Jumat, Maret 29, 2024

Apakah Cara Menangani Al Zaytun Sudah Sesuai dengan Kebebasan Beragama?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Hari-hari ini marak keinginan organisasi Islam mainstream untuk mempersoalkan lagi keberadaan Al-Zaytun setelah media menyiarkan pesantren ini melakukan shalat Idul Fitri dengan model shaft yang tidak lazim. Dengan ini, kabar soal pesantren Al-Zaytun yang sudah lama tidak terdengar, kini menjadi terdengar lagi. Organisasi mainstream Islam ini rata-rata menginginkan agar pesantren Al-Zaytun dinyatakan sesat.

Ponpes Al-Zaytun ini memang ponpes yang kontroversial. Banyak orang yang curiga karena dibangun dan diketuai oleh Panji Gumilang. Orang mengaitkan Panji Gumilang dengan gerakan Negara Islam Indonesia. Wapres merasa terusik dengan kabar jika pesantren al-Zaytun menyanyikan lagu Israel dan salam Yahudi.

Panji Gumilang harus dipanggil Kemenag dan MUI untuk diminta klarifikasi. Klarifikasi bisa saja dilakukan, apalagi oleh Kemenag sebagai wakil pemerintah. Namun jika klarifikasi itu dilakukan untuk menentukan al-Zaytun sebagai kelompok sesat itu hal yang mungkin akan problematik dalam konteks kebebasan beragama. Pemerintah yang seharusnya netral lalu menjadi tidak netral untuk semua kelompok keagamaan. Pemerintah yang seharusnya tidak memiliki kewenangan untuk penghakiman ajaran menjadi melampaui wewenangnya karena sudah meunuju kearah itu.

Jika Kemenag mau melakukan klarifikasi, maka cukup itu dilakukan dengan cara diskusi. Tidak perlu harus memanggil, namun bisa melakukan penelitian. Apalagi kini Kemenag juga konsen dengan moderasi beragama.

Namun saya juga berpikir kenapa Wapres Kyai Ma’ruf harus turun tangan untuk masalah ini? Bukankah ini akan menimbulkan kesan bahwa Kyai Ma’ruf seolah kembali menjadi Ketua MUI?

Mari kita lihat Panji Gumilang. Nama ini sering dikaitkan dengan NII KW -9-. Kata sebagian sumber, Abu Toto, nama lain dari Panji Gumilang, dianggap sebagai tokoh yang sangat berhasil melakukan rekrutmen dan penggalaman dana. Sebagian kalangan beranggapan jika melalui al-Zaytun inilah rekrutmen dilakukan dan penggalangan dana dikonsolidasikan.

Jika ini yang terjadi, maka selayaknya al-Zaytun bisa ditangani melalui cara lain, misalnya, melalui hukum yang menyatakan jika penggalangan dana dari masyarakat itu harus mendapatkan izin dari pemerintah.

Ya, sebagian kalangan yang kini mempersoalkan pesantren al-Zaytun berusaha untuk memperkuat argument mereka bahwa pesantren al-Zaytun itu layak dikatakan sebagai pesantren yang mengajarkan kesesatan karena pendirinya adalah Panji Gumilang.

Saya setuju sekali jika Panji Gumilang atau Abu Toto memiliki latar belakang yang terkait dengan NII dan NII itu terlibat dalam terorisme. Namun apakah latar belakang Panji Gumilang yang demikian ini lalu digunakan untuk menggugat kembalilagi keberadaan al-Zaytun sebagai pesantren yang sesat dengan cara yang selama ini sering dan sudah dilakukan. Cara apa itu? Mengadili pesantren al-Zaytun melalui fatwa MUI.

MUI sendiri akan bergerak untuk meneliti dan mengkaji al-Zaytun. Bahkan tidak tanggung-tanggung, hasil kajian MUI nanti akan dibawa ke Wapres RI, KH. Ma’ruf Amin sebagaimana dinyatakan oleh beliau.

