Sabtu, April 20, 2024

Akar Teologis Bom Bunuh Diri di Indonesia

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Belum lama ini bom bunuh diri di Bandung. Pelakunya, Agus Sujatno, diduga mantan teroris. Ketika jenazahnya dibawa pulang, masyarakat sempat menolaknya karena jenazah ini dianggap seorang teroris.

Dalam catatan kali ini, saya ingin melihat sejak kapan persoalan bunuh diri menjadi pembahasan, mengapa orang melakukan bunuh diri dan bagaimana pandangan agama-agama pada bunuh diri dan bagaimana bunuh diri dengan bom atau meledakkan diri sendiri, sejak kapan ini terjadi?

Bunuh diri bukan fenomena baru. Dalam perjalanan umat manusia di bumi, bunuh diri adalah cerita yang sudah lama dan masih terjadi sampai sekarang. Beberapa agama, baik Islam, Kristen, maupun Yahudi mengutuk bunuh diri. Namun beberapa agama yang mengizinkan umatnya untuk bunuh diri.

Kaum Brahmans India misalnya membolehkan seseorang untuk bunuh diri dalam keadaan tertentu. Sati (suttee), janda yang bunuh diri, misalnya menjadi hal yang dibolehkan bahkan sangat dihargai. Dalam tradisi Yunani Kuno, pelaku kriminal yang terbukti kesalahannya juga diizinkan untuk bunuh diri. Di Jepang, bunuh diri juga dikenal (hara-kiri). Pendek kata, bunuh diri memiliki akar sejarah yang komplek.

Begitu fenomenalnya bunuh diri, masalah ini menjadi perhatian banyak kalangan sarjana untuk menelitinya dari berbagai sudut atau cara pandang. Emile Durkheim, seorang ilmuwan awal dalam bidang sosiologi dari Prancis menulis buku khusus soal suicide didasarkan pada riset yang dia lakukan pada masyarakat. Judul buku Durkheim yang terbit pada tahun 1897 adalah Suicide: A Study in Sociology, buku pertama yang secara metodologis dan teoritis membahas fenomena sosial bunuh diri. Dari studi ini, motif dan sebab bunuh diri itu bermacam-macam. Lalu, sejak kapan bom bunuh diri itu terjadi?

Meskipun bahan ledakan (TNT, trinitrotoluene) sudah lama ada, namun bunuh diri menggunakan bom itu hal baru, fenomena abad 19, yang dilakukan oleh kelompok anarkis yang mempropagandakan kematian sebagai ibadah (propaganda of deed). Para dynamiter menggunakan bom bunuh diri untuk melawan rezim.

Bunuh diri dengan bom di era kontemporer itu terjadi di Lebanon pada tahun 1981. Namun bom bunuh diri yang menjadi perhatian dunia itu baru terjadi dua tahun berikut, 1983, ketika itu mengarah Kedutaan Amerika Serikat di Beirut. Bom bunuh diri itu mengorbankan 66 korban. Bom bunuh diri dengan mobil pada saat yang sama yang menyerang barak militer Prancis dan Amerika yang mengorbankan 299 orang. Bom bunuh diri dengan mobil ini dilakukan oleh Hezbulloh, kelompok Syiah, yang menginginkan perginya tentara Prancis dan Amerika dari Lebanon.

Lalu, dari sini, bunuh diri dengan memakai bom menjadi metode yang favorit bagi kalangan pemberontak dan teroris, tidak hanya dari kalangan Muslim, tapi juga non-Muslim, mulai dari Pemberontak di Srilanka sampai pemberontak Muslim Chechnya.

Bagaimana dengan bom bunuh diri di kalangan masyarakat Muslim? Bom 1981 pertama di kalangan masyarakat Muslim di Lebanon itu adalah bom bunuh diri terorisme Muslim. Hezbollah memang dianggap oleh banyak kalangan sebagai teroris terutama oleh Barat dan juga oleh kalangan Sunni. Konsep bunuh diri dikaitkan dengan istishhad (keinginan untuk mati syahid) dan jihadisme. Pengaitan ini sebenarnya sangat jauh dengan nilai-nilai asali Islam.

