Kamis, April 25, 2024

Musik Merdeka Cara Ivan Hadar

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa

 

Anak-anak jalanan dalam Jakarta Philharmonic membawakan sebuah pentas bertajuk "Musik yang Membebaskan" di Goethe Haus, Jakarta. GeoTIMES/ Andrey Gromico
Anak-anak jalanan dalam Jakarta Philharmonic membawakan sebuah pentas bertajuk “Musik yang Membebaskan” di Goethe Haus, Jakarta. GeoTIMES/ Andrey Gromico

Pendidikan harus bisa membangun kesadaran untuk memanusiakan manusia.

Tutur katanya lembut. Tapi analisisnya tajam. Begitulah saya mengenal Ivan Hadar, seorang teman dan sosiolog, yang meninggal di Berlin, Jerman, bulan lalu. Serangan jantung menyergapnya pada usia 64 tahun.

Kabar kematiannya mengejutkan. Bagi saya, itu hampir sama mengejutkannya ketika dalam pertemuan terakhir kami, beberapa bulan lalu, dia mengajak menyelenggarakan konser musik. Saya baru tahu Ivan suka musik.

Selama ini saya hanya mengaguminya sebagai pengamat sosial yang tajam. Tulisan-tulisannya membawa sudut pandang unik tentang kemiskinan dan pembangunan. Dia pernah menjadi konsultan UNDP, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani masalah pembangunan. Ivan juga memimpin sebuah lembaga pemberdayaan politik, Institute for Democracy Education.

Tapi, musik? Ivan ternyata juga menjadi pengurus Yayasan Philharmonic Society yang belakangan ini mempromosikan pentas The Jakarta Philharmonic Orchestra, kelompok orkestra tertua di Indonesia.

Akhir tahun lalu The Jakarta Philharmonic Orchestra menyelenggarakan pentas “Musik yang Membebaskan”. Dipimpin konduktor terkemuka Indonesia saat ini, Yudianto Hinupurwadi, pagelaran itu menawarkan sesuatu yang radikal. Orkestra dimainkan 150 anak pemulung dan penghuni kawasan kumuh pinggir Sungai Ciliwung.

Bagi Ivan, musik memang tak terlepas sama sekali dari masalah demokrasi, pembangunan dan pengentasan kaum marjinal dari lembah kemiskinan. Dalam beberapa tahun terakhir, Yayasan Philharmonic memang memberikan pendidikan musik bagi anak dan remaja masyarakat miskin. Ivan yakin, di samping memupuk empati sosial dan solidaritas, musik bisa memberikan bekal bagi anak-anak tak mampu untuk keluar dari kungkungan kemiskinan dan keterpinggiran.

“Musik bisa menanamkan rasa percaya diri untuk keluar dari stigma sebagai orang pinggiran,” kata Ivan. “Menanamkan rasa percaya diri bahwa mereka bisa, mereka mampu, dan mereka setara dengan anak-anak lain.”

Tidak mudah mengenalkan orkestra pada anak-anak yang sama sekali belum pernah memegang biola, pianika, dan perkusi. Salah satu metode penting dalam pengajaran ini adalah passion first: terlebih dulu kesukaan, semangat dan gairah bermusik, bukan keterampilan memainkan alat musik. Anak-anak itu tidak dibebani hal teknis, seperti notasi dan lainnya.

Inisiatif Ivan Hadar itu tidak orisinal. Dia terilhami José Antonio Abreu dari Venezuela, tokoh yang menggabungkan berbagai minat ke dalam dirinya: penggubah lagu, konduktor, politikus, dan ekonom sekaligus.

Pada 1975 Abreu mendirikan orkestra mini beranggotakan 12 anak muda dari kelompok termiskin di kawasan kumuh Caracas, ibu kota Venezuela. Abreu juga merintis sekolah musik El Sistema. Empat puluh tahun kemudian El Sistema bukan lagi sekadar sekolah, tapi sudah menjadi gerakan sosial besar melibatkan 300.000 anak miskin di Venezuela. Konsep ini ditiru negara-negara lain di Amerika Latin, Eropa, dan Korea Selatan.

“Pendidikan musik yang membebaskan bisa menjadi gerakan penting bagi pemberantasan kemiskinan sekaligus peningkatan kualitas pembangunan manusia sebuah bangsa,” kata Ivan.

Sekitar 25 juta orang Indonesia yang dikategorikan sebagai orang miskin absolut saat ini. Sekitar 10 juta adalah anak dan remaja usia sekolah. Sebagian dari mereka harus bekerja membantu ekonomi keluarga, sehingga tak jarang terpaksa drop-out.

Salah satu pemikiran utamanya adalah bahwa pendidikan harus bisa membangun kesadaran untuk memanusiakan manusia. Hal ini berlaku untuk semua, termasuk untuk anak-anak dari kelompok marjinal dan miskin.

Sandyawan Sumardi, pastor Katolik yang mengasuh anak-anak Komunitas Ciliwung Merdeka, mengatakan: musik bukan cuma katarsis atau pelampiasan frustrasi masyarakat miskin pinggir Sungai Ciliwung. “Musik membuat imajinasi mereka hidup dan kreatif. Musik memberi mereka alat dan semangat menjebol segala keterbatasan ruang dan fasilitas.”

Dalam pertemuan kami terakhir, Ivan mengatakan ingin mempersering konser serupa yang melibatkan anak-anak miskin. Dia juga memperluas pendidikan musiknya menjadi semacam gerakan sosial seperti El Sistema di Venezuela.

Sayang, ajal lebih dulu menjemput Ivan. Bagaimanapun, inisiatif “musik membebaskan” yang dirintisnya akan menghantui mereka yang masih hidup. Saya. Dan, kita juga. ***

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.