Apakah tidak pernah ada klarifikasi pada al-Zaytun? Jawabnya pernah dan Kemenag pernah melakukan riset yang cukup intensif atas al-Zaytun. Dilihat dari keberadaan al-Zaytun yang ada sampai sekarang, nampaknya pesantren ini tidak apa-apa. Bahkan pada tahun 2011, Suryadharma Ali, Kemenag saat itu, merasa kesulitan untuk mengaitkan al-Zaytun dengan gerakan NII KW -9- yang identik dengan gerakan terorisme di Indonesia.

Ketika masalah shalat Idul Fitri yang mencampurkan lakukan laki-laki dan perempuan dalam barisan shalat yang tidak terpisah, maka itupun oleh Kemenag setempat dianggap tetap tidak menyimpang. Bahkan pengakuan mereka, bahwa cara shalat yang demikian sudah diberi jawaban oleh pengurus MUI Pusat, Marsudi Syuhud tetap dianggap sah.

Namun pernah suatu saat, al-Zaytun ini dianggap sebagai pondok pesantren yang modern dan mandiri dan tak lagi dicurigai. Banyak orang bicara Panji Gumilang sudah insaf dan membangun pesantren ini benar-benar untuk masyarakat. Kita juga tahu bahwa Panji Gumilang pernah menjadi ketua Ikatan Alumni UIN Jakarta. Bahkan dia menjabat selama dua periode, 2006-2013.

Bahkan, perguruan tinggi Islam milik al-Zaytun ini, pernah secara rutin dibantu tenaga pengajar, bukan secara formal namun secara individual dari para dosen UIN di Jakarta. Setiap weekend, sekian dosen UIN, dijemput menuju komplek al-Zaytun untuk mengajar di sana. Kebanyak adalah mereka yang sudah memiliki hubungan kepesantrenan dengan Panji Gumilang pada saat dia menjadi santri.

Apakah UIN Jakarta kecolongan pada saat itu dengan jabatan ini? Jika jabatan itu dipegang selama dua periode itu pasti tidak menunjukkan adanya kecolongan di sana. Lalu apa artinya? Mungkin UIN Jakarta saat itu percaya jika Panji Gumilang memang sudah tidak terkait dengan masa lalunya lagi, alias sudah bertobat.

Kembali lagi ke persoalan di atas yakni membawa kembali al-Zaytun pada penelitian dan penyelidikan kembali.

Dalam perspektif HAM, saya melihat bahwa al-Zaytun harus diberi hak untuk menjalankan keyakinan mereka. Sebagai insan pesantren, mereka mungkin ingin melakukan penafsiran dalam perspektif pengalaman mereka.

Jika MUI akan melakukan peninjauan kembali atas ajaran-ajaran al-Zaytun, maka hendaklah penelitian atas mereka bukan diletakkan dalam kerangka sesat dan tidak sesat. Cara seperti ini nampaknya tidak terlalu efektif karena tetap saja apa yang MUI definisikan sebagai aliran sesat tetap akan selalu ada. Selain itu, dalam konsepsi HAM, hal seperti itu juga tidak memperlakukan al-Zaytun sebagai kumpulan manusia otonom yang memiliki hak berkeyakinan dan beragama.

Saya hanya khawatir jika pengungkapan kembali masalah al-Zaytun ini terkait dengan persoalan politik 2024. Artinya, al-Zaytun akan dijadikan sebagai komoditas politik. Biar bagaimanapun al-Zaytun adalah komunitas yang cukup karena santri-santri, keluarga santri, jaringan mereka, adalah cukup potensial untuk dijadikan tambahan dukungan.

Namun intinya saya ingin menyatakan bahwa penanganan al-Zaytun dengan melibatkan pemerintah –Wapres dan Kemenag—tidak begitu memberikan citra baik pada Indonesia sebagai negara yang menunjung tinggi demokrasi dan HAM.

Penanganan al-Zaytun sebaiknya tidak dikaitkan dengan unsur keyakinan keagamaan mereka. Jika ditemukan indikasi al-Zaytun melanggar UU terorisme atau UU lainnya maka itu layak untuk dijadikan landasan mempersalahkan kembali mereka.

Sebagai catatan, pemerintah kita harusnya tidak mudah untuk mencampuri urusan keyakinan dan keagamaan masyarakat. Serahkan saja masalah itu kepada masyarakat sendiri dan posisi pemerintah cukup menjadi fasilitator yang adil bagi mereka.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.