Namun menariknya, bom bunuh diri yang diawali oleh kelompok Syiah ini lalu juga ditiru atau diadopsi oleh kelompok Sunni. Kaum Salafi-jihadi dari Sunni seperti ISIS, al-Qaedah dan juga Jamaah Islamiyah.

Menurut catatan GEM (Global Extremism Monitor) ada sebanyak 888 kasus bom bunuh diri pada tahun 2017 saja. Ada sebanyak 1643 serangan para pengebom terjadi di 27 negara.

Meskipun bom bunuh diri itu bisa dilakukan oleh siapa saja, apapun keyakinan dan agama mereka, namun ada tendensi pasca peristiwa 11 September, kebanyakan pelaku adalah dari kalangan organisasi Muslim.

Boko Haram adalah organisasi teroris di Nigeria yang sangat kejam, tanpa ampun dalam melaksanakan terornya kepada masyarakat. Pada tahun 2017, ada sekitar 189 bunuh diri dengan bom dari Boko Haram yang mentarget Nigeria sendiri, Cameron dan Chad. Korban yang terbunuh juga cukup banyak yakni 449 orang. Jika dikalkulasi perbualan, rata-rata suicide bombing dari mereka berjumlah 16 peristiwa.

ISIS Khorasan –ISIS yang beroperasi di Afghanistan dan Pakistan melakukan bom bunuh diri sebanyak 33. Korban dari tindakan ini adalah 504 dan mayoritas mereka adalah penduduk sipil (480). ISIS Khorasan ini menargetkan kelompok Syiah dan Sufi. Mengapa? Karena bagi mereka Syiah dan Sufi bukan bagian dari Islam. Islam bagi mereka adalah Sunni.

Berbeda dengan ISIS Khorasan, ISIS yang beroperasi di Iraq dan Syiria, menurut catatan GEM, ada sebanyak 411 serangan bunuh diri (suicide attacks). Mereka yang terbunuh akibat serangan ini adalah 2299 dimana 876 adalah penduduk sipil sementara 939 adalah pasukan keamanan.

Taliban, rezim yang saat ini berkuasa di Afghanistan, sepanjang 2017 juga melancarkan serangan bunuh diri sebanyak 96 kali dan korbannya cukup lumayan yaitu 617 orang.

Perlu diketahui bahwa pelaku serangan bom bunuh diri itu tidak hanya terdiri dari kalangan laki-laki namun juga kalangan perempuan. Fenomena ini sangat menarik karena kalangan perempuan, bagi kelompok-kelompok militan yang saya sebutkan di atas, sangat membatasi peran perempuan mereka.

Menurut catatan GEM ada sebanyak 100 serangan bunuh diri pada tahun 2017 yang dilakukan oleh 181 perempuan militan.

Kembali pada kasus di Bandung, pelaku bunuh diri pada dasarnya adalah orang yang secara historis tidak bisa lepas dari kelompok-kelompok yang saya sebut tadi, entah mereka terlibat JI, al-Qaedah atau yang ISIS dan Taliban. Di Indonesia sendiri, akar teologis dan historis serangan bunuh diri ini bukan berasal dari negeri ini. Katakanlah Bom Bali I, Bom Kuningan dlsb, adalah mereka yang pernah terlibat atau menjadi anggota terorisme jaringan internasional.

Jika kita hitung dari segi jumlah, memang serangan bunuh diri berkurang, namun itu sama sekali tidak menjustfikasi bahwa serangan bunuh diri sebagai hal yang benar. Sama sekali tidak demikian.

Sebagai catatan, yang kita lihat dari serangan bunuh diri bukanlah asal usul dan didorong apa ini dilakukan, namun dilihat hasil akhirnya. Hasil akhirnya pasti merugikan kita semua.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.