Dua dasawarsa dari sekarang, 2040, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 300 juta jiwa, sekitar 60% ada pada usia produktif. Sejumlah pengamat ekonomi memperkirakan Indonesia kala itu dikaruniai dengan “bonus demografi”, yakni ketika penduduk usia produktif lebih banyak dari usia tak produktif (anak dan lansia).
Sejumlah pejabat pemerintah dan ekonom mengatakan “bonus demografi” akan mengantarkan Indonesia menjadi negeri makmur dengan pertumbuhan ekonomi tinggi. Indonesia akan mampu bersaing, katanya, bahkan besar peluang menjadi pemenang dalam perlombaan ekonomi global.
Indonesia mungkin akan berjaya sesuai banyak prediksi tadi. Namun, banyak upaya harus dilakukan untuk mewujudkannya. Memiliki jumlah besar penduduk berusia produktif adalah satu hal, kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan sosial adalah soal lain.
Atau Bom Demografi?
Bagaimana jika jumlah penduduk yang besar itu justru berkualitas rendah, baik dari segi pendidikan maupun kesehatan? Alih-alih menikmati “bonus demografi”, Indonesia justru menderita “bom demografi”: biaya kesehatan yang meroket sementara produktivitas tenaga kerja justru merosot.
Sumber daya manusia kita cenderung lemah. Sebagian besar angkatan kerja Indonesia, sebanyak 76,4 juta orang (64% angkatan kerja) hanya berpendidikan SMP atau lebih rendah.
Data statistik, khususnya yang termuat dalam Laporan Indeks Pembangunan Manusia (HDI Report) 2016 versi UNDP, yang terbit April lalu, menunjukkan bahwa Indonesia masih harus terengah-engah jika mau bersaing di Asean.
Kualitas pembangunan manusia di Indonesia masih mengkhawatirkan. Menurut laporan itu, Indonesia berada pada peringkat ke-113, bukan yang terburuk di Asean tapi masih jauh di bawah Venezuela yang dilanda konflik politik dan Srilanka yang masih dibayang-bayangi perang saudara. Indonesia di bawah negeri Afrika seperti Botswana.
Indonesia masuk kategori negeri dengan tingkat pembangunan manusia medium-rendah, sementara Malaysia, Brunei, Singapura dan Thailand masuk kategori tinggi. Indeks Pembangunan Manusia sedikit-banyak mencerminkan kualitas manusia dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Balita Kurang Gizi
Data-data pemerintah sendiri menunjukkan bahwa prevalensi stunting nasional (fenomena kurang gizi atau malnutrisi) masih cukup tinggi mencapai 37,2 persen pada 2013. Angka itu turun menjadi 27,5 persen pada 2016.
Namun, angka itu masih sangat jauh dari standar rekomendasi WHO: angka balita kurus dan sangat kurus harus di bawah 5 persen.
Dalam kondisi sekarang, pertumbuhan tak maksimal diderita oleh sekitar 8 juta anak Indonesia, atau satu dari tiga anak Indonesia. Mengingat adanya ketimpangan, kondisi beberapa provinsi lebih buruk: stunting di Nusa Tenggara Timur misalnya, mencapai 50% anak. Bom demografi yang sebenarnya.
Prevalensi stunting nasional di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar, Vietnam, dan Thailand.
Mutu sumber daya manusia terkait dengan tingkat kemiskinan yang relatif tinggi. Faktor kesehatan menyumbang kemiskinan secara keseluruhan.
Kecilnya Anggaran Kesehatan
Kualitas manusia, khususnya dari aspek kesehatan, ditentukan oleh kepedulian pemerintah yang tercermin dalam anggaran negara. Anggaran publik untuk kesehatan di Indonesia, menurut data Bank Dunia, termasuk yang paling rendah di Asia, bukan cuma Asean.
Anggaran yang rendah tercermin dalam cakupan dan kualitas layanan kesehatan. Indonesia memiliki rasio dokter/penduduk yang paling rendah di Asean, hanya lebih baik dari Laos. Sebagian besar dokter pun lebih banyak terkonsentrasi di Jawa dan Indonesia bagian barat. Penyebaran sangat tidak merata.
Kurangnya tenaga kesehatan setingkat dokter membuat banyak persalinan dilakukan oleh bidan desa, yang tingkat pengetahuannya kurang bagus. Itu tercermin dalam tingginya angka kematian ibu dan bayi.
Tingginya angka kematian bayi dan balita di Indonesia juga mencerminkan lemahnya layanan kesehatan. Termasuk di dalamnya layanan penyuluh kesehatan, seperti tercermin dalam prosentase balita kurang gizi. Demikian pula dengan tingkat kematian tinggi akibat malaria dan tuberculosis.
Terlalu Miskin untuk Datang Berobat
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah meluncurkan BPJS. Namun, BPJS bukanlah dana publik (negara). BPJS pada dasarnya adalah asuransi. Pemerintah hanya membantu membayar premi warga miskin.
Banyak kasus di daerah, orang miskin bahkan terlalu miskin untuk bisa datang berobat bahkan jika biaya pengobatannya gratis. Apalagi jika mereka dirujuk ke rumah sakit yang jauh dari rumah.
Keberadaan BPJS juga belum dibarangi dengan peningkatan layanan kesehatan. Kalangan menengah tetap lebih mengandalkan layanan kesehatan swasta yang juga makin banyak jumlahnya dan cenderung makin mahal.
Naiknya Biaya Berobat
Tower Watson Global Medical Trend Survey pada 2014 menyebutkan bahwa biaya kesehatan di Indonesia meningkat 80% dalam kurun lima tahun (2009-2014).
Indikator lain menunjukkan, Indonesia memiliki angkatan kerja yang besar. Namun, besarnya jumlah angkatan kerja, jika tidak dibarengi dengan kualitas pendidikan serta kesehatan justru hanya akan menjadi beban pemerintah ketimbang peluang untuk memenangkan persaingan dagang.
Indonesia harus mendahulukan pembangunan manusia jika tak ingin bonus menjadi bom demografi. *