Ada setidaknya dua aspek yang perlu dibicarakan tentang jalan-jalan tol yang kini demen diresmikan Presiden Jokowi.
Pertama, layakkah pemerintah/presiden mengklaim itu sebagai prestasinya?
Kedua, apakah itu proyek yang bermanfaat bagi bangsa kita, terutama dilihat dari ongkosnya?
Jalan tol Trans Jawa dan Sumatra dibangun oleh BUMN dari utang. Waskita Karya, yang banyak membangun ruas tol Jawa, kini sedang giat menjual ruas itu kepada swasta untuk membayar utang. Jualan itu bisa laku atau tidak laku.
Agar laku, tarifnya harus cukup bagus. (Konsumen harus merogoh kocek lebih dalam). Tapi, jika tarif terlalu tinggi, jalan tol akan sepi (seperti sekarang) dan calon pembeli mungkin akan pergi. Murah atau mahal, itu murni pertimbangan pasar.
Tarif tol kini ditentukan Menteri PU tanpa harus berkonsultasi dengan DPR. Artinya tidak ada deliberasi publik.
Taruhlah jualan itu laku. Maka jalan tol akan dioperasikan oleh swasta yang berorientasi profit. Kita tahu hubungan yang mungkin timbul dari situ adalah semata hubungan jual-beli antara konsumen (pemakai jalan tol) dengan operator. Bukan hubungan antara warga negara dengan penyelenggara layanan publik.
Dari situ, apa peran yang bisa diklaim pemerintah/presiden?
Jika jualan tidak laku, BUMN seperti Waskita Karya terancam bangkrut. Siapa yang akan menanggung utang? Pemerintah. Dari mana uang pemerintah? Dari pajak atau alokasi anggaran sosial yang semestinya dinikmati warga negara.
Dari segi ini, lagi-lagi, apa yang bisa diklaim sebagai sukses pemerintah/presiden? Laku atau tidak laku, konsumen dan warga negara lah yang membayar.
Dulu, di pinggir Jagorawi (tol pertama zaman Soeharto) ada tulisan besar: “Jalan ini dibiayai dengan obligasi (utang) yang Anda bayar.” Bahkan pemerintah Orde Baru yang korup itupun tidak mengklaim jalan tol sebagai prestasinya; melainkan memberi pengakuan bahwa konsumen lah yang membiayai pembangunan jalan itu.
Jangan lupa, ada banyak konglomerat swasta yang diuntungkan oleh obsesi infrastruktur jalan tol pemerintah (sejak Soeharto hingga Jokowi). Yang paling awal adalah Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut). Aburizal Bakrie dan Hary Tanoesoedibjo juga pernah bisnis tol, meski kini sudah dilepas ke Jasa Marga. Sandiaga Uno juga belakangan ini masuk ke bisnis tol, yang akan makin berkibar jika Prabowo-Sandi menang.
Sebagian konglomerat membuat sinergi jalan tol dengan bisnis mereka lainnya: mobil (Astra, Bosowa) dan real-estate (Sinar Mas, Agung Sedayu). Daftar perusahaan swasta pengelola jalan tol misalnya: Citra Marga Nusaphala Persada milik Tutut Soeharto, Nusantara Infrastructure milik Salim Group, Bosowa Marga Nusantara milik Keluarga Jusuf Kalla, Lintas Marga Sedaya milik perusahaan Sandiaga Uno. Yakin rakyat yang diuntungkan?
Bagaimana dengan aspek kedua menyangkut manfaat vs mudharat?
Jalan tol memperlemah sistem transportasi publik. Jalan tol ikut memicu naiknya jumlah mobil pribadi. Di era Jokowi, jumlah mobil penumpang kecil naik dari 12,5 juta pada 2014 menjadi 16,5 juta sekarang (peningkatan 1 juta unit setiap tahun). Dari jumlah itu lebih dari 70% ada di Jawa.
Tak hanya peningkatan itu memperparah kemacetan; tapi juga meningkatkan konsumsi bensin. Konsumsi bensin kita naik dua kali lipat dari 25 juta liter pada awal Pak Jokowi berkuasa menjadi 55 juta liter pada 2018.
Sampai sekarang kita masih mengimpor bensin dari Singapura (produksi dalam negeri hanya separo kebutuhan). Konsumsi yang meningkat jelas makin membuat kita tergantung pada bensin impor. Neraca perdagangan kita, yang sekarang sudah defisit, akan bertambah tekor.
Dampak ekonominya bisa sangat jauh: defisit transaksi berjalan; melemahnya rupiah; rentan utang dan peka terhadap gejolak harga minyak dunia. Belum lagi jika kita menghitung biaya tersembunyi: polusi, pemborosan energi dan ekonomi biaya tinggi akibat macet.
Jalan tol bukan solusi transportasi dan logistik. Dalam soal ini pemerintah keliru: selalu mengikuti trend; membangun jalan tol untuk mengimbangi kenaikan jumlah kendaraan (yang akan terus keteteran).
Yang semestinya dilakukan adalah mengubah trend: memperkuat transportasi publik massal; membatasi transportasi pribadi. Alih-alih memecahkan masalah, jalan tol justru memperparah masalah transportasi.
Dulu saya pernah menulis bahwa arah pembangunan Pemerintahan Jokowi adalah meniru/melanjutkan rencana Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono: dari pembangunan infrastruktur Jalan (Trans-Sumatra, Trans-Papua); pemujaan pada perkebunan sawit dan tambang batubara (Sumatra-Kalimantan); hingga pengembangan pertanian swasta skala besar (food estate Merauke).
Kini dengan obsesi membuat Jalan Tol, kecurigaan saya menguat. Di mana letak revolusi mental? Renungan untuk mengubah arah/paradigma pembangunan jika yang dilakukan tak lebih baik dari pemerintah sebelumnya.