Ada tanda-tanda Revolusi Mental, salah satu janji kampanye terpenting Jokowi, akan gagal menghadapi ujian krisis yang di depan mata.
Waktu satu tahun mungkin terlalu pendek untuk bisa menilai program dan sasaran Revolusi Mental. Tidak terlalu mudah pula menakar sukses atau gagal suatu program yang cenderung abstrak.
Tapi, kurun satu tahun mungkin cukup untuk melihat apakah ada jejak “perubahan mental bangsa”. Dan secara kasatmata dengan aman kita bisa mengatakan perubahan itu sangat minimal, jika ada.
Tujuan besar pemerintah dalam revolusi mental meliputi memperkokoh kedaulatan, meningkatkan daya saing, dan mempererat persatuan bangsa.
Dalam sasaran yang lebih nyata: meningkatkan etos kemajuan, etika kerja, motivasi berprestasi, disiplin, taat hukum dan aturan, berpandangan optimistis, produktif, inovatif, adaptif, kerja sama dan gotong royong, serta berorientasi pada kebijakan publik serta kemaslahatan umum.
Secara filosofis, “revolusi mental” bukanlah hal baru. Ketika republik masih berusia muda, 12 tahun, Presiden Soekarno melihat ada tanda-tanda melemahnya semangat kebangsaan yang diilhami Proklamasi Kemerdekaan 1945. Bung Karno meluncurkan gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi “manusia baru yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala”.
Itu juga selaras dengan slogan Trisakti Bung Karno: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan.
Revolusi mental pada dasarnya adalah sebuah rekayasa sosial. Dalam konteks bernegara, rekayasa sosial itu dibentuk oleh kebijakan publik pemerintah.
Benarkah, misalnya, kebijakan yang ditempuh pemerintah mengarahkan kita pada kemandirian politik dan ekonomi, bukan ketergantungan pada utang? Mendorong kesadaran tentang kemaslahatan umum dan kebajikan publik, bukan kepentingan privat? Apakah memicu solidaritas, bukan memantik egoisme individual?
Banyak aspek itu akan diuji, terutama saat dihadapkan pada situasi krisis. Meski belum benar-benar buruk, kini kita di tubir krisis keuangan serta ekonomi, yang akan berdampak pula pada krisis sosial.
Pekan lalu lembaga kajian Institute for Development of Economics and Finance mengeluarkan rapor semester pertama pemerintahan Presiden Jokowi.
Rapor merah. Tak hanya pertumbuhan ekonomi merosot serta inflasi tinggi, yang menyeret turun tingkat kesejahteraan masyarakat, tapi juga naiknya angka ketimpangan.
Tren ketimpangan tinggi dalam ekonomi yang sudah terjadi pada pemerintahan sebelumnya, yang terburuk dalam sejarah republik, berlanjut ke tingkat lebih mengkhawatirkan sekarang.
Kebijakan menaikkan harga bahan bakar, serta menyerahkannya ke mekanisme pasar, telah memicu inflasi dan turunnya daya beli terutama orang miskin serta rentan miskin. Tingginya ketergantungan pada impor menggarami luka ketika rupiah melemah. Besarnya porsi ekspor bahan mentah, bukannya produk jadi dan olahan, terpukul oleh merosotnya ekonomi negeri tujuan seperti Tiongkok dan India.
Utang luar negeri sektor swasta juga membengkak di tengah melemahnya nilai rupiah, yang jika tak hati-hati bisa mengulang krisis moneter 1998. Krisis itu memicu rontoknya Orde Baru, persis 17 tahun silam. Obsesi pada pembangunan infrastruktur besar potensial menggusur orang-orang miskin, yang selanjutnya memicu keresahan sosial.
Krisisnya fundamental dan bertubi-tubi. Kecenderungan privatisasi sektor publik dan cara berpikir privat, bahkan di kalangan pemerintahan, makin memperlemah solidaritas sosial, satu modal yang sangat penting untuk bersama-sama menghadapi badai.
Melihat dan mendengar sekilas reaksi pemerintah ataupun publik terhadap bayang-bayang kritis itu, kita bisa membuat kesimpulan sederhana: sangat sedikit optimisme, terlalu tinggi semangat saling menyalahkan (bahkan di kalangan pemerintah sendiri), serta merosotnya solidaritas.
Ada tanda-tanda Revolusi Mental pemerintahan Jokowi gagal menghadapi ujian krisis yang di depan mata. Kata-kata manis sudah tidak cukup bisa menghibur, sementara bulan madu sudah berlalu.
Saya membayangkan, dihadapkan pada krisis itu, Presiden Joko Widodo bersama para pejabat tinggi negara, termasuk parlemen, bisa mengilhami solidaritas untuk menjalani kesulitan secara bersama- sama. Pertama-tama dengan menunjukkan secara tulus adanya sense of crisis, mengubah gaya hidup keseharian. Lalu secara serius mengubah paradigma dan orientasi pembangunan, serta mencerminkannya dalam kebijakan publik yang sesuai.
Di situlah Revolusi Mental, yang jadi slogan kampanye presiden Jokowi, menemukan urgensinya.