Jumat, April 26, 2024

Apakah Keyakinan atau Agama Sedang Berada di Puncak?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Pertanyaan yang melekat pada judul tulisan ini menjadi relevan karena perkembangan dunia kini yang berada dalam dua kutub ekstrim. Kutub pertama, mereka yang berpikiran jika agama sudah tersingkir dari ruang publik. Agama atau keyakinan mulai kehilangan relevansi. Contoh yang diambil adalah kebijakan publik di belahan dunia sudah tidak dipengaruhi oleh agama. Lihat apa yang terjadi di Eropa, keyakinan atau agama disingkirkan.

Kutub kedua, mereka yang berpikir justru agama sekarang sedang menuju pada keterpengaruhan yang kuat di ruang publik. Di Indonesia sendiri sekarang agama atau keyakinan berpengaruh di ruang publik kita. Kehidupan politik juga dipengaruhi oleh agama.

Mana di antara dua kutub ekstrem di atas yang sesuai dengan perkembangan? Mari kita lihat sebuah negara adi daya, Amerika Serikat. Apakah agama atau keyakinan meminggir atau mendapatkan ruang yang tinggi di dalam kehidupan publik mereka atau secara khusus mungkin kehidupan politik.

Pew Research Center Januari 2023 merelease survei mereka dengan judul The Faith on the Hill. Kita semua tahu bahwa Amerika adalah negara yang menerapkan sekularisme dalam sistem politik mereka. Agama dan negara benar-benar memiliki porsinya sendiri-sendiri. Bahkan, sistem sekularisme Amerika menjadi model bagi negara-negara lain untuk mengikutinya.

Namun, apakah sistem sekularisme mereka membuat orang Amerika terlupa dengan keyakinan mereka? Ini ada fakta yang menarik terkait dengan agama bagi orang Amerika. Meskipun Amerika itu sekuler namun orang-orang Amerika ternyata memiliki afiliasi pada keyakinan atau yang cukup tinggi.

Release Pew Research Center ini mengemukakan gejala baru pada para politisi Amerika yang duduk di Kongres dimana prosentasi anggota kongres yang berafiliasi dengan agama dikatakan sedang berada pada posisi puncak.

Anggota Konggres ke 118 dikatakan oleh Pew Research Center bahwa “118th U.S. Congress is more Protestant than the general population, anggota congress ke 118 itu lebih protestan dibandingkan keprotestanan penduduk pada umumnya.

Mengapa demikian? Pada anggota konggress ke 118 ini dikatakan jika mereka yang berafiliasi ke Kristen sebanyak 469, prosentasinya 87.1 %. Di dalam kelompok Protestan, kelompok mana yang paling dominan di Konggres? Pew Research Center menyatakan jika dari pelbagai denominasi seperti Metodis, Baptis, Lutheran dlsb, maka yang terbanyak Protestan itu sendiri mencapai 56.7 % (303 anggota), lalu disusul Baptis 12.15 % (67 anggota), kemudian Metodis 5.8 % (31 %) dan kemudian lain-lainnya seperti Anglikan (4.1 %), Prebytarian (4.7).

Bagaimana Katolik? Anggota Kongres yang Katolik mencapau 148 (27.7 %). Lalu Mormon 9 (1.7 %) dan Kristen Ortodok 8 (1.5 %). Bagaimana anggota Kongres yang berlatar belakang Yahudi? Hal ini penting karena konon apa yang disebut dengan lobby Yahudi (Jewish Lobby) begitu kuatnya dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan publik di Amerika Serikat.

Menurut survei, anggota Konggres Yahudi memang cukup banyak. Mereka berjumlah 33 (6.2 %). Bandingkan dengan anggota konggres dari kalangan umat Islam yang berjumlah 3 (0.6 %), lalu Hindu dan Budha masing-masing 2 anggota (0.4%).

Namun apa yang ingin dikatakan sebagai “Keyakinan Sedang Berada di Puncak” dalam survei ini adalah memang kecenderungan dari masa ke masa di kalangan kongres atas afiliasi pada keyakinan memang tinggi. Bahkan pada Kongres 117, jumlahnya juga sangat tinggi. Tetap, Kristen yang mendominasi (88.1 %) di mana Protestan 54.4 % dan Katolik 19.8 %.

Prosentasi yang cukup tinggi di kongres ini menunjukkan bahwa kalangan politisi mereka memang berafiliasi pada agama atau keyakinan lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat biasa yang cenderung menurun dari masa ke masa. Hal menarik, apabila dibandingkan dengan di masyarakat. Bagian Kristen ternyata mengalami kemerosotan sejak 2007 dari 78% sampai ke 63 % sekarang ini.

Di kalangan orang dewasa Amerika jika ditanya tiga dari sepuluh orang Amerika menyatakan tidak berafiliasi dengan agama. Mereka menggambarkan diri mereka sebagai orang yang atheis dan agnostik atau sama sekali tidak menyebutkan apa-apa.

Dari apa yang terjadi di Amerika, terlihat kecenderungan bahwa justru elit politik mereka memiliki tingkatan afiliasi ke agama yang terus menanjak dan stabil, dan rakyat mereka yang menurun. Gejala apakah hal seperti ini? Apakah di kalangan elite politik –kongres—menanggap bahwa afiliasi agama sebagai hal yang harus mereka pertahankan untuk kepentingan politik mereka?

Bagaimana dengan kita? Saya belum menemukan atau membaca survei yang mirip dengan survei Pew Research Center di Amerika dengan Indonesia. Namun ada kecenderungan umum bahwa afiliasi bahkan tidak hanya itu menunjukkan kedekatan pada keyakinan dan keagamaan adalah hal yang juga masih tinggi di kalangan politisi kita.

Selain itu, di kalangan masyarakat, makna agama juga masih sangat penting. Di katakan oleh banyak kalangan bahwa atheisme di Indonesia semakin naik, namun belum ada data paling tidak survei yang membeberkan ini dengan jelas.

Justru apa yang terjadi adalah gejala mengagamakan semua hal di kalangan masyarakat, dari hal-hal yang kecil, sampai ke hal-hal yang besar, dari urusan privat (gaya hidup, hubungan keluarga) sampai hal yang publik (pemerintahan dan hukum), semua tidak lepas dari obyek pensyariatisasian.

Apa pun yang menjadi kecenderungan umum di kalangan masyarakat biasa dan elite politik kita tentang afiliasi keagamaan, maka itulah hal yang harus kita sikapi dengan bijak.

Saya melihat bahwa fenomena di Amerika dan juga di Indonesia soal afiliasi pada agama di kalangan politisi yang makin naik jika itu tidak bisa dihindarkan, maka hal yang penting adalah produksi kebijakan mereka untuk masyarakat yang tidak boleh memihak pada salah satu kelompok keagamaan.

Tidak boleh misalnya di Amerika yang mayoritasnya Kristen di Konggres, lalu mereka menyepakati hal-hal yang menguntungkan bagi orang Kristen saja. Demikian juga di Indonesia, tidak boleh misalnya, karena mayoritas anggota Parlemen kita adalah Muslim, maka kebijakan yang mereka keluarkan hanya mempertimbangkan kepentingan Muslim saja.

Sebagai catatan fenomena di Amerika Serikat dan Indonesia soal kemelekatan mereka dengan agama adalah hal yang tidak bisa terhindar, namun seluruh kebijakan dan aturan yang mereka putuskan harus imparsial, tidak memihak, dan untuk semua golongan manusia baik yang beragama maupun yang tidak.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.