Minggu, November 24, 2024

Kenapa Masih Sulit Menoleransi Kaum Minoritas di Negeri Kita?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
- Advertisement -

Janganlah menjadi mayoritas yang galak, jadilah mayoritas yang mengayomi.

Klaim kita sebagai negara yang toleran atas kelompok minoritas ternyata belum sepenuhnya terbukti. Ceritanya bermula dari Menteri Agama, Yaqut Cholil Qaumas, yang memberikan selamat hari raya untuk kaum Baha’i beberapa kesempatan lalu. Kontan ucapan selamat ini mendapat reaksi.

Cholil Nafis dari MUI berkomentar Menag telah melakukan offside. Katanya, agama di Indonesia hanya ada enam agama yang diakui. Baha’i bukan agama yang diakui pemerintah. Dengan dasar ini pemerintah tidak boleh menyamaratakan agama-agama yang sudah diakui atau yang belum diakui. Pelayanan pemerintah menurutnya tidak boleh sama juga kepada agama yang diakui dan belum diakui. Pernyataan yang aneh juga kaum Baha’i jangan sampai menodai agama lain. Tidak hanya Cholil Nafis, namun juga ada pernyataan lain yang menganggap bahwa Menag tidak layak memberikan ucapan selamat hari raya bagi Baha’i.

Jika negeri kita masih dipenuhi cara berpikir sebagaimana yang dinyatakan Cholil Nafis dan mereka yang keberatan atas ucapan Menag, sampai kapan sebenarnya negeri kita akan menjadi negeri yang beragama sekaligus inklusif dan terbuka pada agama-agama lain. Wacana yang dikembangkan untuk mengancam kehidupan keagamaan yang inklusif dan sehat adalah penodaan. Jangan sampai agama ini menodai agama itu dan ini. Namun yang sering menggunakan pasal penodaan selama ini kebanyakan kaum mayoritas.

Kenapa sebagai mayoritas, masih merasa terancam oleh agama-agama dan keyakinan-keyakinan minoritas?

Setelah saya amati sekian lama, masalah keterancaman ini sebenarnya bukan masalah keagamaan, namun lebih pada masalah politik. Sebagai mayoritas, melalui ancaman penodaan pada kelompok minoritas, sebenarnya mereka terganggu bukan karena agama mayoritas akan turun martabat dan ditinggalkan pemeluknya. Bukan itu masalah intinya.

Sejak lama, penggunaan unsur penodaan atau penistaan agama yang diperingatkan kepada kaum minoritas itu lebih disebabkan karena para elite agama mayoritas yang merasa terancam. Terancam akan kedudukan sosial dan politik, bukan agama mereka. Islam misalnya tetap menjadi pilihan agama kaum mayoritas di Indonesia. Misalnya, soal kepemimpinan. Pasal ini penistaan ini ternyata berhasil digunakan untuk menjegal pemimpin yang kebetulan beragama minoritas.

Kita tahu bahwa pengakuan negara atas agama yang mendapatkan pelayanan pemerintah itu bukan perkara mudah. Itu harus diperjuangkan secara keras. Perjuangan tidak hanya dari kalangan pemeluknya, namun juga harus ada inisiatif politik dan juga dukungan kaum mayoritas lainnya.

Meskipun secara konstitusi Indonesia menjamin kehidupan keagamaan dan juga keyakinan, baik itu sudah disediakan pelayanannya maupun belum, namun perjuangan menuju pengakuan oleh negara bukanlah perkara mudah. Tekanan biasanya ada dua.

