Sabtu, April 27, 2024

Taman Nasional: Ada Tuhan di Pepohonan

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa

Burung pekaka emas, dengan bulu biru mengkilat di punggungnya, bertengger di dahan kering pinggir sungai lebar itu. Beberapa monyet ekor panjang bercengkrama di dekat lumpur pembatas air. Satu pasang berpacaran di dekat lubang-lubang jejak kaki gajah yang mengering.

Sungai Way Kanan yang bermuara di Laut Jawa adalah atraksi alam mencengangkan di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Di situ pula pekan lalu saya melihat buaya muara sedang menyusuri bibir sungai; buaya pertama yang saya lihat dalam habitat aslinya.

Jika beruntung kita bisa melihat tapir, beruang madu, atau kawanan rusa yang tengah minum air sungai. Tapi, saya hanya melihat jejak mereka di lumpur. Way Kambas juga menghidupi sekitar 30 badak sumatra terakhir. Dan belasan harimau sumatra terakhir pula.

Sebagai sebuah kawasan konservasi atau taman nasional, Way Kambas seharusnya menjadi kebanggaan nasional Indonesia. Meski merupakan kawasan transmigrasi paling tua, sejak zaman Belanda, ekosistem hutan dataran rendahnya masih lumayan terjaga. Lebih dari itu, dia masih pantas disebut etalase dari keragaman hayati Sumatra yang menjelang punah.

Taman Nasional: Ada Tuhan di Pepohonan

Menyusuri hutan, gunung dan sungai merupakan perjalanan spiritual bagi saya. “Ada Tuhan di butiran pasir, kelopak bunga dan pepohonan yang kita lihat,” kata Paulo Coelho. Saya setuju dengan sastrawan penulis The Alchemist itu.

Tak hanya memperkaya, perjalanan ke beberapa taman nasional membawa rasa syukur dan bangga.

Indonesia memiliki etalase alam seluas 27 juta hektar, sebagian darinya berisi 50 taman nasional. Mereka mewakili ekosistem yang sangat beragam. Dari ekosistem pegunungan bersalju seperti Taman Nasional Lorentz di pedalaman Papua; ekosistem hutan basah di Leuser, Aceh; ekosistem rawa di Aopa Watumohae, Sulawesi Tenggara; hingga ekosistem laut Wakatobi.

Taman Nasional: Etalase Alam Indonesia

Tak terlalu mengherankan sebenarnya. Indonesia memiliki ekosistem hutan mangrove terbesar di dunia, terumbu karang dan padang lamun terluas, hutan tropis yang hanya kalah dari Amazon di Brazil serta bentang alam khas mengingat posisinya sebagai negeri vulkanik terbesar di dunia.

Kekayaan itulah yang sejak ratusan tahun lalu menjadi sumber kekaguman peneliti dan penjelajah dunia. Sekitar 150 tahun silam, Alfred Wallace, petualang Inggris, merekam keragaman flora-fauna negeri kita lewat buku tebalnya, “The Malay Archipelago”, yang sekaligus merupakan buku sejarah alam Indonesia.

Taman-taman nasional Indonesia adalah buku terbuka sejarah alam kita; alam yang mendefinisikan jati diri manusia Indonesia. Namun, sayang, sebagian darinya mulai rusak, dan potensial punah tanpa pernah anak-anak Indonesia sendiri mengenalnya.

Taman Nasional, Kebanggan Nasional

Di banyak negara, taman nasional menjadi simbol kebanggaan nasional. Orang Amerika, misalnya, bangga akan Yosemite dan Yellowstone National Park yang terkenal seantero dunia. Tak hanya itu mengilhami inisiatif-inisiatif pelestarian alam di sana, tapi juga memperkuat identitas bangsa.

Budaya manusia terikat pada alamnya. Kita memerlukan inspirasi dari alam yang murni bahkan jika ingin memperbaiki kota-kota yang sekarang tercekik macet, polusi udara, buruknya sumber air dan banjir karena sungai yang rusak. “Kita memerlukan obat dari liarnya alam,” kata filosof Amerika Henry David Thoreau.

Banyak karya seni dan budaya masyarakat tradisional diilhami oleh alam. Pada, motif tato orang Mentawai, misalnya. Pada burung rangkong yang menghiasi pahatan kayu suku-suku Dayak Kalimantan. Dan alam Indonesia, flora dan faunanya, belum akan habis menjadi sumber inspirasi seni masa kini dalam berbagai bentuknya: musik, film, lukisan, puisi, novel, maupun tarian.

Taman Nasional Sumber Seni-Budaya

Ketidakpedulian kita terhadap taman nasional mencerminkan pengabaian kita terhadap lingkungan alam, yang antara lain dipertontonkan lewat tragedi memalukan kabut asap kebakaran hutan setiap tahun. Tapi, yang lebih penting, pengabaian pada identitas diri kita sebagai bangsa.

Memperkenalkan dan mendorong kecintaan pada taman nasional diharapkan akan memperkuat kepedulian kita pada pelestarian alam secara luas. Baik di kalangan masyarakat, perusahaan swasta, maupun pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Dengan begitu, kampanye “hidup ramah lingkungan” tak berhenti menjadi slogan belaka.

Alam mendefinisikan peradaban manusia dan identitas bangsa. Dengan mengenal dan menghayati keberadaannya, kita mengenal diri kita sendiri.***

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.