Mata orang seluruh dunia akan tertuju ke Central Park, New York, pekan depan, ketika sejumlah pesohor seperti Beyonce, One Direction, Pearl Jam, dan Coldplay manggung. Mereka terlibat dalam Festival Warga Dunia, sebuah kolaborasi kampanye sosial terbesar sepanjang masa.
Disiarkan melalui berbagai saluran internet dan media sosial selama tujuh hari penuh, mereka meneriakkan pesan ke setiap telinga umat manusia: “It’s Time To Change The World.” Tapi, sebenarnya apa yang mereka ingin ubah dari dunia ini?
Dunia yang lebih adil dan peduli. Perhelatan besar itu menyertai peluncuran program global baru Perserikatan BangsaBangsa: Sustainable Development Goals, atau Sasaran Pembangunan Berkelanjutan.
Berisi 17 sasaran, program ini berambisi menghapus kemiskinan sepenuhnya pada 2030, melawan ketimpangan dan ketidakadilan, serta mengatasi kerusakan lingkungan dunia.
Richard Curtis, pemimpin perhelatan itu, akan memutar film No Point Going Halfway, menyiratkan bahwa program serupa sebelumnya, Millennium Development Goals, hanya separo berhasil.
Suara One Direction dalam Dear World Leaders, sebuah film pendek yang dibuat oleh para fans mereka, akan meneriakkan pesan lebih lantang kepada 190 presiden, raja, dan perdana menteri yang juga hadir di New York. Problem kemiskinan, ketidakadilan, dan kerusakan lingkungan pada akhirnya memang problem politik dan kebijakan publik.
Pesan lebih keras datang dari para musisi Afrika yang secara kolaboratif menggubah lagu “Tell Everybody”. Mereka ingin mengatakan kepada siapa saja bahwa sasaran pembangunan berkelanjutan hanya berhasil jika bisa mengangkat harkat dan martabat warga benua hitam itu.
Dengan tren pertumbuhan ekonomi sekarang, sepertiga warga Afrika tetap masih berada dalam kondisi kemiskinan ekstrem pada tahun 2030. Artinya, perlu ada perubahan arah kebijakan publik, yang tidak semata bertumpu pada pertumbuhan.
Pertumbuhan ekonomi saja telah terbukti membawa kerusakan lingkungan parah yang secara langsung justru makin memiskinkan warga. Afrika membutuhkan politikus yang lebih peduli.
“Orang-orang muda merasa mereka tak memiliki suara dalam politik,” kata Diamond Platnumz, penyanyi Tanzania yang terlibat dalam pembuatan lagu tersebut. “Kemiskinan adalah problem politik. Saatnya orang muda menyadari kekuasaan yang mereka miliki dan menggunakannya secara bijaksana.”
Pengentasan warga miskin di Afrika, seperti juga di Indonesia, tak hanya menuntut pemimpin nasional yang peduli. Tapi, juga tata sosial-ekonomi-politik global yang lebih adil.
Bukan rahasia lagi, banyak kebijakan ekonomi nasional di Afrika ataupun Asia didikte oleh resep umum neoliberalisme ala Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Banyak aktivis sosial dunia telah menyarankan reformasi struktural di dua lembaga itu. Bahkan menuntut keduanya dibubarkan karena lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat.
Studi mutakhir oleh IMF sendiri menunjukkan arah pembangunan dunia sekarang justru memperbesar ketimpangan dan memperparah kemiskinan ketimbang memperbaiki. Ketimpangan dan ketidakadilan bahkan berlangsung di Amerika Serikat, negara dengan ekonomi paling maju.
“Melebarnya jurang pendapatan merupakan tantangan terbesar ekonomi masa kini,” kata Presiden Barack Obama. Tak hanya di Amerika Serikat, ketimpangan memburuk secara global. Saat ini, harta 85 orang terkaya dunia setara dengan total harta 3,5 miliar penghuni bumi termiskin.
Salah satu pilar negatif neoliberalisme adalah privatisasi sektor publik. Konsep ini mengurangi peran dan peluang negara dalam melindungi warga. Lebih jauh, menggerus kesadaran warga, politikus, dan sektor swasta akan pentingnya aspek publik dalam kehidupan bersama. Kesadaran akan “the commons”.
Ahli sejarah ekonomi Karl Polanyi menyebut hilangnya konsep “the commons” di pedesaan Eropa tiga empat abad lalu sebagai “transformasi besar” yang melahirkan kapitalisme. Hal itu mendorong urbanisasi besar di era Revolusi Industri, yang merusak lingkungan dan memicu krisis kemanusiaan.
Eropa memang tumbuh menjadi kaya dalam beberapa abad terakhir. Kualitas hidup mereka meningkat dramatis. Tapi, krisis kemanusiaan dan lingkungan tidak menguap. Krisis itu cuma diekspor ke tempat lain. Melalui kolonialisme di Afrika dan Asia.
Kemiskinan di Afrika ataupun Indonesia bukanlah fenomena alamiah. Kemiskinan diciptakan oleh sistem yang tak adil. Pesan seperti itulah yang seharusnya paling lantang diteriakkan oleh Beyonce dan One Direction.