Pertama, dari kalangan pemerintahan, sebagaimana itu terjadi pada zaman Suharto dan kedua tekanan dari kelompok established majority (mayoritas yang sudah mapan). Kelompok ini akan terganggu oleh banyak hal. Kita ambil contoh kasus Kong Hucu. Masyarakat Kong Hucu sudah sejak lama di Indonesia, bahkan sebelum negeri ini ada. Tadinya mereka diakui, sebagaimana dalam Keputusan Presiden Presiden No. 1 tahun 1965 dan Konstitusi No. 5 tahun 1965, keberadaan mereka diakui bersama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Namun sejak Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Kong Hucu dilarang. Pelarangan yang dikeluarkan oleh Suharto jelas bukan masalah keyakinan namun karena persoalan politik dan juga didukung oleh kaum established majority tadi sehingga keberadaan mereka di negeri ini bertahun-tahun lamanya tidak diindahkan. Lalu, sejak zaman Gus Dur hak-hak orang Kong Huc dipulihkan. Lalu mereka menjadi agama yang diakui oleh negara karena mereka mendapatkan pelayanan negara.

- Advertisement -

Saya menafsirkan bahwa pengakuan atas enam agama itu bukan soal bahwa mereka tidak punya hak dasar (basic freedom) keagamaan dan keyakinan mereka, namun sekali lagi, itu terkait dengan soal pelayanan. Konstitusi kita Pasal 28E ayat (1) UUD 1945, jelas menyatakan, “setiap warga negara bebas memeluk agama dan beribadah sesuai agamanya.” Agama Baha’i dan mungkin agama-agama dan keyakinan-keyakinan lainnya memang sangat kecil dan juga belum diakui, namun bukan berarti mereka tidak dibolehkan untuk mengekspresikan keyakinan agama mereka di ruang publik.

Bagi pejabat negara yang memiliki otoritas dengan demikian tidak ada salahnya ketika mengucapkan selamat kepada mereka. Ucapan mereka kepada kaum minoritas itu tidak otomatis membawa mereka pada munculnya pelayanan mereka. Saya kira kaum minoritas seperti Baha’i juga memahami dan mengerti kondisi politik negara. Bagi mereka, keberadaan mereka tidak diganggu saja sudah suatu hal yang luar biasa.

Selain itu ada fakta lain, bahwa, meskipun agama mereka, kaum minoritas, tidak masuk dalam ketegori yang harus disediakan pelayanan sipil mereka oleh negara misalnya, mereka tetap warga negara (citizen) dan sekali lagi Konstitusi kita menjamin keyakinan dan agama mereka.

Berdasarkan ini semua, saya berpandangan bahwa pihak yang mempermasalahkan ucapan selamat Menag pada kelompok Baha’i bukan merupakan offside, tapi itu merupakan afirmasi kepada kelompok minoritas. Bahkan pihak yang memprotes tersebut pada dasarnya adalah pihak yang offside Saya secara pribadi mendukung setiap upaya afirmatif, meskipun baru pada tahap ucapan, pada kelompok minoritas oleh pihak negara.

Harusnya, sebagai mayoritas, kita merasa senang, bahwa pihak negara atau pemerintah memperhatikan kehidupan keagamaan kelompok minoritas. Mengapa? Karena di dalam Konstitusi kita, penjagaan hak-hak keagamaan minoritas itu bukan hanya menjadi tanggung jawab negara namun juga menjadi tanggung jawab kita, masyarakat dan warga negara secara keseluruhan. Mayoritas yang sehat harusnya merasa senang karena sebagian tanggung jawab mereka sudah dilaksanakan oleh negara atau pemerintah.

Sebagai catatan, saya perhatikan dari masa ke masa, nampaknya sebagian dari kelompok mayoritas kita memang ingin meneguhkan diri mereka sebagai kelompok mayoritas yang galak dan mengawasi. Mereka anggap bahwa kelompok minoritas sebagai ancaman. Mereka berpikiran bahwa minoritas sebagai soal politik kontestasi, bukan soal hati nurani dan keadilan.

Padahal, sebagai mayoritas, mereka bisa mengambil peran lain. Peran yang mengayomi, melindungi dan mendorong kaum minoritas agar mereka mendapatkan pengakuan dari negara. Jika mereka sulit mendorong untuk mendapat pengakuan dari negara, maka doronglah sikap yang adil dan bijak pada mereka, paling tidak karena kenyataan politik, bahwa mereka adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan kelomppok yang lain.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.