilan Gus Mus itu jika dipahami maknaya dalam sekali. Itu menunjukkan kekecewaan pada peranan yang dimainkan oleh MUI pada tingkat masyarakat, agama dan juga negara. Dengan sentilan itu, MUI hendaknya butuh reformasi atas diri mereka.

Jadi, jelas bahwa MUI itu, meskipun mengklaim sebagai “khadim al-ummah” (pelayan ummah), namun banyak sekali yang menghendaki agar MUI berubah.

Kritik-kritik dari yang halus sampai yang keras dan terus terang yang sudah lama terjadi tampaknya tidak membuat MUI berubah banyak. Sikap mereka tetap reaksioner dan memposisikan apa yang mereka lakukan selalu benar. Contoh nyatanya adalah reaksi Anwar Abbas atas tuntutan pembubaran MUI oleh masyarakat. Tidak dijawab dengan elegan malah dijawab dengan MUI bubar, Indonesia juga bubar.

Alangkah elegannya jika MUI meminta maaf atas penyusupan organisasinya oleh anggota Jamaah Islamiyah kepada masyarakat dan menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran yang sangat berharga. Pada kasus terorisme ini, MUI selayaknya merumuskan langkah dan strategi yang menunjukkan bahwa organisasi memang benar-benar akan berubah dan melakukan koreksi yang besar.

Terorisme itu bukan kasus biasa. Terorisme itu bukan kasus seperti perbedaan hukum yang selama ini terjadi ketika MUI mengeluarkan fatwa. Terorisme adalah kejahatan serius. Jika di dalam keluarga ada pihak atau anggota keluarga yang terjerat dalam tindakan kejahatan serius, maka sikap keluarga besar harus ikut memikirkannya. Demikian juga MUI.

Saya khawatir jika MUI tidak menggunakan momen ini sebagai titik pijak untuk melakukan telaah diri, refleksi diri dan mawas diri, maka ini akan menyebabkan organisasi ulama ini akan terciderai. Hal yang paling parah adalah masyarakat akan menganggap MUI tidak serius dalam melindungi organisasi ini dari penyusupan kaum teroris dan ekstrim.
Jangan hanya berhenti pada soal terorisme, namun juga hal-hal yang menyebabkan orang tersampaikan pada terorisme. Misalnya, bagaimana sikap intoleransi dan radikalisme dan hal-hal terkait selama ini ditangani oleh MUI.

Selama ini, MUI seolah-olah memposisikan diri dalam pembelaan pada hal-hal yang bersifat intoleran. Posisi MUI pada soal Ahmadiyah, Syiah, dan masih banyak lagi. Dalam menjawab kritik dan gugatan, jangan sampai MUI berhenti pada jawaban retoris saja.

Sebagai catatan, saya masih merasa optimis, jika MUI bertindak serius dan juga konstruktif, tidak malah menyerang balik pihak kritikus dan penggugat, malah berdampak positif pada organisasi ulama ini. Sikap denial, arogan dan lain sebagainya, sudah tidak zamannya lagi. Hal yang perlu disadari adalah siapa saja dan kelompok apa saja akan senantiasa mendapat kritik dan gugatan, tapi mereka akan bertahan jika itu dihadapi secara elegan.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.